Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi
Presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.(gerindra.id)
10:10
21 November 2025

Naiknya Elektabilitas Gerindra dan Kompetisi Internal Koalisi

INGATAN kita tentang Pemilu 2024 masih begitu membekas. Kini, ingatan publik kembali dijejali gelaran Pemilu 2029: mulai dari siapa saja calon presiden potensial, partai politik apa saja yang bakal bertanding, partai politik mana yang elektablitas naik, stagnan dan merosot.

Padahal, di antara dua pemilu, ada janji yang harus ditunaikan dan kesejahteraan rakyat yang harus diwujudkan.

Hasil survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 20-27 Oktober 2025, memotret munculnya nama-nama calon presiden potensial dan naik-turunnya elektabilitas partai politik.

Ada yang menarik dari hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut: elektabilitas Gerindra naik secara eksponensial mencapai angka 29,4 persen, jauh di atas partai papan atas lainnya seperti PDIP (9,4 persen) dan Golkar (8,9 persen).

Padahal, hasil Pemilu 2024 menempatkan Gerindra di urutan pemenang ketiga dengan perolehan suara nasional sebesar 13,22 persen, sementara PDIP (16,72 persen) berada pada pemenang pertama dan Golkar (15,29 persen) berada pada pemenang kedua.

Hasil survei tersebut menjadi langkah awal yang optimistis bagi Gerindra sekaligus alarm peringatan bagi partai politik lainnya.

Mengapa elektabilitas Gerindra melenting, sementara elektabilitas partai politik lainnya, terutama partai politik pendukung koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, cenderung mengalami penurunan? Ini terkait dengan faktor kinerja kepemimpinan Prabowo dan sistem pemilu.

Kepemimpinan Prabowo dan program populis

Bagaimana pun juga, elektabilitas Gerindra sangat terkait dengan kinerja kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Prabowo adalah pendiri partai yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra. Bisa dikatakan, apa yang dilakukan oleh kepemimpinan Prabowo memiliki dampak terhadap Gerindra, termasuk elektoral.

Inilah yang dinamakan coatail effect atau efek ekor jas. Partai-partai pendukung pemerintah akan mendapatkan manfaat elektoral dari kinerja positif presiden.

Tingkat kepuasaan masyarakat terhadap kinerja presiden berbanding lurus dengan tingkat dukungan terhadap partai-partai pendukungannya.

Dalam konteks ini, Gerindra sebagai partainya presiden mendapatkan manfaat elektoral terbesar ketimbang partai-partai pendukung lainnya seperti Golkar, PAN dan Demokrat.

Presedennya sudah ada. Partai Demokrat mengalami kenaikan signifikan suara, dari 7,45 persen pada 2004 menjadi 20,81 persen pada 2009.

Kenaikan elektabilitas Demokrat tersebut terjadi dalam 10 tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Masyarakat menghadiahi keberhasilan kepemimpinan SBY dengan memilih Demokrat yang notabene merupakan partainya SBY.

Apa yang terjadi dengan Gerindra dalam masa kepemimpinan Presiden Prabowo –dengan potret ‘sementara’ hasil survei Indikator Politik Indonesia tersebut– menyerupai dengan pengalaman Demokrat dalam masa kepemimpinan SBY.

Bedanya, naiknya elektabilitas Gerindra masih pada tahap hasil survei, bukan hasil resmi pemilu.

Meskipun demikian, hal ini mencerminkan bahwa Gerindra mendapatkan ‘hadiah’ coatail effect dari kinerja Presiden Prabowo yang tingkat kepuasannya mencapai 77,7 persen.

Dalam simulasi calon presiden, elektabilits Prabowo berada di atas calon-calon yang lain, yaitu mencapai 46,7 persen.

Tingginya tingkat kepuasaan Prabowo dan naiknya elektabilitas Gerindra ditopang oleh pelbagai program populis Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih dan Sekolah Rakyat.

Program populis tersebut disertai dengan retorika populis yang memang khas Prabowo, seperti antek-antek asing, pakai uang koruptor untuk rakyat, tindak tegas tambang ilegal meskipun dibekengi para jenderal dan lain sebagainya.

Rasa-rasanya, program dan retorika populis adalah kombinasi yang tepat untuk menyentuh hati rakyat. Apalagi program populis seperti MBG dan Kopdes Merah Putih melibatkan orang dalam jumlah yang banyak dengan jejaring hingga ke pelosok negeri, yang sangat potensial dijadikan infrastruktur politik ke depannya.

Jika hanya Gerindra yang memperoleh coatail effect terbesar Prabowo, lalu bagaimana nasib elektoral partai-partai koalisinya? Di sinilah kompetisi politik sesungguhnya akan terjadi: kompetisi internal antarpartai politik dalam koalisi.

Kompetisi internal koalisi

Tanpa mendahului nasib politik, Pemilu 2029 tentu menguntungkan petahana. Dalam sejarah pemilihan presiden langsung pascareformasi, presiden selalu menjabat dua periode atau 10 tahun kepemimpinan.

Karena itu, selain memperebutkan posisi cawapres-nya Prabowo, kompetisi politik sesungguhnya terjadi antarpartai politik, terutama di antara partai politik koalisi pemerintah.

Dengan kata lain, dukungan dalam Pilpres boleh sama, tapi urusan pemilihan legislatif (pileg) masing-masing partai politik saling berebut suara pemilih.

Masing-masing partai politik tentu tidak menghendaki penurunan perolehan suara, yang otomatis berdampak pada penurunan perolehan kursi di parlemen.

Kerja elektoral adalah kerja kesunyian masing-masing partai dan caleg. Dengan naiknya elektabilitas Gerindra dalam survei tersebut berarti alarm bagi partai-partai koalisi pemerintah.

Ada dua kemungkinan respons partai: semakin mengasosiasikan dengan Prabowo agar kebagian coatail effect. Atau sedikit mengambil jarak, tapi masih dalam radar pendukung pemerintah, demi fokus persiapan menghadapi pemilu.

Dua kemungkinan respons tersebut akan diuji dalam agenda politik terdekat, yaitu terkait Revisi UU Pemilu yang notabene merupakan aturan main kompetisi.

Elektabilitas Gerindra boleh tinggi –sebagaimana dipotret dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia di atas– dalam sistem proporsional tertutup (memilih partai saja).

Namun, dalam sistem proporsional terbuka hari ini (memilih caleg dan atau partai) apakah elektabilitas Gerindra bakal tetap tinggi?

Bagaimana pun juga, sistem pemilu menjadi salah satu penentu kemenangan suatu partai politik.

Karena itu, Revisi UU Pemilu yang rencana akan dibahas di DPR RI pada 2026 mendatang, menjadi arena kompetisi antarpartai politik, termasuk kompetisi internal koalisi pemerintah. Di sini lah kompetisi awal itu akan berlangsung, sebelum menghadapi pemilu mendatang.

Tag:  #naiknya #elektabilitas #gerindra #kompetisi #internal #koalisi

KOMENTAR