Apa Itu Polisi Hutan dan Mampukah Mencegah Bencana Ekologis?
Ilustrasi hutan.(Freepik/wirestock)
07:50
17 Desember 2025

Apa Itu Polisi Hutan dan Mampukah Mencegah Bencana Ekologis?

Rentetan bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi latar kuat lahirnya kebijakan pemerintah untuk memperkuat pengamanan hutan.

Usai bencana, publik dihadapkan pada pemandangan kayu-kayu gelondongan yang tersisa dan terbawa arus banjir, yang memicu dugaan kuat adanya kerusakan tutupan hutan di wilayah hulu.

Banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatera tidak hanya menelan korban jiwa dan merusak permukiman, tetapi juga menyisakan tanda-tanda kerusakan ekosistem hulu.

Di beberapa lokasi terdampak, kayu gelondongan ditemukan mengendap di sungai hingga permukiman warga setelah air surut.

Temuan tersebut memperkuat dugaan bahwa kawasan hutan di hulu telah kehilangan daya tampung air akibat berkurangnya tutupan vegetasi.

Dalam banyak kasus, pembalakan liar dan perizinan pemanfaatan hutan yang tidak terkendali disebut sebagai faktor yang memperparah risiko bencana.

Kondisi inilah yang mendorong pemerintah menempatkan isu pengamanan hutan sebagai agenda mendesak.

Dalam konteks inilah, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan pelipatgandaan jumlah polisi hutan sebagai upaya menekan pembalakan liar dan mencegah kerusakan kawasan hutan yang berulang kali berujung pada bencana ekologis.

Namun, kebijakan ini kembali memunculkan pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya polisi hutan, sejauh mana kewenangannya, dan apakah penambahan personel cukup untuk mencegah bencana ekologis yang bersifat struktural?

Mengenal polisi hutan

Polisi hutan, atau Polhut, merupakan aparatur pemerintah yang bertugas menjaga dan melindungi kawasan hutan serta sumber daya alam hayati dari berbagai bentuk kejahatan dan perusakan.

Mereka bukan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), melainkan berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan dan/atau instansi kehutanan daerah.

Dalam sistem hukum nasional, polisi hutan dikategorikan sebagai kepolisian khusus yang memiliki mandat terbatas dan spesifik di bidang kehutanan.

Tugas utama mereka mencakup patroli kawasan hutan, pencegahan dan penindakan terhadap pembalakan liar, perambahan hutan, perburuan satwa dilindungi, serta pembakaran hutan.

Selain fungsi penindakan, polisi hutan juga menjalankan peran pencegahan melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sekitar kawasan hutan.

Wewenang hukum dan batasannya

Kewenangan polisi hutan diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 51 ayat (2).

Regulasi ini memberi wewenang kepada polisi hutan untuk melakukan patroli, pemeriksaan dokumen hasil hutan, menerima laporan dugaan pelanggaran, mengamankan barang bukti, menangkap pelaku yang tertangkap tangan, serta membuat laporan tindak pidana kehutanan.

Penguatan kewenangan tersebut juga tecermin dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang secara khusus menyasar kejahatan kehutanan terorganisir.

Meski demikian, polisi hutan tidak memiliki kewenangan penuh dalam proses penegakan hukum.

Untuk penyidikan lanjutan hingga penuntutan, mereka harus berkoordinasi dengan penyidik Polri dan kejaksaan.

Perintah Presiden usai bencana

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menyampaikan bahwa kebijakan pelipatgandaan jumlah polisi hutan merupakan perintah langsung Presiden Prabowo Subianto.

Perintah itu disampaikan dalam rapat terbatas di Padepokan Garuda Yaksa, Kabupaten Bogor, Minggu (14/12/2025).

“Pak Presiden memerintahkan agar melipatgandakan jumlah polisi kehutanan kita,” ujar Raja Juli dalam jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).

Menurut Raja Juli, kondisi pengawasan hutan saat ini sangat timpang.

