Hari Bhakti Transmigrasi 2025: Revolusi Ekonomi di Morotai, dari “Penonton” Jadi “Pemilik”
Peringatan Hari Transmigrasi 2025 dijadikan pijakan untuk meluncurkan konsep ?New Transmigrasi??pergeseran paradigma dari program relokasi penduduk menjadi gerakan budaya dan ekonomi yang regeneratif, berkeadilan, dan berkelanjutan(Dok. Kementrans)
12:12
13 Desember 2025

Hari Bhakti Transmigrasi 2025: Revolusi Ekonomi di Morotai, dari “Penonton” Jadi “Pemilik”

– Pulau Morotai yang pernah menjadi saksi sejarah dunia, kini menulis babak baru sebagai episentrum kemandirian dan kedaulatan ekonomi Indonesia. 

Dengan potensi perikanan tuna mencapai 2.600 ton per tahun dan perkebunan kelapa seluas 13.400 hektare, kekayaan tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat lokal.

Momentum Hari Transmigrasi 2025 menjadi landasan untuk meluncurkan konsep "New Transmigrasi"—sebuah transformasi paradigma dari program pemindahan penduduk menjadi gerakan kebudayaan dan ekonomi yang regeneratif, adil, dan berkelanjutan.

Tiga fondasi: lahan, manusia, dan produktivitas

Dalam Kongres V Dewan Guru Besar Indonesia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Menteri Transmigrasi (Mentrans) Iftitah menegaskan bahwa pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dibangun dari daerah dan wilayah perbatasan yang belum dioptimalkan.

“Transmigrasi adalah kerangka pembangunan paling lengkap karena bekerja pada tiga fondasi sekaligus, yakni lahan, manusia, dan produktivitas,” tegasnya dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (13/12/2025).

Pernyataan tersebut meluruskan narasi lama yang sering menyederhanakan transmigrasi sekadar sebagai program perpindahan penduduk.

Kini, "New Transmigrasi" atau Transmigrasi 5.0 mengedepankan pendekatan berbasis sains, data, dan teknologi untuk menciptakan kawasan yang tidak hanya layak huni, tetapi juga produktif dan berkelanjutan.

Ketua Tim Ekspedisi Patriot UI di Pulau Morotai, Maluku Utara, Dr Rachma Fitriati, MSi, MSi (Han), mengatakan bahwa New Transmigrasi bukan lagi soal memindahkan manusia dari pulau padat ke pulau kosong.

“Ini adalah seni memindahkan cara berpikir, dari ekonomi ekstraktif yang hanya mengambil, menuju ekonomi regeneratif yang memulihkan; dari pendekatan sektoral yang terpisah, menuju sinergi menyeluruh yang saling menguatkan. Morotai adalah kanvas terbaik untuk mewujudkan visi ini,” jelasnya.

Mengurai ironi: kekayaan alam vs ketiadaan pabrik pengolahan terintegrasi

Di tengah gencarnya pemerintah mendorong ekonomi sirkular dan hilirisasi komoditas, Pulau Morotai menyimpan ironi yang tajam.

Memiliki 1,6 juta pohon kelapa di atas lahan seluas 13.400 hektare dengan produksi mencapai 87,2 juta butir per tahun, pulau tersebut nyatanya terjebak dalam paradoks sebagai "pulau nyiur melambai" yang hanya menyisakan limbah.

Data Tim Ekspedisi Patriot UI mengungkap, petani setempat hanya memanfaatkan 31 persen dari setiap buah kelapa (daging untuk kopra).

Sementara, 69 persen sisanya—sabut, batok, dan air kelapa—terbuang percuma. Padahal, komoditas tersebut bernilai ekonomi tinggi.

"Ini seperti membuang emas setiap hari," tegas Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Morotai, Tahmid Bilo, SP, MMA.

Dengan teknologi tepat guna, limbah yang selama ini menggunung dapat disulap menjadi produk bernilai ekspor. Sabut bisa menjadi serat kelapa (cocofiber) untuk industri otomotif dan furnitur, batok menjadi briket arang premium, dan air kelapa menjadi nata de coco yang laris di pasar Asia.

Ketiadaan pabrik pengolahan terintegrasi menjadi akar masalah, kontras dengan daerah lain seperti Tobelo, Halmahera Utara, yang sudah memproduksi santan, minyak, dan berbagai turunannya.

Akibatnya, potensi ekonomi sebesar 8,7 juta kilogram kopra per tahun tidak optimal, dan masyarakat kehilangan peluang untuk naik kelas dalam rantai nilai ekonomi.

Transformasi itu sejalan dengan agenda nasional penguatan ekonomi daerah berbasis sumber daya lokal dan prinsip zero waste.

Morotai bukan lagi ingin hanya menjadi penyuplai bahan mentah, melainkan episentrum produk turunan kelapa bernilai tambah tinggi dari Timur Indonesia.

Merespons kebutuhan tersebut, konsep "New Transmigrasi" yang diusung pemerintah tidak hanya fokus pada perpindahan penduduk, tetapi pada pembangunan ekosistem industri hijau berbasis komunitas.

