''Desersi'' Bupati Aceh Selatan: Politik Simbol atau Kerapuhan Sistem?
BANJIR yang merendam rumah-rumah warga Aceh Selatan bukan hanya bencana alam, melainkan juga ujian etika kepemimpinan.
Di saat warga berjuang menyelamatkan diri, Bupati Mirwan MS justru berada ribuan kilometer jauhnya, menunaikan ibadah di Tanah Suci.
Niat spiritual itu tentu bisa dimaklumi. Namun secara sosial-politik, absennya pemimpin di tengah krisis adalah tragedi.
Presiden Prabowo Subianto menyebutnya “desersi”—istilah militer yang menyingkap rapuhnya birokrasi sipil kita.
Fenomena ini tidak berhenti pada satu orang. Ia mencerminkan pola lama: birokrasi yang masih terjebak dalam feodalisme.
Kepala daerah diperlakukan sebagai “raja kecil” yang menjadi pusat kendali, bukan sekadar manajer publik. Ketika hadir, semua bergerak demi menyenangkan “Bapak”. Ketika absen, sistem lumpuh.
Jika diibaratkan orkestra, di negara maju, partitur memungkinkan musik tetap berjalan meski konduktor pergi.
Di Aceh Selatan, orkestra berhenti total karena birokrasi tidak dirancang untuk auto-pilot.
Studi psikologi kepemimpinan paternalistik menunjukkan bahwa ketergantungan pada sosok pemimpin menciptakan kelumpuhan keputusan: bawahan takut melangkah karena khawatir dianggap melampaui wewenang.
Absennya Mirwan menciptakan kondisi “yatim piatu” administratif. Sistem mitigasi bencana ternyata rapuh bukan karena kurang alat, melainkan karena mentalitas birokrat diprogram untuk patuh, bukan berinisiatif.
Kita masih mencari “Ratu Adil” yang dianggap mampu menyelesaikan semua masalah. Padahal yang dibutuhkan adalah sistem yang bekerja otomatis seperti lampu lalu lintas: tetap mengatur meski polisi tidak hadir.
Kambing hitam dan ilusi partai bersih
Gerindra bergerak cepat memecat Mirwan. Langkah ini tampak tegas, tetapi sesungguhnya mencerminkan mekanisme scapegoating klasik.
René Girard menjelaskan bahwa komunitas yang menghadapi krisis reputasi membutuhkan korban untuk dikorbankan demi memulihkan ketertiban. Mirwan menjadi kandidat sempurna untuk ritual ini.
Dengan menyingkirkannya, partai melakukan political hand-washing: pesan bawah sadar yang ingin disampaikan adalah “kami bersih, dia kotor”.
Namun, pertanyaan kritis bukanlah seberapa cepat ia dipecat, melainkan bagaimana ia bisa lolos seleksi sejak awal.
Kajian integritas partai politik menunjukkan bahwa rekrutmen sering transaksional. Modal kapital lebih penting daripada kapabilitas atau integritas.
Jika partai politik diibaratkan pabrik penyulingan air, kasus Mirwan menunjukkan bahwa filternya rusak.
Membuang satu botol keruh tidak memperbaiki mesin. Tanpa vetting psikologis yang serius, “Mirwan-Mirwan” lain akan terus muncul.
Kemarahan elite pusat sebenarnya adalah proyeksi ketakutan: takut dianggap gagal mengendalikan daerah. Maka, mereka butuh pertunjukan tegas untuk menutupi kelemahan struktural.
Scapegoating menjadi ilusi optik yang menenangkan publik, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah.
Respons Kementerian Dalam Negeri yang sibuk menelusuri sumber dana umrah sang bupati menunjukkan penyakit birokrasi: goal displacement. Fokus bergeser dari tujuan utama (menyelamatkan rakyat) ke hal administratif (kwitansi perjalanan).
Secara psikologis, ini adalah mekanisme pertahanan diri birokrasi. Mengaudit tiket pesawat mudah dan terukur, sementara mengevaluasi kegagalan layanan publik rumit dan menyakitkan.
Maka, birokrasi memilih jalan aman. Analogi dokter yang meninggalkan pasien di meja operasi menggambarkan absurditas ini: masalah utama bukan tiket liburan, melainkan pasien yang sekarat.
Fokus berlebihan pada legalitas menyiratkan pesan berbahaya: meninggalkan rakyat saat bencana bisa ditoleransi asal izinnya lengkap.
Ini menihilkan etika publik intersubjektif, di mana pemimpin dan rakyat seharusnya berbagi rasa senasib. Ketakutan pejabat pelaksana terhadap auditor lebih besar daripada kepedulian pada korban banjir.
Karena itu, solusi harus sistemik. Pertama, otomatisasi komando darurat. UU Penanggulangan Bencana perlu memuat klausul bahwa jika kepala daerah absen 1x24 jam saat status awas, komando otomatis beralih ke aparat lokal dengan dukungan Sekda. Sistem harus bisa mengambil alih kemudi ketika pilot tertidur.
Kedua, akuntabilitas kolektif partai. Jika kader melakukan pelanggaran etika berat, partai harus ikut menanggung sanksi berupa pengurangan dana bantuan parpol atau jatah kampanye. Ini memaksa partai memperbaiki filter rekrutmen, bukan sekadar cuci tangan.
Ketiga, perlindungan hukum bagi pengambil keputusan krisis. Pejabat pelaksana harus diberi payung hukum agar berani bertindak tanpa bayang-bayang kriminalisasi, selama tidak ada niat jahat memperkaya diri. Tanpa rasa aman psikologis, birokrat akan terus memilih diam.
Kasus Aceh Selatan adalah cermin retak wajah kita sendiri. Menyalahkan pantulan tidak akan memperbaiki wajah.
Yang perlu diperbaiki adalah sistem politik dan birokrasi agar lebih manusiawi, berani bertindak, dan tidak bergantung pada keberuntungan memiliki pemimpin yang kebetulan baik.
Tag: #desersi #bupati #aceh #selatan #politik #simbol #atau #kerapuhan #sistem