Andil Kebijakan Politik di Balik Bencana di Sumatera
AKHIR November 2025, banjir dan longsor menerjang tiga provinsi di Sumatera: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ini bencana dalam skala terbesar di Sumatera dalam satu dekade terakhir.
Bencana ini berdampak pada lebih dari 40 kabupaten/kota di tiga provinsi di Sumatera.
Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 8 Desember 2025, jumlah korban meninggal sudah mencapai 961 orang, sebanyak 293 orang dinyatakan hilang, lebih dari 1 juta orang mengungsi, dan 3,3 juta orang terdampak.
Siklon senyar, yang menumpahkan hujan ekstrem antara 300–411 mm/hari, menghantam sejumlah negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Dari tiga negara itu, Indonesia memiliki jumlah korban terbanyak.
Di Malaysia, jumlah korban hanya tiga orang. Sementara Thailand, yang berdampak pada 20 Provinsi dan 3,6 juta jiwa, banjir dan longsor menewaskan 267 orang.
Ironisnya, meskipun jumlah korban cukup besar dan taksiran kerugian ekonomi mencapai Rp 68,67 triliun (Celios, 2025), hampir tidak ada suara yang berani bertanya: mengapa siklon sesar berdampak sangat parah di Indonesia?
Sejak awal, kita disuguhi kesimpulan bahwa banjir dan longsor di Sumatera merupakan bencana alam. Kata itu meluncur begitu mudah dari bibir pejabat, dari tajuk berita, dan dari laporan resmi.
Kesimpulan itu menyingkirkan kesalahan manusia, seolah kematian dan kerusakan akibat banjir dan longsor sebagai takdir tak terhindarkan.
Lantaran kesimpulan yang menyesatkan itu, para pejabat leluasa berkerumun di lokasi bencana, menebar gestur iba di depan kamera, merangkai panggung simpati yang lebih mirip sandiwara politik ketimbang kepedulian nyata. Seolah-olah mereka dan kebijakan politiknya tak punya andil dalam bencana di Sumatera.
Tidak ada bencana alam
Semua fenomena geofisik dan meteorologis, seperti hujan deras, gempa bumi, letusan gunung, dan badai tropis, hanyalah ancaman (hazard). Ia adalah denyut alam yang tak bisa dicegah.
Namun, semua fenomena itu bisa menjelma menjadi bencana manakala aktivitas manusia dan infrastruktur fisik menempatkan diri di jalur ancaman (hazard).
Misalnya, ketika kota tumbuh di bantaran sungai, rumah dibangun di lereng tanpa fondasi, kebijakan tata-kota amburadul, dan hutan ditebang tanpa kendali.
James O'Keefe dkk. (1976) adalah ahli pertama yang mengkritik penggunaan istilah bencana alam. Menurut mereka, istilah itu membawa dua konsekuensi.
Pertama, cara pandang fatalistik yang menganggap ancaman (hazard) sebagai sesuatu yang tak terhindarkan (takdir), sehingga menyingkirkan kesalahan manusia.
Kedua, mengaburkan akar masalah, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan politik pembangunan yang abai lingkungan, sebagai penyebab kerentanan bencana (vulnerability).
Penjelasan mereka sangat rasional. Awal milenium ketiga, gagasan mereka menginsipirasi Kantor PBB untuk pengurangan risiko bencana atau United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) mengelorakan kampanye bertajuk: ”no natural disaster”.
Intinya, fenomena alam hanya hazard (ancaman). Namun, sebesar apa risikonya menjadi bencana? UNDRR menggunakan rumus sederhana: risiko bencana (disaster risk)= ancaman (hazard) + paparan (exposure) + kerentanan (vulnerability).
Hazard adalah fenomena, peristiwa, atau aktivitas yang dapat menyebabkan kerugian jiwa, kerusakan properti, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan.
Mulai dari faktor geologi (gempa bumi, tsunami), hidrometeorologi (banjir, badai), biologi (pandemi), dan teknologi (kebocoran kimia).
Hazard bersifat potensial dan bisa diukur dari intensitas, frekuensi, dan durasinya. Hampir semua ancaman alam bisa dideteksi dan diprediksi.
Sedangkan exposure adalah keberadaan manusia, aset, mata pencaharian, properti, sistem, atau elemen lain di lokasi yang berpotensi terkena bahaya (hazard).
