



Satu Tahun Prabowo: Tantangan Komunikasi Publik di Tengah Kontroversi
SETAHUN sudah Presiden Prabowo Subianto memimpin negeri ini. Dari sisi komunikasi publik, periode ini bukan sekadar masa transisi kekuasaan, melainkan tahun pengujian narasi apakah Prabowo mampu mentransformasikan gaya kampanye yang penuh energi menjadi komunikasi pemerintahan yang efektif, terukur, dan kredibel.
Prabowo masuk ke Istana lewat koalisi besar yang dirancang dengan mesin kampanye raksasa. Sebagaimana ia akui sendiri dalam Pidato Pengantar Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, 20 Oktober 2025, kabinetnya memang hasil gabungan antara tim pemenangan, kompetitor dan unsur non-politik.
Namun, Prabowo juga menegaskan hal penting dalam pidato itu siapapun yang bergabung dalam pemerintahannya, harus bisa menjadi pengelola negara yang bertanggung jawab. Itulah kalimat paling jujur dalam refleksi satu tahun kekuasaannya.
Karena di titik ini, Prabowo seperti menyadari: politik kampanye tidak otomatis menjadi seni memerintah.
Dua dunia: Menang dan memerintah
Politik dan pemerintahan adalah dua dunia yang serupa tapi tak sama. Dalam dunia politik, how to win menjadi tujuan utama; meraih suara, membangun citra, dan menguasai percakapan.
Namun, ketika kekuasaan telah digenggam, yang dibutuhkan bukan lagi cara untuk menang, tetapi cara untuk memerintah (how to govern).
Beda keduanya sederhana, tapi mendasar. How to win berorientasi pada emosi dan persepsi; how to govern bertumpu pada rasionalitas dan tata kelola.
Yang pertama berfungsi untuk merebut legitimasi, yang kedua untuk mempertahankannya melalui kinerja dan komunikasi publik yang kredibel.
Masalahnya, selama satu tahun ini, banyak instrumen pemerintahan masih dijalankan dengan semangat kampanye. Narasi menjadi alat, bukan jembatan. Pemerintah berbicara terlalu banyak, tapi mendengarkan terlalu sedikit.
Kabinet Merah Putih resmi berdiri pada 21 Oktober 2024, hanya sehari setelah pelantikan Prabowo sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia.
Komposisinya langsung mencatat sejarah: 48 menteri, lima kepala badan setingkat menteri, dan sekitar 55 wakil menteri—total 112 jabatan.
Angka itu menjadikannya kabinet terbesar kedua sepanjang sejarah Indonesia, setelah Kabinet Dwikora II di masa Presiden Soekarno yang menampung hingga 132 posisi.
Ukuran kabinet ini sejak awal dimaksudkan untuk mengakomodasi koalisi politik yang sangat luas.
Dari sisi stabilitas politik, strategi ini berhasil: hampir tak ada oposisi besar. Namun dari sisi komunikasi dan tata kelola, ukuran yang jumbo ini justru menjadi tantangan.
Dalam struktur sebesar itu, setiap kementerian punya ego sektoral, juru bicara sendiri, dan narasi yang kadang tidak sinkron.
Alih-alih memperkuat koordinasi, komunikasi pemerintah justru menjadi padat, tapi tidak fokus. Ketika terlalu banyak suara berbicara, pesan utama sering hilang di tengah kebisingan.
Kritik publik pun muncul kabinet sebesar itu dianggap inefisien, mahal, dan sulit dikendalikan secara komunikasi maupun kebijakan.
Namun bagi Prabowo, kabinet besar adalah harga yang harus dibayar demi stabilitas politik. Ia percaya bahwa menjaga koalisi tetap solid lebih penting di awal pemerintahan ketimbang membangun efisiensi birokrasi yang kaku.
Reshuffle: Komunikasi ketegasan?
Setahun berjalan, dua reshuffle besar terjadi dan keduanya menjadi pesan komunikasi politik tersendiri.
Reshuffle pertama terjadi pada 8 September 2025, menggantikan lima menteri senior, termasuk nama-nama besar seperti Budi Gunawan dan Sri Mulyani Indrawati.
Pergantian ini tidak hanya mengguncang elite politik, tetapi juga menandai upaya Prabowo memperkuat kendali langsung terhadap kebijakan ekonomi dan keamanan.
Dari perspektif komunikasi publik, reshuffle ini mengirim pesan bahwa Presiden ingin kabinet yang taat garis, bukan taat nama besar.
Reshuffle kedua terjadi hanya sembilan hari kemudian, 17 September 2025. Kali ini bukan hanya pergantian, tetapi juga penambahan dua menteri dan tiga wakil menteri baru, termasuk pembentukan satu lembaga baru setingkat kementerian.
