Seragam Korpri: Antara Rutinitas dan Meritokrasi
Upacara Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-54 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) di Jakarta, Senin (1/12/2025).(Dok. Humas Kementerian PANRB)
12:02
17 Desember 2025

Seragam Korpri: Antara Rutinitas dan Meritokrasi

TANGGAL 17 setiap bulan menjadi ritual tak terlewatkan saat jutaan Aparatur Sipil Negara (ASN) di seluruh penjuru negeri serentak membiru dengan batik KORPRI. Secara visual, ini adalah pemandangan megah sebuah "mesin raksasa" penggerak republik. Namun, di balik kemegahan seragam itu, tersimpan pertanyaan yang menggelisahkan: apakah mesin raksasa ini benar-benar bertenaga melayani, atau sekadar berputar bising dalam rutinitas tanpa jiwa?

Di luar pagar kantor pemerintahan, saat para pegawai sibuk mematut diri dengan seragam batiknya, kritik publik terhadap birokrasi kita justru kian nyaring. Di media sosial, keluhan tentang pelayanan lambat, wajah birokrasi yang kaku, hingga gaya hidup sebagian pegawai menjadi "sarapan pagi" yang pahit.

Bagi para abdi negara, kritik pedas ini mungkin terasa sebagai serangan personal. Namun, mari kita ubah kacamata kita sejenak dengan kepala dingin. Dalam manajemen modern, amarah publik bukanlah wujud kebencian. Itu adalah data umpan balik atau feedback data yang paling jujur. Kritik publik adalah sinyal keras dari pasar bahwa ada kesenjangan menganga antara ekspektasi masyarakat yang berlari secepat kilat digital, dengan respons birokrasi kita yang masih merayap dalam logika analog.

Bayang-Bayang Priyayi

Diagnosis pertama harus menukik pada aspek yang paling fundamental: budaya. Harus diakui secara jantan, batik KORPRI yang kita banggakan setiap tanggal 17 ini sering kali masih dibebani oleh residu mentalitas "priyayi". Masih ada pola pikir keliru yang tertanam kuat di alam bawah sadar. Seragam dinas kerap dianggap sebagai simbol status sosial untuk dilayani, bukan mandat mulia untuk melayani.

Feodalisme gaya baru ini menjadi tembok tebal bagi kemajuan. Secara teoritis, negara sudah merumuskan nilai dasar BerAKHLAK. Konsep ini sejatinya sangat brilian sebagai kompas moral baru. Masalahnya, nilai-nilai luhur ini sering kali berhenti sebatas jargon indah di dinding kantor atau screensaver komputer. Ia gagal terinternalisasi menjadi perilaku harian saat melayani warga di loket-loket dinas.

Dalam kacamata Sumber Daya Manusia (SDM), budaya organisasi tidak dibentuk oleh keseragaman pakaian. Ia dibentuk oleh perilaku apa yang ditoleransi oleh pimpinan. Ketika atasan lebih menghargai bawahan yang pandai "asal bapak senang", budaya melayani otomatis mati suri. Bawahan yang kritis dan inovatif justru tersingkir karena dianggap ancaman bagi kenyamanan status quo.

Tirani Administratif

Ironisnya, banyak pemakai batik biru ini yang sebenarnya bekerja sangat keras. Mereka lembur hingga larut malam, bahkan tak jarang mengorbankan akhir pekan. Namun pertanyaannya, apa yang sebenarnya mereka kerjakan hingga selelah itu?

Di sinilah letak paradoks inefisiensi kita. Energi besar birokrasi habis tersedot oleh apa yang disebut "tirani administratif". Desain pekerjaan (job design) ASN kita masih terjebak pada aktivitas yang tidak bernilai tambah. Kita menciptakan ekosistem yang memuja kepatuhan administratif di atas segalanya.

Menyusun Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang berlembar-lembar tebalnya dianggap lebih suci daripada dampak nyata sebuah program. Seorang ASN bisa dianggap berkinerja buruk hanya karena telat lapor administrasi atau salah kode anggaran. Padahal, di lapangan, program yang ia jalankan mungkin sukses besar mengubah wajah ekonomi desa. Kita terjebak dalam ilusi kesibukan, bukan produktivitas.

Kesenjangan Kompetensi

Situasi ini diperparah dengan kesenjangan kompetensi digital atau the digital gap. Kita menghadapi situasi pelik antar generasi dalam satu atap kantor. Generasi muda yang masuk birokrasi dengan literasi digital tinggi sering kali terhambat ide-idenya oleh senioritas yang kaku.

Sementara itu, pemegang keputusan strategis tak jarang gagap dalam membaca data digital. Pelatihan sering kali terjebak formalitas. ASN berlomba mengejar sertifikat dan jam pelajaran (JP) demi syarat kenaikan pangkat, bukan demi rasa lapar akan keahlian baru. Akibatnya, transformasi digital hanya terjadi di kulit luar. Aplikasi bertambah banyak, tapi keruwetan birokrasi tetap sama.

Lantas, bagaimana dengan sistem karir? Kita sering mendengar istilah sistem merit. Namun realitas di lapangan, terutama di daerah, kerap menyajikan drama berbeda. Promosi jabatan masih sering terdistorsi oleh kedekatan personal, "urut kacang", atau afiliasi politik. Ketika faktor "siapa yang Anda kenal" lebih penting daripada "apa yang bisa Anda kerjakan", kita sedang membunuh motivasi.

ASN berprestasi (High Performers) akan merasa sia-sia bekerja keras jika karir mereka mentok oleh tembok nepotisme.

Jalan Terjal Transformasi

Kita tidak bisa membiarkan kapal besar birokrasi ini karam karena bobot masalahnya sendiri. Tanggal 17 setiap bulannya harusnya bukan sekadar rutinitas pakaian, melainkan alarm pengingat untuk berbenah. Reformasi harus dimulai dari pintu gerbang: rekrutmen dan onboarding. Narasi bahwa menjadi PNS adalah tiket menuju zona nyaman dan pensiun tenang harus dihapus dari memori kolektif pelamar kerja.

Selanjutnya, kita butuh birokrasi yang lincah (Agile Bureaucracy). Struktur hierarki yang gemuk harus terus dipangkas. Rantai komando yang panjang hanya membuat keputusan menjadi basi sebelum dieksekusi. Masa depan birokrasi adalah kerja berbasis tim lintas fungsi yang cepat dan terukur. Kita juga butuh penegakan disiplin yang tegas.

Mempertahankan pegawai yang tidak produktif (deadwood) atau toksik adalah tindakan amoral karena merusak semangat pegawai lain yang rajin. Mekanisme sanksi harus dipermudah dan dipertegas. Terakhir, seragam KORPRI ini harus menjadi benteng netralitas. Profesionalisme birokrasi tidak boleh tergadaikan oleh kepentingan politik sesaat atau tekanan penguasa lokal.

Setiap tanggal 17, saat kita mengancingkan baju batik ini, ingatlah satu hal. Pilihan kita hanya dua: berubah menjadi birokrasi kelas dunia yang disegani, atau perlahan ditinggalkan oleh zaman dan terus dicemooh. Fajar meritokrasi harus segera kita songsong. Mari buktikan bahwa seragam KORPRI bukan sekadar baju kerja rutin, melainkan simbol kompetensi yang membanggakan.

Tag:  #seragam #korpri #antara #rutinitas #meritokrasi

KOMENTAR