Ia mencontohkan Provinsi Aceh yang memiliki sekitar 3,5 juta hektar kawasan hutan, tetapi hanya dijaga oleh 32 polisi hutan.

"Ini sama sekali tidak masuk akal dan Pak Presiden langsung meminta kepada saya untuk melipatgandakan jumlah polisi hutan kita,” kata Menhut.

“Sehingga illegal logging yang kemudian mengakibatkan rusaknya hutan kita dapat diatasi sesegera mungkin," ucapnya.

Dalam kesempatan ini, Raja Juli juga menyampaikan bahwa pihaknya akan mencabut 22 perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH), termasuk di daerah Sumatera.

"Jadi, secara resmi hari ini saya umumkan kepada publik atas tujuan Pak Presiden, saya akan mencabut 22 PBPH perizinan berusaha pemanfaatan hutan yang luasnya sebesar 1.012.016 hektar, termasuk di antaranya di Sumatera seluas 116.198 hektar," katanya.

Prabowo memerintahkannya untuk lebih berani lagi dalam menertibkan perizinan berusaha pemanfaatan hutan atau PBPH yang nakal.

Raja Juli menambahkan, pencabutan 22 PBPH ini akan dimuat lewat surat keputusan (SK).

"Detailnya saya akan menuliskan SK pencabutan ini dan nanti akan saya sampaikan kepada rekan-rekan media sekalian," ujar Raja Juli.

Raja Juli belum merincikan daftar perusahaan dari 22 PBPH yang dicabut itu.

Namun, 22 PBPH itu tentu dapat diproses secara hukum.

"Tentu, tindak pidana lainnya akan bisa diproses, tapi tentu sekali lagi sebagai penertiban terhadap semua ini kami akan cabut dengan mendapatkan SK esok hari," ujar Raja Juli.

DPR: Jangan hanya andalkan SDM

Wakil Ketua Komisi IV DPR Alex Indra Lukman menyatakan dukungannya terhadap langkah Presiden Prabowo menambah jumlah polisi hutan.

Menurut dia, Indonesia patut bersyukur memiliki kawasan hutan yang luas sebagai sumber kehidupan.

“Apa pun upaya untuk melindungi hutan harus kita dukung,” ujar Alex.

Namun, ia mengingatkan bahwa perlindungan hutan tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya manusia.

Dengan luas hutan Indonesia yang mencapai jutaan hektar, pengawasan manual memiliki keterbatasan serius.

Ia mendorong pemanfaatan teknologi pemantauan, seperti sistem deteksi bukaan hutan skala kecil, citra satelit, dan peringatan dini agar potensi kejahatan kehutanan bisa dicegah sebelum meluas.

“Sulit bila hanya mengandalkan SDM untuk melindungi hutan yang begitu luas tanpa dukungan teknologi,” kata Alex.

Walhi: Akar masalah di perizinan

Berbeda dengan pandangan pemerintah dan DPR, kelompok masyarakat sipil menilai penambahan polisi hutan tidak otomatis menyelesaikan persoalan bencana ekologis.

Manager Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Teo Reffelsen, menilai bahwa akar persoalan kerusakan lingkungan justru terletak pada kebijakan perizinan di kawasan hutan.

“Penambahan polisi hutan tidak akan efektif tanpa evaluasi dan penataan ulang serta pencabutan izin usaha yang telah diberikan di dalam kawasan hutan,” ujar Teo kepada Kompas.com, Selasa (16/12/2025).

Menurut Walhi, pemberian izin secara serampangan untuk industri ekstraktif dan perkebunan monokultur merupakan penyebab utama kerusakan hutan yang berujung pada bencana ekologis.

Teo menegaskan, semua dampak kerusakan lingkungan seharusnya sudah bisa diprediksi sejak awal melalui dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

“Jika memang akan ada dampak kerusakan sistemik terhadap lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, seharusnya izin tidak diberikan,” imbuhnya.

Tag:  #polisi #hutan #mampukah #mencegah #bencana #ekologis

KOMENTAR