Langkah ini seakan ingin menegaskan gaya kepemimpinan Prabowo: langsung, berani, dan tidak ragu mengambil risiko.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, Prabowo secara terbuka mengancam reshuffle bagi menteri yang tidak patuh terhadap arah kebijakan.
Gaya komunikasi seperti ini memperlihatkan karakter kepemimpinan yang tegas atau commanding leadership, tetapi di sisi lain juga menimbulkan kesan bahwa koordinasi lebih berbasis komando ketimbang kolaborasi.
Dalam konteks komunikasi publik, gaya seperti ini menciptakan paradoks: pemerintah tampil kuat di luar, tapi mudah retak di dalam. Pesan ketegasan yang berlebihan bisa membuat kabinet tampak solid di media, namun kehilangan ruang dialog di ruang kerja.
Transformasi Kantor Komunikasi Kepresidenan (Public Communication Office) menjadi Badan Komunikasi Pemerintah Republik Indonesia (BAKOM RI) menjadi contoh paling gamblang bagaimana “mental kampanye” masih mewarnai sistem komunikasi negara.
Ada sebab di balik perubahan ini, nama Hasan Nasbi figur yang dikenal seorang ahli strategi elektoral yang piawai membangun persepsi publik.
Pendekatan Nasbi efektif dalam ruang politik kompetitif, tetapi tidak cocok untuk komunikasi pemerintahan.
Dalam PR politik, kemenangan narasi hanya berguna di masa kampanye; setelah berkuasa, yang dibutuhkan adalah kredibilitas, transparansi, dan konsistensi.
Tidak heran jika kehadirannya tidak membawa perubahan berarti. Setelah “comeback” yang penuh ekspektasi, arah komunikasi publik justru makin kabur—hingga akhirnya ia digantikan oleh Angga Prabowo yang kini menakhodai BAKOM RI.
Pergantian ini bukan sekadar soal personal, melainkan refleksi struktural: bahwa komunikasi pemerintahan tak bisa dijalankan dengan logika tim sukses.
Negara bukan panggung politik yang perlu dikendalikan setiap narasinya, melainkan sistem yang harus dikelola dengan empati dan profesionalitas.
Dari narasi ke pengelolaan pesan
David Gergen, penasihat komunikasi empat presiden Amerika Serikat, menyebut dua seni kepemimpinan yang harus berjalan beriringan: stagecraft dan statecraft.
Stagecraft adalah kemampuan memainkan panggung, memikat emosi publik, dan mengatur simbol kekuasaan. Statecraft adalah kemampuan mengelola kebijakan dengan integritas dan ketepatan.
Prabowo unggul dalam yang pertama. Ia tahu kapan harus berapi-api, kapan harus menyentuh hati publik.
Namun, kepemimpinan modern menuntut lebih: komunikasi yang tidak berhenti di panggung, tapi sampai ke dapur kebijakan.
Reagan menjadi “The Great Communicator” bukan karena fasih berbicara, tapi karena pesan-pesannya mewakili harapan publik yang nyata.
Jika Prabowo ingin mencapai titik itu, ia harus memastikan setiap pesan yang ia ucapkan berakar pada kinerja, bukan sekadar retorika.
Satu tahun Prabowo telah menunjukkan satu hal penting: komunikasi publik adalah medan utama kekuasaan. Ia bisa memperkuat legitimasi, tapi juga bisa memperlemahnya.
Kini, setelah satu tahun berjalan, pemerintah perlu menegaskan arah baru: meninggalkan pendekatan how to win, dan beralih sepenuhnya ke how to govern.
BAKOM RI harus menjadi lembaga yang memfasilitasi, bukan mengarahkan; menghubungkan, bukan mengatur. Karena komunikasi negara bukan tentang siapa yang paling keras berbicara, tapi siapa yang paling mampu menjelaskan dengan jujur.
Pidato Presiden Prabowo pada Sidang Kabinet Paripurna adalah refleksi penting, pengakuan bahwa pemerintahannya dibangun dari koalisi politik, tapi kini harus dijalankan oleh pengelola yang profesional. Kalimat itu bisa menjadi titik balik, jika benar-benar dijalankan.
Kekuasaan tidak diukur dari seberapa besar panggung yang dibangun, tapi dari seberapa baik panggung itu diatur.
Prabowo sudah memenangkan pertempuran politik. Tantangannya sekarang adalah memenangkan kepercayaan rakyat bukan lewat narasi yang berisik, melainkan lewat pemerintahan yang bekerja dan berkomunikasi dengan akal sehat.
Tag: #satu #tahun #prabowo #tantangan #komunikasi #publik #tengah #kontroversi