Audit Donasi, Jebakan Birokrasi Pemerintah, dan Kompetisi Wacana
BENCANA banjir bandang dan tanah longsor yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat melahirkan respons sosial yang guyub untuk memberikan donasi kepada para korban.
Namun, hal ini direspons oleh Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul dengan nada birokratis dan berupaya mendelegitimasi donasi dari masyarakat.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Gus Ipul tekankan pentingnya izin dan pelaporan transparan dalam penggalangan dana bencana Sumatera, terutama untuk dana lebih dari Rp 500 juta.Gus Ipul menyampaikan bahwa donasi yang diinisiasi oleh artis dan influencer seyogianya melakukan izin terlebih dahulu kepada pemerintah.
Menurut dia, izin tersebut dapat dikoordinasikan kepada pemerintah kabupaten/kota ataupun Kementerian Sosial untuk dilakukan audit terhadap penggalangan dana yang nominalnya mencapai miliaran rupiah.
Dikutip dari Kompas.com, Gus Ipul menekankan bahwa ada standar audit yang rigid untuk dapat melaporkan detail penggunaan donasi.
Donasi di atas Rp 500 juta harus diaudit dengan auditor profesional dan di bawah Rp 500 juta cukup dicek oleh audit intern.
Namun, laporannya harus disampaikan kepada Kementerian Sosial.
Secara birokratis, narasi yang diucapkan oleh Gus Ipul merupakan upaya preventif untuk mencegah penipuan dan pencucian uang oleh lembaga yang tidak bertanggung jawab.
Namun, di lain sisi, terlalu fokus pada birokrasi formal dapat mendegradasi kolektivitas masyarakat yang bertujuan membantu masyarakat secara cepat.
Terlebih, terdapat kelompok masyarakat yang memiliki perspektif kritis kepada kinerja pemerintah—terutama dalam konteks audit maupun pengecekan keuangan.
Sehingga rendahnya kepercayaan pada beberapa kelompok masyarakat dapat menurunkan inisiatif dan solidaritas sosial untuk menggalang dana dalam rangka membantu korban di Aceh dan Sumatera.
Jebakan birokrasi Pemerintah
Dalam buku “The End of Bureaucracy and The Rise of the Intelligent Organization” oleh Bennis & Biederman (1999) bahwa birokrasi yang diadopsi oleh pemerintah bersifat kaku, hierarkis, lamban, dan mengekang adanya inisiatif ataupun kreativitas.
Sehingga struktur birokrasi secara eksplisit dibangun dalam fondasi “kontrol”—bukan kepercayaan.
Buku tersebut menjelaskan bahwa birokrasi pemerintah adalah instrumen struktural yang menganggap bahwa masyarakat adalah objek yang harus diawasi secara sistemik.
Hal ini yang tercermin dalam situasi di Indonesia, di mana donasi masyarakat dilihat—bahkan dicurigai—dalam wacana audit yang terkesan profesional untuk menjaga akuntabilitas.
Jebakan birokrasi selalu ditandai oleh aturan berbelit (red tape) yang dapat menghambat progresivitas masyarakat dalam menggalang dana untuk korban.
Birokrasi yang mereproduksi sistem dengan aturan berbelit dan membuat masyarakat sebagai donatur tidak dapat bergerak cepat dalam merespons krisis.
Audit donasi oleh pemerintah juga mencerminkan birokrasi tua yang prosedural dan administratif. Sehingga hal ini akan menempatkan proses audit bantuan dalam mekanisme administratif dan tidak fokus pada penyaluran donasi yang cepat dan tepat sasaran pada korban.
Oleh karena itu, resistensi masyarakat di dalam ruang digital menggambarkan kemarahan publik terhadap metode birokrasi yang kompleks.
Kompetisi wacana: Pemerintah vs masyarakat
Secara sosiologis, pemerintah melalui Gus Ipul yang menghimbau untuk membirokrasikan donasi sebagai proses audit mencerminkan adanya kompetisi simbolik.
Hal ini dipertebal oleh narasi yang disampaikan oleh Anggota DPR RI Endipat Wijaya yang menyinggung gerakan donasi untuk korban di Sumatera.
Dalam rapat kerja bersama Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), politikus Partai Gerindra tersebut sempat mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah tidak seharusnya kalah dengan pihak yang merasa paling berjasa dalam penanganan bencana.
Hal ini secara cepat direspons negatif oleh masyarakat yang merasa pemerintah menempatkan masyarakat sebagai kompetitor.
Ketika ada isu fundamental yang seharusnya menjadi variabel yang meningkatkan integrasi sosial antara masyarakat, pemerintah justru mengeluarkan berbagai narasi kontradiktif.
Respons pemerintah menempatkan donasi masyarakat sebagai oposisi dari bantuan pemerintah adalah tindakan yang tidak bijak.
Perang wacana yang menghadapkan secara diametral antara pemerintah dan masyarakat membuat situasi semakin kompleks dan melahirkan disintegrasi.
Bahkan, menurut Bourdieu (1991) bahwa negara menjadi institusi yang mereproduksi kekerasan simbolik melalui regulasi dan birokrasi yang menyulitkan masyarakat.
Kebijakan audit donasi adalah cara pemerintah untuk menentukan donasi mana yang dapat disalurkan kepada korban bencana banjir dan longsor.
Sehingga audit sebagai makanisme kontrol yang secara rinci harus mengetahui siapa yang membantu, jaringan mana yang membantu, dan sumber donasi dari mana.
Karena hal tersebut, biopolitik sebagai implikasi logis dari tindakan yang hegemonik dan relasi kuasa secara menyeluruh kepada seluruh aktivitas masyarakat.
Dengan mendapatkan data tentang donasi, negara tidak hanya “mengetahui”, tetapi juga “mengatur”. Oleh karena itu, audit menjadi alat hegemonik dan legitimasi untuk menundukkan narasi alternatif tentang kebaikan.
Narasi ini ditulis dengan harapan pemerintah dan masyarakat dapat memiliki nilai yang sama untuk secara kolektif fokus membantu korban terdampak.
Audit donasi yang merepresentasikan jebakan birokrasi dan kompetisi simbolik harus ditinjau ulang serta lebih memfokuskan pada kecepatan penyaluran donasi kepada korban bencana.
Tag: #audit #donasi #jebakan #birokrasi #pemerintah #kompetisi #wacana