Misalnya, kota dengan tata kelola buruk, sanitasi rusak, dan pemukiman padat di bantaran sungai, sangat mudah terpapar oleh ancaman alam.
Sementara vulnerability menyangkut kondisi yang ditentukan oleh faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan kerentanan suatu komunitas terhadap dampak bahaya (hazard).
Dalam konsep ini, orang miskin seringkali tidak memiliki pilihan selain menempati lahan yang paling murah dan berisiko. Ini termasuk daerah dataran banjir, lereng curam (rawan longsor), atau pesisir yang rentan tsunami/abrasi.
Dalam perspektif itu, hazard memang tak terhindarkan, tetapi bisa dideteksi dan diprediksi. Sementara paparan (exposure) dan kerentanan (vulnerability) sangat berkelindan dengan keputusan politik, kebijakan ekonomi, dan norma-norma sosial.
Siklon sesar yang menumpahkan hujan berskala besar, mungkin memicu banjir dan longsor di Sumatera. Namun, korban jiwa dan kerusakan tentu bisa diminimalkan jika hutan tidak gundul, pemukiman menjauh dari pinggir sungai, tata ruang yang berpihak pada keselamatan, dan langkah mitigasi yang sigap maksimum.
Sejak era kolonial hingga sekarang, Indonesia bertungkus-lumus dengan model ekonomi ekstraktivisme, yang menekankan eksploitasi sumber daya alam dalam skala besar-besaran dan intensif untuk diekspor dalam bentuk mentah maupun sedikit pengolahan ke pasar global.
Ekstraktivisme ini yang memicu deforestasi, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), dan degradasi ekosistem.
Dalam rentang waktu 2016-2025, ada 631 perusahaan ekstraktif (tambang, sawit, energi) beroperasi di hutan Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, dengan cakupan luas yang diterabas sekitar 1,4 juta hektar (Walhi, 2025).
Sementara data BPS menunjukkan, luas perkebunan sawit di Pulau Sumatera mencapai dari 8,78 juta hektar. Jumlah itu mewakili sekitar separuh total luas perkebunan sawit Indonesia.
Angka itu baru merekam luas konsesi sawit yang tercatat resmi; belum memasukkan bisnis sawit ilegal, di dalam kawasan hutan konservasi, maupun hutan lindung.
Lambatnya langkah mitigasi
Potensi bencana yang besar, dengan keterpaparan dan kerentana sangat tinggi, semakin diperparah oleh karakter birokrasi yang lamban dan abai terhadap data.
BMKG mulai mendeteksi bibit Siklon Tropis Senyar (sebelumnya Bibit Siklon 95B) sejak 21 November 2025. Peringatan dini dikeluarkan selama delapan hari sebelum siklon tersebut menyebabkan bencana banjir dan longsor di wilayah Sumatera.
Dua pekan sebelumnya, badai topan yang memicu banjir dahsyat dan longsor sudah menerjang Filipina. Banjir bah menyapu puluhan kota/kabupaten, dan memaksa 500.000 warga Filipina mengungsi. Kejadian itu harusnya peringatan.
Namun, sepertinya, pemerintah Pusat dan Daerah mengentengkan peringatan dini itu. Tidak ada gelombang peringatan dini secara masif hingga ke telinga warga terdampak.
Tak terlihat upaya evakuasi proaktif terhadap mereka yang berada di titik keterpaparan (exposure) tertinggi, seperti warga yang mendiami pinggiran sungai dan lembah yang dikelilingi bukit.
Tidak ada evakuasi terhadap kelompok rentan, seperti orangtua, ibu hamil atau punya balita, dan anak-anak. Tidak ada penyiapan posko pengungsian.
Sebagai negara yang tujuan nasionalnya (Pembukaan UUD 1945) berjanji melindungi segenap bangsa Indonesia, kejadian bencana di Sumatera adalah kelalaian politik yang dibayar sangat mahal oleh hampir seribu nyawa yang hilang.
Selain itu, banjir juga menelan 156.000 rumah, 435 jembatan, 1.200 fasilitas umum, dan 534 sekolah. Dan untuk pemulihan, BNPB memperkirakan biayanya sekitar Rp 51,82 triliun.
Bencana di Sumatera bukan hanya siklon atau hujan lebat; ia adalah cermin buruk dari kebijakan ekonomi ekstraktivisme, pembangunan tanpa penataan, dan sistem yang gagal melindungi warganya.