Rakyat yang Tangguh di Saat Birokrasi Lumpuh
SAAT lumpur banjir bandang dan longsor masih menggenangi reruntuhan di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), angka kematian tak henti merangkak naik.
Hingga Minggu, 14 Desember 2025 malam, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.016 jiwa tewas, sementara 212 orang masih dinyatakan hilang dalam genangan air berbau mayat manusia, hewan, dan puing kayu gelondongan yang terseret dari hutan yang sudah lama sudah terampas, terempas.
Data miris lainnya, korban luka (berat dan ringan) mencapai 5.400 jiwa, 157.000 rumah rusak berat, dan 238.000 warga mengungsi hanya di Aceh saja.
Total pengungsi lintas provinsi melampaui 850.000 orang, menurut data BNPB terbaru.
Kerugian ekonomi? Estimasi mencapai Rp 68,67 triliun, angka yang cukup untuk membangun kembali infrastruktur nasional, tetapi malah lenyap dalam hitungan hari akibat bencana yang dipicu deforestasi masif.
Dari 23 kabupaten/kota di Serambi Mekkah, 18 daerah tingkat dua mengalami hancur total yang membuat Gubernur Muzakir Manaf hanya bisa bergumam, "Habis sudah," sambil teringat tsunami 2004 yang merenggut 167.000 nyawa.
Tambahan ironis, seekor gajah Sumatera bagian dari kawanan satwa yang kini diberdayakan memindahkan puing-puing bekas banjir, justru mati terseret air bah di Aceh Utara.
Meski hanya seekor gajah, tetapi ini simbol ekosistem yang runtuh di bawah tekanan ‘kerakusan’ sekelompok manusia dalam mengeksploitasi sektor tambang dan perkebunan sawit.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi atau mencari kambing hitam. Namun, semata-mata rangkuman jeritan hati warga korban bencana dan relawan di lapangan yang bersusah payah demi tersambung dan menemui sanak-saudaranya nun jauh di sana, dokumen internal BNPB yang bocor via grup WhatsApp alias menyebar di ruang digital, serta analisis data satelit WALHI yang mengungkap bencana ini bukan hanya amarah alam, tetapi kegagalan sistemik, yakni birokrasi yang mandek, aparat yang hanya bisa standby di posko dan pemerintah yang kalah cepat oleh tangan rakyat biasa yang sesungguhnya juga tertekan secara ekonomi.
Bencana yang disebut "tsunami kedua" oleh warga Aceh, menewaskan lebih dari seribu jiwa, tetapi respons negara masih seperti mesin karatan yang lambat, ambigu, dan penuh kontradiksi.
Bau mayat dan aparat yang menunggu perintah
Tim SAR memandu warga menyeberangi air menggunakan tali di kawasan Batu Busuk, Pauh, Padang, Sumatera Barat, Minggu (14/12/2025). Air sungai di permukiman terdampak banjir bandang tersebut kembali meluap dan membuat sejumlah warga dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Di Sibolga dan Tapanuli Utara, dua wilayah di Sumut yang paling terdampak, bau mayat manusia dan ternak sudah menyengat seperti kabut pagi yang beracun.
Genangan lumpur setinggi dada memutus jalan, listrik, dan sinyal komunikasi. Ribuan warga terkurung tanpa tenda layak, haus hingga minum air kotor yang sudah tercemar jenazah.
"Relawan menangis melihat ibu-ibu itu," cerita seorang guru di Banda Aceh yang kehilangan belasan murid melalui telepon.
"Mereka bilang, 'Ini air terakhir yang kami dapat,' padahal sudah hitam pekat."
Lalu ke mana alat berat BNPB, TNI, dan Polri? "Hilang entah ke mana saat puncak banjir datang," kata relawan nelayan di Langkat, Sumut, yang mengabarkan kepada saudaranya di Jakarta.
Sebagian aparat justru standby di posko darurat, sementara relawan dibuat muter-muter, dipingpongkan ke sana ke mari.
"Jangan ke sana, sudah ada tim resmi," cegah oknum BNPB daerah. Namun, saat tiba di lokasi alternatif, tidak ada korban, yang ada hanya keheningan.
