Panggung Digital Anies Baswedan: Menjaga Elektabilitas di Luar Kekuasaan
Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) menghadiri sidang vonis terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (18/7/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/app/bar(BAYU PRATAMA S)
06:02
31 Oktober 2025

Panggung Digital Anies Baswedan: Menjaga Elektabilitas di Luar Kekuasaan

DALAM lanskap politik modern, pengaruh seorang tokoh tak lagi berhenti pada masa jabatannya. Di era digital, politisi bisa tetap eksis dan berpengaruh tanpa kursi pemerintahan.

Ruang digital telah menjadi panggung baru, tempat mantan pejabat menata ulang narasi diri, memelihara reputasi, dan membangun kembali legitimasi sosial.

Fenomena ini tergambar pada sosok Anies Baswedan. Usai menuntaskan masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan mengalami kekalahan dalam Pilpres 2024, ia tidak menghilang dari ruang publik.

Melalui unggahan reflektif di platform seperti X (Twitter), Instagram, TikTok dan YouTube, Anies rajin menyampaikan pandangan sosial, catatan kebangsaan, serta pesan moral yang bernuansa humanis dan edukatif.

Langkah ini menunjukkan bahwa komunikasi politik pascakekuasaan bukan tentang berakhirnya peran, melainkan tentang bagaimana menjaga relevansi dan kepercayaan publik.

Politisi dan persona digital

Menurut Alice Marwick (2019), di era media sosial, figur publik menggunakan strategi microcelebrity dengan membangun dan mengelola persona digital yang tampak autentik, personal, serta interaktif.

 

Strategi ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan pengaruh di luar struktur formal melalui komunikasi yang terpersonalisasi dan hubungan emosional dengan audiens.

Anies memainkan peran ini dengan cermat. Ia tidak tampil sebagai mantan pejabat yang mengeluh, melainkan sebagai pemikir publik yang merefleksikan pengalaman kekuasaan dengan nada bijak dan inspiratif.

Setiap unggahannya dirancang untuk menghadirkan kesan personal tanpa kehilangan jarak profesional.

Ia tidak sedang “berkampanye”, melainkan membangun narasi moral dan intelektual yang menegaskan identitasnya sebagai tokoh nasional.

Strategi ini membuat publik melihat Anies bukan sebagai politisi yang kalah, melainkan sebagai pemimpin ideologis yang tetap relevan.

Dengan menjaga ritme komunikasi dan kedalaman narasi, Anies tetap dapat menjadi referensi politik, bahkan saat tidak sedang memegang jabatan publik.

Banyak pengamat menilai bahwa keaktifan Anies di ruang digital merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga political momentum menuju Pemilu 2029.

Menurut Anthony Leong, Direktur PoliEco Digital Insights Institute, Anies membutuhkan panggung politik selama lima tahun ke depan untuk menjaga relevansinya hingga kontestasi Pemilu 2029.

Pandangan serupa disampaikan Adi Prayitno, Direktur Parameter Politik Indonesia, yang menilai bahwa momentum politik Anies perlu terus dirawat agar tetap menjadi figur sentral dalam percakapan publik nasional.

Dalam logika politik modern, visibility adalah modal. Politisi yang berhasil mempertahankan perhatian publik selama masa jeda politik akan memiliki posisi lebih kuat saat siklus elektoral berikutnya dimulai.

Hal ini juga selaras dengan teori Hybrid Media System yang dikembangkan oleh Andrew Chadwick, Dennis, dan Smith (2016), yang menjelaskan bagaimana politisi kini menggabungkan kekuatan media konvensional dan digital untuk membangun jaringan pengaruh yang berkelanjutan.

Dalam konteks ini, ruang digital berfungsi sebagai perpanjangan dari arena politik konvensional. Aktivitas daring bukan sekadar pelengkap, tetapi instrumen utama dalam menjaga kontinuitas wacana dan keterhubungan emosional antara politisi dan publik.

Anies masih kerap menjadi rujukan media nasional setiap kali ia membuat pernyataan reflektif atau unggahan yang menyentuh isu publik.

Hal ini menunjukkan bahwa ruang digital tidak menggantikan panggung politik, tetapi memperpanjang napasnya.

Dengan demikian, aktivitas digitalnya bukan sekadar ekspresi personal, melainkan bagian dari strategi komunikasi politik pascakekuasaan — mempertahankan kehadiran simbolik dan memperluas resonansi gagasan.

Pendekatan ini membuat Anies tetap “hidup” dalam kesadaran publik, bahkan di luar siklus elektoral resmi.

Politik autentisitas dan citra baru

Publik kini semakin peka terhadap gaya komunikasi yang dibuat-buat. Mereka lebih menghargai kejujuran emosional daripada retorika yang sempurna.

Alice Marwick (2013) menyebut fenomena ini sebagai performative authenticity — perpaduan antara kesungguhan dan kesadaran strategis untuk tampil alami di ruang digital.

Anies tampak menyeimbangkan dua hal ini: menghadirkan refleksi yang tulus tanpa kehilangan citra intelektualnya.

Di saat banyak politisi pascajabatan memilih diam, Anies justru menunjukkan bentuk politik keberlanjutan narasi. Ia membangun kembali citra bukan melalui jabatan, tetapi melalui gagasan dan komunikasi moral.

Dengan menjaga konsistensi gaya, tone, dan nilai, ia sedang memelihara apa yang disebut symbolic capital — modal kepercayaan dan relevansi publik yang bisa menjadi pijakan untuk langkah politik berikutnya.

Strategi komunikasi pascakekuasaan yang dijalankan Anies Baswedan memberi pelajaran penting: politik tidak berhenti di akhir masa jabatan, tetapi bertransformasi melalui ruang digital.

Ruang tersebut memungkinkan politisi menjaga koneksi emosional, memelihara relevansi, sekaligus menanam benih pengaruh baru.

Apakah langkah ini bagian dari persiapan menuju pemilu 2029? Mungkin belum secara deklaratif, tetapi jelas merupakan pemetaan komunikasi politik jangka panjang.

Dalam dunia di mana pengaruh ditentukan oleh atensi, mereka yang mampu memadukan refleksi, kontinuitas narasi, dan autentisitas digital akan selalu punya peluang untuk kembali.

Tag:  #panggung #digital #anies #baswedan #menjaga #elektabilitas #luar #kekuasaan

KOMENTAR