Lebih Dekat, Lebih Hijau: Produksi LPG Lokal untuk Tekan Emisi Transportasi Energi
- Kilang LPG Recovery Cilamaya di Karawang akan segera beroperasi untuk memperkuat pasokan energi domestik.
- Fasilitas ini akan memproduksi sekitar 178 metrik ton LPG per hari dari gas bumi domestik.
- Operasional kilang bertujuan mengurangi ketergantungan impor LPG yang tinggi serta menekan jejak karbon distribusi.
Wacana energi hijau sering dikaitkan dengan panel surya, mobil listrik, atau angin laut. Namun, salah satu langkah penting menuju energi yang lebih berkelanjutan justru datang dari hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari: LPG yang kita gunakan di dapur dan sektor usaha kecil.
Dengan segera beroperasinya Kilang LPG Recovery Cilamaya di Karawang, Indonesia bukan hanya memperkuat pasokan energi lokal, tetapi juga berpotensi menekan jejak karbon dari distribusi energi yang selama ini bergantung pada impor jarak jauh.
Selama ini, kebutuhan LPG nasional mencapai 6,5–7 juta ton per tahun, dengan 75–80 persen pasokan masih bergantung pada impor dari negara seperti Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, dan Aljazair.
Selain rawan terhadap fluktuasi geopolitik dan harga global, model logistik berbasis impor menciptakan emisi besar dari transportasi laut berjarak ribuan kilometer.
Produksi LPG dari dalam negeri menjadi salah satu solusi untuk mengurangi jejak karbon rantai pasok, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Kilang LPG Cilamaya, yang progres EPC-nya telah mencapai sekitar 85 persen dan ditargetkan beroperasi komersial sebelum akhir Januari 2026, hadir sebagai bagian dari strategi tersebut.
Hidayat, Project Manager, menegaskan urgensi pembangunan fasilitas ini dalam konteks kemandirian energi nasional.
“Kilang ini dirancang untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap pasokan LPG nasional sekaligus memperkuat ketahanan energi. Saat ini sebagian besar kebutuhan LPG domestik masih bergantung pada impor,” ujarnya.
Kilang ini akan menerima pasokan gas dari PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ dan mampu memproduksi sekitar 178 metrik ton LPG per hari.
Teknologi pemrosesan yang digunakan meliputi dua kolom fraksinasi dan satu kolom absorpsi, dengan gabungan sistem pendinginan dari Mechanical Refrigeration Unit (MRU) ditambah Turbo Expander untuk efisiensi recovery propana dan butana.
Teknologi ini memungkinkan produksi yang lebih optimal dari sumber gas bumi domestik tanpa menambah pembangkit terpisah yang berpotensi meningkatkan jejak karbon.
Dari sisi energi listrik, kilang ini bekerja sama dengan PT PLN (Persero) untuk menyuplai kebutuhan daya sekitar 3.465 KVA per hari. Pendekatan ini dipilih sebagai opsi yang lebih efisien dan ramah lingkungan dibandingkan membangun pembangkit listrik mandiri.
Selain mendukung infrastruktur kelistrikan nasional, skema ini mengurangi kebutuhan pembangunan fasilitas energi tambahan yang dapat memicu emisi baru.
Selain aspek lingkungan, proyek ini turut memberikan dampak ekonomi lokal. Pada fase konstruksi, sekitar 261 tenaga kerja lokal terlibat, dan sedikitnya 25 pekerja diproyeksikan terserap pada masa operasi selama 10 tahun ke depan.
Efek lanjutannya diperkirakan turut mendorong aktivitas ekonomi pelaku usaha di sekitar wilayah operasi.
Partisipasi swasta nasional dalam proyek ini dipandang sebagai bentuk kepercayaan terhadap arah kebijakan energi pemerintah dan bisa menjadi contoh bagaimana industri energi fosil transisi menuju pendekatan yang lebih efisien dan berkelanjutan—tanpa melepas kebutuhan energi masyarakat.
Dengan produksi LPG yang lebih dekat dari sumbernya, rantai pasok lebih ringkas, risiko impor menurun, dan jejak karbon transportasi dapat ditekan.
Di tengah ambisi menuju Indonesia Emas 2045, langkah seperti ini bukan hanya soal energi, tetapi tentang bagaimana negara bergerak menuju efisiensi yang lebih hijau.
Tag: #lebih #dekat #lebih #hijau #produksi #lokal #untuk #tekan #emisi #transportasi #energi