Lebih absurd lagi di tengah lokasi bencana muncul cerita di mana aparat iri pada nelayan yang melakukan evakuasi gratis menggunakan perahu, malah menagih Rp 300.000 per rit untuk layanan yang sama.
"Ini bocor dari chat grup relawan," tambah sumber kami, yang meminta anonimitas karena takut akses bantuannya dibredel.
Lebih memilukan lagi saat dana urunan relawan untuk beras dan air mineral dipaksa disetor ke posko "resmi" BNPB atau Posko pemerintah setempat, tetapi distribusinya tidak transparan.
Beredar luas video di ruang publik di mana wakil rakyat mengambil alih bantuan dari berbagai pihak di salah satu posko untuk disalurkan ke konstituen di dapilnya.
Semua “tindakan” ini pantas saja jika menimbulkan kecurigaan karena rawan dimanipulasi untuk laporan sukses.
Akibatnya? Wabah diare dan infeksi kulit merebak di lokasi pengungsian, sementara tim deteksi jenazah dari luar negeri kewalahan untuk ikut membantu karena diterjang kayu gelondongan liar.
Ini bukti tidak terbantahkan bahwa deforestasi hulu sungai sudah dirampok mafia kehutanan. Mereka malah berpesta-pora di Jakarta, alih-alih menyumbangkan sebagian harta hasil “rampokan” mereka melalui paksaan hutan alami menjadi sekadar kebun sawit atau industri kayu, misalnya.
Di Aceh Utara, Bupati Ismail A. Jalil menyurati Presiden Prabowo Subianto. "Kami tak mampu lagi, ini bencana yang lebih parah dari tsunami 2004," ungkapnya.
Tiga bupati Aceh lainnya (Timur, Selatan, Tengah) ikut deklarasi yang sama, "Pemerintahan lumpuh total."
Dalam kondisi “chaos” seperti ini siapa yang justru melakukan gerak nyata? Rakyat. Merekalah yang berjibaku dalam keterbatasan guna menolong sesamanya di lokasi bencana.
Nelayan sibuk mengangkat korban dengan perahu kayu, warga urunan membeli tenda darurat.
Yang terlihat sigap dan mengundang pujian malah para influencer rakyat seperti Ferry Irwandi yang berhasil mengumpulkan dana Rp 10 miliar via YouTube live dalam hitungan jam saja.
Denny Sumargo, Dedi Mulyadi, Praz Teguh, Willie Salim, langsung beraksi tanpa basa-basi. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memuji inisiatif mereka sebagai "gotong royong bangsa" usai anggota DPR menyindir mereka sebagai "perusak citra pemerintah". Akibatnya DPR disindir warganet tunanurani.
Jejak gengsi, fiskal, dan bayang korupsi
Dua minggu bencana lintas provinsi, korban massal, akses putus sudah berlalu, tetapi mengapa status "bencana nasional" masih digantung di langit?
BNPB mengatakan, "Sudah terkendali, sinergi optimal." Presiden Prabowo Subianto bertutur, "Fokus terhadap penanganan, bukan sekadar label."
Menko PMK Muhaimin Iskandar meminta maaf karena status itu dirasa “Belum maksimal,” seraya meminta pejabat daerah “taubatan nasuha”.
Namun, Fraksi di DPR tegas menyebutkan adanya lima kriteria Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa skala nasional dan lintas wilayah sudah terpenuhi, tetapi tetap nihil political will.
Gengsi politik menjaga narasi bahwa "Indonesia tangguh", fiskal APBN defisit tak sanggup justru menambah beban, dan ketakutan audit mafia kehutanan –deforestasi sawit yang menjadi pemicu utama- dengan status nasional semua “kasunyatan” (realitas) ini bisa membongkar aksi korupsi lahan senilai triliunan rupiah.
WALHI menyebut ini sebagai "bencana ekologis buatan," dan menuntut negara serta korporasi bertanggung jawab.
Boleh jadi, itulah alasan mengapa Pemerintah tidak kunjung menetapkan status bencana nasional yang justru dinanti-nantikan pemerintah daerah dan warga yang terdampak langsung bencana.
"Gengsi politik" di sini makna yang berlawanan dengan "political pride" yang nuansa positif.
Dengan gengsi ini, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan, tetapi dipaksakan untuk dilaksanakan".