Dr Rachma menuturkan bahwa salah satu solusi yang dapat diambil adalah menghadirkan klaster industri kelapa sirkular skala kecil-menengah yang didukung teknologi, energi terbarukan, dan akses pasar.

"Ini adalah momentum untuk mengubah paradoks menjadi keajaiban. Dari pulau limbah kelapa, kita akan ciptakan pusat ekonomi biru-hijau yang mandiri," papar Dr Rachma.

Pembangunan ekosistem untuk kemandirian ekonomi

Di jantung segitiga tuna Indonesia, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai menghadapi tantangan infrastruktur yang akut.

Fasilitas berkapasitas besar, seperti cold storage dan pabrik es terhambat oleh dua masalah utama, yaki listrik tidak stabil dan dermaga tidak memadai.

Pemadaman listrik sering menghentikan produksi es dan merusak rantai dingin, sementara kapal penangkap ikan >7 GT tidak dapat sandar langsung, menyebabkan penundaan pendinginan hingga 4 jam.

“Akibatnya, potensi tuna Morotai sebesar 2.600 ton per tahun belum dapat diolah secara optimal,” ungkap Kepala SKPT Morotai, Mahli Aweng.

Melalui pendekatan “New Transmigrasi,” pemerintah merancang solusi terpadu, yakni PLTS Hybrid 1–2 MW untuk stabilisasi energi, dermaga khusus kapal >7 GT dengan sistem cold docking, dan kemitraan langsung antara nelayan dan pabrik.

Paket investasi tersebut menjadi peluang strategis yang dapat mengoptimalkan penanganan 100 ton ikan per hari, menciptakan 500 lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan nelayan hingga 40 persen.

Dengan demikian, Morotai berpotensi bertransformasi dari wilayah terisolasi menjadi episentrum perikanan berkelanjutan.

Di sektor kelautan, nelayan tradisional harus bersaing dengan kapal-kapal besar di zona tangkap 0–4 mil.

“Mereka seperti penonton di rumah sendiri,” ujar Kepala Desa Bere-bere Morotai Utara, Helmi Muhammad.

Pelanggaran terhadap regulasi perikanan memicu struktur monopsoni yang meminggirkan nelayan lokal. Rantai dingin yang terputus memperparah kondisi tersebut.

Cold storage sering tidak berfungsi optimal karena listrik tidak stabil. Kami dari Desa Sangowo Timur, Morotai Timur, terpaksa mengambil es batu dari lokasi sejauh 100 km di Desa Tiley Pantai Morotai Selatan Barat,” keluh pengepul ikan tuna sirip kuning, Mukhlis.

Eks pengurus Koperasi Nelayan Tuna Pasifik di Desa Sangowo Timur itu juga mengatakan, kondisi tersebut menyebabkan hasil tangkapan sering dijual murah atau bahkan terbuang karena kualitasnya rendah.

Solusi terpadu: energi hijau sebagai penggerak ekonomi biru-hijau

Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Transmigrasi bersama kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah merancang solusi terpadu berbasis evidence-based policy.

Fokusnya adalah menciptakan nexus atau titik temu antara energi, perikanan, pariwisata, dan agroindustri.

Di Desa Sangowo Timur, dibangun kawasan terintegrasi yang menggabungkan Kampung Nelayan Merah Putih dan Koperasi Desa Merah Putih.

“Ini adalah terobosan nyata untuk memperkuat kemandirian ekonomi masyarakat desa,” ujar Kepala Desa Sangowo Timur, Syarif Sumtaki.

Revolusi pendidikan: membangun generasi tangguh dan beridentitas

Transformasi infrastruktur diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Tim Ekspedisi Patriot UI bersama Pemerintah Kabupaten Morotai meluncurkan inisiatif “Goes to School: Literasi Pendidikan, Sekolah Tanggap Bencana & Sekolah Masuk Museum:.

Kepala Sekolah SD 1 Daruba Morotai Didik Wahyudi, SPdI, mengatakan bahwa anak-anak diajak memahami sejarah, meningkatkan kesiapsiagaan bencana, dan mengenal potensi daerahnya.

“Ini membentuk generasi yang cerdas, tangguh, dan bangga akan identitasnya,” imbuhnya.

Morotai sebagai pelita harapan

Hari Transmigrasi Nasional 2025 menjadi momentum untuk melompati batas imajinasi—dari bakti fisik menuju bakti transformatif yang memulihkan harmoni antara manusia, alam, pusat, dan daerah.

“Ketika anak-anak Morotai menyaksikan kapal-kapal membawa hasil olahan tangan orangtua mereka melintasi samudera, sambil menikmati kesejahteraan yang lahir dari bumi dan laut sendiri, di situlah makna sejati bakti itu terwujud,” tutur Dr Rachma Fitriati.

Dari Morotai, Indonesia menyalakan pelita baru—pelita ekonomi berkeadilan, pengetahuan yang memerdekakan, dan kedaulatan yang tumbuh dari akar rumput.

New Transmigrasi bukan lagi wacana—ia telah bergulir.

Tag:  #hari #bhakti #transmigrasi #2025 #revolusi #ekonomi #morotai #dari #penonton #jadi #pemilik

KOMENTAR