Matinya Kepakaran dan Menimbang Regulasi Sertifikasi Influencer
DI TENGAH derasnya arus informasi di dunia maya, batas antara pengetahuan dan opini kian kabur. Siapa pun kini dapat berbicara tentang hukum, kesehatan, ekonomi, hingga politik tanpa harus memiliki latar belakang keilmuan di bidang tersebut.
Fenomena ini sering kali melahirkan bias, kesalahpahaman, bahkan disinformasi yang menyesatkan publik.
Dalam hal itulah, China mengambil langkah ekstrem dengan mewajibkan para influencer memiliki sertifikasi atau kualifikasi akademik sebelum membahas topik-topik profesional.
Langkah yang mereka sebut sebagai “penjagaan kualitas informasi”, tetapi di mata banyak pihak, justru menjadi bentuk lain dari pembatasan kebebasan berekspresi.
Gelombang kebijakan ini tampaknya mulai menggoda negara lain, termasuk Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) sedang mengkaji kemungkinan penerapan regulasi serupa.
Argumennya sederhana: menjaga ekosistem digital agar lebih bertanggung jawab dan bebas dari konten menyesatkan.
Kendati demikian, di balik niat menjaga kualitas informasi, kebijakan sertifikasi bagi influencer menyimpan persoalan serius tentang batas peran negara dalam mengatur ruang wacana publik.
Ruang digital sebagai perpanjangan demokrasi memberi peluang setara bagi setiap warga untuk menyampaikan pandangan tanpa sekat akademik atau status sosial.
Ketika negara mensyaratkan kualifikasi formal untuk membicarakan isu tertentu, ancamannya bukan hanya pada kebebasan berekspresi, melainkan juga pada gagasan kesetaraan dan keberagaman suara.
Regulasi yang tidak proporsional berisiko mengekang dinamika pengetahuan dan menjadikan otoritas negara sebagai penentu tunggal siapa yang dianggap layak berbicara.
Fenomena sosial dan krisis pengetahuan publik
Tom Nichols dalam The Death of Expertise (2017) menggambarkan gejala sosial ketika masyarakat modern mulai kehilangan kepercayaan terhadap otoritas pengetahuan.
Kematian kepakaran, menurutnya, bukan berarti para ahli lenyap, melainkan publik tak lagi mengakui legitimasi mereka.
Internet dan media sosial mempercepat proses ini dengan menciptakan ilusi kesetaraan opini—seolah semua pandangan memiliki bobot yang sama tanpa perlu dasar ilmiah atau metodologis.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut Nichols sebagai egalitarianism of ignorance, yakni kesetaraan semu dalam ketidaktahuan yang mengaburkan batas antara pengetahuan dan pendapat pribadi.
Kondisi tersebut diperparah oleh dua arus besar: anti-intelektualisme dan populisme digital. Anti-intelektualisme lahir dari ketidakpercayaan terhadap institusi pengetahuan seperti universitas dan media.
Sementara populisme digital menempatkan suara mayoritas daring seolah lebih sahih dari analisis ilmiah.
Akibatnya, kepakaran dipandang elitis dan curiga sebagai alat kekuasaan. Dalam situasi demikian, masyarakat yang menolak otoritas ilmiah justru semakin mudah terperangkap dalam disinformasi dan manipulasi opini.
Dalam hal kebijakan sertifikasi influencer, gagasan Nichols menjadi relevan. Upaya negara mengembalikan otoritas pengetahuan lewat sertifikasi tampak sebagai respons terhadap krisis kepercayaan terhadap kepakaran.
Namun, sebagaimana diperingatkan Nichols, masalahnya tidak sesederhana memberi label “ahli” kepada segelintir orang.
Akar persoalan terletak pada menurunnya literasi dan kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri—sebuah tantangan yang tak dapat diselesaikan hanya dengan regulasi administratif.
Antara pelindungan dan pengendalian
Upaya negara mengembalikan otoritas pengetahuan melalui kebijakan sertifikasi kerap menimbulkan dilema antara perlindungan dan pengendalian. Di satu sisi, regulasi diperlukan untuk membendung disinformasi dan menjaga akurasi dalam isu-isu publik yang sensitif.
Namun, di sisi lain, langkah tersebut berpotensi memperluas kuasa negara dalam menentukan siapa yang sah untuk berbicara.
Negara perlahan bergeser dari penjaga ketertiban informasi menjadi penentu legitimasi pengetahuan sehingga kebebasan berekspresi berubah menjadi hak yang harus “disahkan” melalui mekanisme administratif.
Pendekatan berbasis sertifikasi pun mengandung risiko birokratisasi pengetahuan. Alih-alih memperkuat literasi digital dan tanggung jawab etis para pembuat konten, regulasi semacam ini justru menempatkan pengetahuan dalam kerangka izin.
Padahal, dinamika ilmu dan gagasan tumbuh dari perdebatan terbuka, bukan dari sistem yang memagari wacana berdasarkan kualifikasi formal.
Profesionalisasi informasi memang penting. Namun, jika diterapkan secara kaku, ia dapat melumpuhkan ruang dialog antara pakar dan masyarakat.
Dalam hal demokrasi digital, kebijakan semacam ini perlu diawasi agar tidak berubah menjadi instrumen pembungkaman yang halus.
Pelindungan publik dari hoaks seharusnya dicapai melalui penguatan literasi, verifikasi, dan etika komunikasi, bukan dengan membatasi hak berbicara berdasarkan gelar atau sertifikat.
Jika negara terlalu jauh mengatur siapa yang berhak berpendapat, maka kebebasan berekspresi berisiko digantikan oleh kontrol pengetahuan—dan pada titik itu, kepakaran justru benar-benar mati.
Regulasi atas ruang digital tidak semestinya dimaknai sebagai upaya membungkam, tetapi sebagai tanggung jawab untuk menata ulang hubungan antara kebebasan dan akurasi.
Tantangannya adalah bagaimana menjaga otoritas pengetahuan tanpa mengebiri hak warga untuk berpartisipasi dalam wacana publik. Menegakkan kepakaran tanpa mematikan demokrasi.
Negara perlu memosisikan diri bukan sebagai “penjaga gerbang kebenaran”, melainkan sebagai fasilitator literasi, transparansi, dan akuntabilitas digital.
Kepakaran tidak bisa ditegakkan melalui sertifikat semata, melainkan melalui proses pendidikan publik yang berkelanjutan.
Dalam kerangka itu, pengetahuan harus dikembalikan pada ruang dialog yang terbuka dan dapat diuji.
Pakar perlu hadir bukan sebagai otoritas yang memerintah, tetapi sebagai mitra diskusi publik yang memampukan masyarakat memahami kompleksitas persoalan.
Sebaliknya, masyarakat perlu didorong untuk bersikap kritis tanpa menolak keahlian. Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh jika ada keseimbangan antara suara publik dan suara pengetahuan, bukan dominasi salah satunya.
Kematian kepakaran yang diperingatkan Nichols seharusnya menjadi refleksi, bukan justifikasi bagi pembatasan. Tantangan utama era digital bukanlah terlalu banyak orang berbicara, melainkan terlalu sedikit yang berpikir secara kritis.
Maka, tugas negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat adalah menumbuhkan kembali budaya nalar dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan—tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi yang menjadi jiwa demokrasi itu sendiri.
Tag: #matinya #kepakaran #menimbang #regulasi #sertifikasi #influencer