Ahli Ungkap Ada Faktor Disinformasi dan Manipulasi saat Rumah Sahroni hingga Uya Kuya Dijarah
Penampakan saat rumah politis Partai NasDem Ahmad Sahroni digeruduk dan dijarah massa pada Sabtu (30/8/2025) lalu. [Istimewa]
10:56
1 November 2025

Ahli Ungkap Ada Faktor Disinformasi dan Manipulasi saat Rumah Sahroni hingga Uya Kuya Dijarah

Baca 10 detik
  • Peristiwa itu merupakan hasil dari disinformasi dan penggiringan opini yang terencana.
  • Gusti Aju mengatakan masyarakat telah digiring ke dalam perang persepsi dan informasi.
  • Tindakan penjarahan dan persekusi terhadap para pejabat tidak dapat dibenarkan dari sisi moral maupun hukum.

Ahli strategi kecerdasan buatan (AI) sekaligus grafolog dan pengamat perilaku, Gusti Aju Dewi, menilai aksi penjarahan yang menimpa sejumlah pejabat publik dan selebritas pada akhir Agustus 2025 bukan sekadar ledakan kemarahan rakyat.

Menurutnya, peristiwa itu merupakan hasil dari disinformasi dan penggiringan opini yang terencana.

Gusti Aju mengaku telah mengamati pola pergerakan massa sejak demo besar di Pati yang menolak kebijakan kenaikan pajak oleh Bupati Sudewo.

Ia menilai gerakan yang awalnya murni suara rakyat perlahan berubah arah.

"Di titik itu saya sadar, ini bukan lagi gerakan spontan rakyat, tapi sudah ada yang mengatur, membingkai, dan menunggangi," kata Gusti Aju kepada wartawan, Jumat (31/10/2025).

Ia menjelaskan, masyarakat telah digiring ke dalam perang persepsi dan informasi.

Bukan perang fisik yang menumpahkan darah, melainkan perang psikologis yang menargetkan cara berpikir dan persepsi masyarakat.

"Berbeda dari perang fisik yang menumpahkan darah, perang ini menyerang pikiran dan persepsi manusia, mengubah cara kita memaknai realitas. Musuhnya tidak kelihatan, tapi dampaknya nyata. Rakyat diadu, dibakar emosinya, dijadikan pion dalam permainan besar," ujarnya.

Menurut Gusti Aju, serangan informasi inilah yang membuat publik mudah diprovokasi hingga berujung pada kerusuhan dan penjarahan rumah sejumlah tokoh, termasuk Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, hingga Eko Patrio.

Meski mengakui sejumlah pejabat publik tersebut kerap menampilkan sikap yang dinilai tidak empatik, Gusti Aju menilai tidak ada alasan untuk membenarkan kekerasan.

"Inilah bahayanya DFK (Disinformasi, Fitnah, Kebencian), ketika moral publik dibajak, orang merasa tindakannya benar padahal sudah melanggar hukum," kata dia.

Ia menegaskan, tindakan penjarahan dan persekusi terhadap para pejabat tidak dapat dibenarkan dari sisi moral maupun hukum.

Potret Rumah Uya Kuya usai Dijarah (YouTube/Uya Kuya TV) PerbesarPotret Rumah Uya Kuya usai Dijarah (YouTube/Uya Kuya TV)

Kritik terhadap pejabat, katanya, harus disampaikan dalam koridor hukum dan etika, bukan lewat kekerasan massa.

Selain itu, Gusti Aju juga menilai reaksi publik yang menuntut pencopotan sejumlah anggota DPR RI akibat kasus ini harus ditanggapi secara proporsional.

"Soal sanksi administrasi, harus lewat bukti hukum, bukan amarah publik. Sanksi administrasi atau pencopotan jabatan, seharusnya didasarkan pada pembuktian hukum dan mekanisme formal. Kalau kita biarkan emosi menggantikan hukum, maka bangsa ini akan hancur pelan-pelan," tegasnya.

Ia mengingatkan pemerintah agar menjadikan kerusuhan Agustus lalu sebagai peringatan serius untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku penyebaran disinformasi di media sosial.

"Karena kalau tidak, DFK ini akan jadi virus sosial yang menggerogoti bangsa dari dalam. Hari ini korbannya pejabat, besok bisa siapa saja dari kita," pungkas Gusti Aju.

Editor: Dwi Bowo Raharjo

Tag:  #ahli #ungkap #faktor #disinformasi #manipulasi #saat #rumah #sahroni #hingga #kuya #dijarah

KOMENTAR