Pahlawan Nasional Mochtar Kusumaatmaja dan Diplomasi yang Menyatukan Negara Kepulauan
Mochtar Kusumaatmadja(Wikipedia)
11:02
11 November 2025

Pahlawan Nasional Mochtar Kusumaatmaja dan Diplomasi yang Menyatukan Negara Kepulauan

KETIKA Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945 dan menyebutkan bahwa “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”, kenyataan di lapangan masih jauh dari utuh.

Indonesia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau kala itu masih terpisah oleh laut yang, menurut hukum internasional lama, bukan bagian dari wilayah kedaulatan negara.

Dunia pada masa itu menganut pandangan bahwa batas teritorial laut suatu negara hanya sejauh 3 mil dari garis pantai, sesuai Territorial Sea and Maritime Zones Ordinance peninggalan kolonial Belanda tahun 1939.

Artinya, laut di antara pulau-pulau nusantara adalah laut bebas (high seas) yang dapat dilintasi siapa pun.

Dengan konsep itu, Indonesia, yang kita kenal hari ini sebagai satu kesatuan utuh dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote, masih tampak seperti gugusan pulau terpisah di peta dunia, mudah dipecah dan rawan diklaim pihak lain.

Namun hari ini, kita berdiri tegak sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan laut bukan lagi pemisah, melainkan perekat dan penghubung antarpulau.

Perubahan fundamental ini tak lepas dari gagasan seorang cendekiawan hukum internasional, yaitu Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang pada 10 November 2025, resmi ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.

Lahir di Bandung, 17 Februari 1929, Mochtar Kusumaatmaja menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia, kemudian melanjutkan ke Yale University dan Universitas Harvard.

Dalam perjalanan kariernya sebagai akademisi, diplomat, dan Menteri Luar Negeri (1978–1988), ia dikenal sebagai pemikir visioner yang mampu menjembatani ilmu hukum, diplomasi, dan kepentingan nasional.

Inspirasi perjuangannya berakar pada Deklarasi Djuanda 1957, ketika pemerintah Indonesia menyatakan bahwa laut di antara pulau-pulau nusantara merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia. Deklarasi ini adalah tonggak penting, tetapi belum diakui dunia.

Mochtar Kusumaatmaja kemudian berjuang keras agar konsep tersebut diterima dalam hukum internasional.

Ia memperkenalkan istilah archipelagic state (negara kepulauan) dan memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan di forum United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS).

Melalui diplomasi yang sabar, cerdas, dan penuh argumentasi hukum di masa Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, Mochtar Kusumaatmaja membangun koalisi dengan negara-negara kepulauan lain seperti Filipina, Fiji, dan Mauritius.

Perjuangan panjang itu berbuah hasil pada tahun 1982, ketika konsep negara kepulauan akhirnya diakui dalam UNCLOS 1982 sebagai konvensi hukum laut yang kini menjadi rujukan utama tata kelola laut dunia.

Pengakuan ini mengubah peta Indonesia secara dramatis. Sebelum UNCLOS, laut Indonesia hanya sejauh 3 mil dari pantai; setelahnya, laut teritorial diperluas menjadi 12 mil, dan seluruh laut di antara pulau-pulau diakui sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia.

Dampaknya luar biasa, yaitu wilayah perairan Indonesia meluas dari sekitar 2 juta km persegi menjadi lebih dari 6 juta km persegi. Laut yang dulu dianggap memisahkan, kini secara hukum internasional menjadi unsur pemersatu Indonesia.

Dari Mochtar Kusumaatmadja kita belajar bahwa diplomasi bisa sekuat perjuangan fisik. Ia bukan hanya ahli hukum, melainkan diplomat dan arsitek kedaulatan maritim Indonesia, seorang pemikir yang sudah sejak lama memandang laut sebagai “tol laut” yang menghubungkan seluruh kepulauan nusantara.

Ia membuktikan bahwa perjuangan mempertahankan kedaulatan bisa dilakukan dengan pena, nalar, dan strategi, bukan semata dengan peluru.

Warisan intelektual dan politik Mochtar Kusumaatmaja terasa sangat relevan hari ini, bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga negara kepulauan lainnya.

Di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan Indo-Pasifik, serta ancaman pencemaran laut, penangkapan ikan ilegal, dan eksploitasi sumber daya berlebihan, gagasan Mochtar Kusumaatmaja tentang Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat dan berkeadilan menjadi semakin penting.

Ia mengingatkan bahwa laut harus dijaga bukan hanya sebagai batas, tetapi juga sebagai ruang hidup dan kesejahteraan bersama.

Oleh karena itu, penetapan gelar Pahlawan Nasional bagi Mochtar Kusumaatmadja bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan pengakuan atas perjuangan panjang yang jarang disorot publik.

Ia berjuang di medan diplomasi, di ruang perundingan internasional yang sunyi, untuk memastikan Indonesia diakui sebagai satu kesatuan utuh.

Dalam hal ini, Mochtar Kusumaatmaja sejajar dengan Pahlawan Nasional lain seperti Abdul Muis, yang juga berjuang dengan pena dan kata-kata.

Kini, tantangan kita bukan lagi menuntut pengakuan dunia, tetapi menjaga dan mengelola kedaulatan itu dengan bijak.

Saat kita menikmati hasil perjuangan Mochtar Kusumaatmaja berupa laut yang menyatukan bangsa, maka sejatinya kita diingatkan untuk terus menghidupkan semangat yang ia wariskan, yaitu semangat nasional yang melihat laut bukan sebagai sumber konflik, tetapi sebagai sumber kolaborasi, kemakmuran, dan masa depan.

Akhirnya, selama laut Indonesia tetap biru di bawah langit merah putih, warisan Mochtar Kusumaatmadja akan terus hidup, mengalun di setiap ombak yang menyatukan Indonesia.

Tag:  #pahlawan #nasional #mochtar #kusumaatmaja #diplomasi #yang #menyatukan #negara #kepulauan

KOMENTAR