Ragam Usulan RUU Hak Cipta: Royalti Kilat, Sidang Cepat ala Tilang, hingga Aturan Panggung Hajatan
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kembali menghimpun sejumlah masukan dari pelaku industri musik dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait penyusunan revisi Undang-Undang Hak Cipta.
Dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara I, Kamis (20/11/2025), berbagai usulan mengemuka, mulai dari pembatasan waktu pembayaran royalti, mekanisme pengadilan cepat, perluasan aturan ke panggung hiburan rakyat, hingga penurunan tarif pajak.
Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan mengapresiasi kehadiran para narasumber, termasuk penyanyi senior Rhoma Irama yang diundang sebagai perwakilan Ketua Umum Persatuan Artis Musik Dangdut Indonesia (PAMDI).
“Kami ucapkan selamat datang dan terima kasih kepada para narasumber yang telah hadir, yaitu Bapak Haji Rhoma Irama, Ketua Umum Persatuan Artis Musik Dangdut Indonesia atau PAMDI. Terima kasih, Pak Haji, atas kehadirannya,” ujar Bob Hasan saat membuka rapat.
Selain Rhoma, hadir pula Bendahara Umum Backstagers Debora Sharon, seniman sekaligus pendiri Solo International Art Camp Sulistyo, Legal Manager Multivision Plus Grahadita Imas Utami, serta Ketua LMK Royalti Anugrah Indah Dadang.
Bob menjelaskan, RDPU digelar untuk mengumpulkan masukan terkait harmonisasi, sinkronisasi, dan pembulatan konsepsi dalam draf RUU Hak Cipta yang sedang disusun.
“Acara kita hari ini untuk penyusunan RUU Hak Cipta, kali ini di Baleg harmonisasi, sinkronisasi, pembulatan konsepsi terkait RUU Hak Cipta,” kata Bob.
DPR menargetkan penyusunan RUU Hak Cipta rampung dalam waktu dekat agar revisi undang-undang yang bertujuan menyelesaikan polemik royalti ini tetap dapat disahkan tahun ini.
Usulan bayar cepat royalti maksimal tiga hari
Sekretaris Jenderal PAMDI Waskito mengusulkan agar pembayaran royalti dari penggunaan lagu dalam pertunjukan diberi batas waktu maksimal tiga hari setelah acara digelar.
Ia menilai, selama ini keterlambatan pembayaran sering memicu konflik antara pencipta dan performer.
“Supaya tidak menjadi konflik, Pak. Karena kalau tidak dikasih batasan waktu, mereka lalai. Jadi membayarnya itu bisa sampai dengan sebulan dua bulan,” ujar Waskito.
Dia menjelaskan, keterlambatan tersebut juga menghambat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam menyalurkan royalti kepada pencipta yang membutuhkan kepastian pendapatan.
“Sementara pencipta ini mendesak ya LMKN, karena kami mengalami, Pak, kemarin di periode lalu itu harus mendistribusi setiap bulan. Karena ini kan real penggunaannya jelas, lockseed-nya jelas,” tuturnya.
Waskito berharap aturan waktu yang jelas dapat menyelesaikan polemik Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 9 UU Hak Cipta yang selama ini kerap menimbulkan perdebatan mengenai izin penggunaan karya.
“Jadi memang harus ada parameter waktu yang pasti untuk menekan supaya mereka itu lebih patuh dalam melaksanakan kewajibannya,” ujarnya.
Usulan pengadilan cepat sengketa royalti seperti tilang
Waskito juga mengusulkan agar revisi UU Hak Cipta memuat mekanisme pengadilan cepat.
Sistem ini dinilai dapat mempercepat penyelesaian sengketa royalti dan mengurangi konflik antara pengguna serta pemilik hak cipta.
“Terus kemudian yang keempat adalah sistem pengadilan cepat, Pak. Karena kan kita ini di dalam Undang-Undang Hak Cipta dan juga PP dan Peraturan Menteri sudah ada tarif yang pasti, Pak, di dalam penarikan royalti ini,” ujar Waskito.
Dia menganalogikan mekanisme tersebut seperti sidang tilang yang prosesnya sederhana, dan langsung menetapkan besaran pembayaran bagi pelanggarnya.
“Jadi pengadilan cepat seperti macam pelanggaran lalu lintas, Pak. Datang langsung diketok, bayar sekian sesuai dengan tarif. Itu akan lebih efektif dan efisien, gitu kan,” kata dia.
Royalti untuk panggung hajatan
Dalam RDPU yang sama, Waskito menekankan pentingnya memastikan aturan royalti juga berlaku bagi panggung hiburan rakyat, termasuk pesta hajatan yang menjadi ruang utama musisi dangdut.
“Nah ini karena dangdut ini kan lebih eksisnya ada di lapis bawah,” ujarnya.
Menurutnya, panggung hiburan rakyat selama ini belum terkelola dengan baik, padahal mayoritas pasar musik dangdut berada di ruang tersebut.
“Untuk pentas hiburan rakyat yang ada di bawah, seperti macam panggung hajatan dan lain-lain, ini belum terkelola, pimpinan. Sementara pangsa pasar kami, dangdut yang terbesar ada di sana,” imbuhnya.
Waskito juga menyinggung masih minimnya penghargaan terhadap musik dangdut di ruang-ruang formal, yang mengakibatkan genre itu tidak banyak diputar di lokasi yang biasanya membayar royalti.
“Dangdut ini kan, walaupun sudah diakui sebagai salah satu identitas bangsa kita, namun di dalam sebagian orang masih menganggap malu-malu. Sehingga dangdut enggak mungkin diputar di hotel berbintang lima, di restoran mewah,” kata dia.
Dia berharap revisi UU Hak Cipta dapat memperluas mekanisme royalti ke ruang hiburan rakyat.
“Maka kita mengharapkan ada pengaturan ke depan mengenai royalti ini sampai menyentuh,” ujarnya.
Waskito juga meminta Baleg menambahkan definisi terkait penggunaan karya untuk kegiatan non-komersial, yang dinilai belum jelas dalam UU saat ini.
“Maka kami berharap ditambahkan ketentuan bahwa penggunaan secara non-komersial adalah pemanfaatan ciptaan dan atau produk hak terkait dengan tujuan untuk tidak memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar yang menggunakan biaya produksi,” tutur dia.
Usulan pajak di-cut, tarif 15 persen dinilai tak adil
Usulan lain yang mengemuka dalam rapat adalah permintaan agar pemerintah menurunkan tarif pajak atas royalti musik yang saat ini sebesar 15 persen.
“Terus kemudian pengenaan pajak yang lebih ringan, Pak. Sekarang ini kita masih dikenakan 15 persen sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan,” ujar Waskito.
Dia menilai karakter karya musik sebagai produk intelektual berbeda dengan komoditas berbasis sumber daya alam, sehingga tarif pajaknya tidak seharusnya disamakan.
“Nah khusus untuk royalti ini kan tidak menggunakan atau memanfaatkan sumber daya alam mineral yang ada di negara kita. Ini kan benar-benar abstrak, hak kekayaan intelektual manusia, gitu loh,” kata dia.
Waskito berharap tarif pajak royalti dapat diturunkan agar lebih berkeadilan bagi pencipta dan musisi.
“Jadi kita berharapnya untuk pajaknya itu tidak disamakan dengan pajak royalti seperti kayak macam di pertambangan, di migas, dan lain-lain. Jadi bisa lebih ringan, sehingga lebih berkeadilan,” pungkasnya.
Tag: #ragam #usulan #cipta #royalti #kilat #sidang #cepat #tilang #hingga #aturan #panggung #hajatan