Narasi bahwa "Indonesia masih mampu" yang diucapkan pejabat teras merupakan keengganan penetapan status bencana nasional dengan segala konsekuensinya yang mungkin "membuka aib" (pejabat) pemerintah selain memang defisit anggaran.
Status bencana nasional sesungguhnya memberi keuntungan di mana salah satunya akses terhadap Dana Siap Pakai BNPB Rp 2 triliun, Bantuan Tambahan APBN Rp 20 triliun, mobilisasi TNI/Polri nasional, audit transparan, dan bantuan internasional yang lancar. Sejatinya semua ini bisa menyelamatkan ribuan nyawa lagi.
Itu keuntungannya jika bencana ditetapkan sebagai “bencana nasional”. Namun, bagi pemerintah kerugiannya membayang di pelupuk mata, yakni APBN tambah defisit (keharusan membenahi infrastruktur yang rusak, memberikan satunan kepada korban selama tenggat waktu darurat bencana), paparan korupsi deforestasi tak terelakkan, dan politisasi nyata di mana bencana jadi panggung pejabat justru guna mendulang suara elektoral.
Masih ingat seorang menteri yang memanggul bantuan beras lima kilo di pundaknya, bukan? Jika saja “Bapak Absurditas” Albert Camus menyaksikan kelakuan sang pejabat negara itu, mungkin dia akan membuat teori baru tentang “absurditas kekinian yang nyata”.
Janji cuma di atas kertas
Siklus disaster management seperti preparedness (persiapan stok logistik), response (evakuasi cepat), recovery (rekonstruksi), mitigation (pencegahan deforestasi) memang terdengar solid di manual BNPB.
Namun, desentralisasi membuat daerah overload; Pusat lambat mengirim alat berat, sementara BNPB sebagai koordinator nasional tak punya gigi sebagai pengawas.
Bagaimana dengan mitigasi bencana? Early warning system gagal total di tengah edukasi warga yang minim.
Sumatera mengabaikan penataan lahan, meski WALHI memperingatkan sejak 2024. Hasilnya kerugian Rp 68 triliun tidak terelakkan. Jumlah ini setara dengan biaya kuliah untuk ratusan ribu mahasiswa di tahun 2025 ini.
Sosiolog Emile Durkheim akan melihat gerakan spontan rakyat yang saling tolong di lapangan ini sebagai bentuk solidaritas mekanik, yakni gotong royong pedesaan berdasarkan hati nurani kolektif.
Solidaritas ini mendominasi dan mendorong relawan serta influencer seperti Ferry Irwandi yang viral karena mengumpulkan miliaran rupiah melalui medsos.
Di sisi lain, solidaritas organik pemerintah seperti spesialisasi birokrasi gagal total. Anomali ini melahirkan"hybrid baru", yakni “digital gotong royong” yang bersenyawa empati tradisional dengan teknologi informasi.
Namun, ternyata “hybrid baru” ini juga rawan penyimpangan di lapangan: donasi bisa lenyap di posko yang manipulatif.
Euforia awal solidaritas biasanya memicu "mentalitas kawanan," tetapi trauma kolektif muncul melahirkan depresi asal seperti distrust otoritas atau learned helplessness di mana warga pasrah karena bantuan terlambat.
Resilience? Dari komunitas, relawan menjadi semacam "terapis darurat". Alam seakan-akan tidak peduli, tetapi pemerintah lebih absurd lagi karena diasumsi mengabaikan rakyat yang menderita.
Seperti sering dikatakan para bijak bestari, Bencana Sumatera 2025 bukan akhir, tetapi hanyalah peringatan. Di saat negara terlelap, rakyat bangun dengan tangan kosong.
Presiden Prabowo yang tiba di Medan kemarin, memimpin langsung pemantauan dan berjanji akan melakukan percepatan rehabilitasi. Namun, Presiden datang tanpa status nasional di tangan, jadi masih sekadar semacam obat pereda.
WALHI menuntut audit korporasi, relokasi korban, dan moratorium sawit, sedangkan korban tak butuh semua bentuk paparan statistik itu, yang mereka butuhkan segera justru akuntabilitas dan pemulihan kondisi kembali secepat mungkin karena para korban memang benar-benar sangat menderita.