Kasus Ammar Zoni: Lapas yang Tak Steril dari Narkoba
Mantan artis Ammar Zoni kembali terjerat kasus narkoba.(KOMPAS.com/MELVINA TIONARDUS)
06:46
21 Oktober 2025

Kasus Ammar Zoni: Lapas yang Tak Steril dari Narkoba

PERNYATAAN Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Mashudi, pada Senin (20/10/2025), bahwa aktor Ammar Zoni tidak mengedarkan narkoba di dalam rutan, melainkan kedapatan memiliki barang haram itu saat penggeledahan rutin, terdengar sebagai bentuk klarifikasi institusional.

Namun di balik pernyataan itu, tersimpan ironi besar yang sudah terlalu lama menghantui wajah hukum Indonesia: lemahnya sistem pengawasan di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan).

Mashudi menjelaskan, penggeledahan dilakukan secara rutin di seluruh Indonesia dua kali sebulan. Pernyataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa sistem kontrol berjalan.

Namun, publik justru menafsirkan sebaliknya: jika penggeledahan benar-benar rutin dan menyeluruh, bagaimana mungkin narkoba masih ditemukan di tangan penghuni? Bukankah itu berarti sistem pengawasan tidak bekerja sebagaimana mestinya?

Lapas dan rutan seharusnya menjadi ruang steril dari narkotika, ruang di mana negara memulihkan individu yang tersesat agar kembali ke jalan yang benar.

Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya: lapas sering menjadi miniatur pasar gelap dan tempat lahirnya jaringan kriminal baru.

Data Badan Narkotika Nasional (BNN) 2023 menunjukkan, sekitar 48 persen jaringan narkotika nasional dikendalikan dari balik lapas. Angka yang mencengangkan, mengingat lapas berada di bawah pengawasan langsung negara.

Dari 1.200 kasus narkotika yang diungkap BNN sepanjang 2023, sebanyak 219 kasus di antaranya melibatkan narapidana dan oknum petugas lapas. Ini bukan sekadar anomali, tetapi bukti sistemik dari lemahnya kontrol internal.

Ketika Dirjenpas mengatakan bahwa narkoba ditemukan dalam penggeledahan rutin, publik wajar bertanya, bagaimana narkoba itu bisa masuk? Dari celah mana dan melalui siapa?

Dalam ruang tertutup seperti rutan, hanya ada dua kemungkinan: kelalaian atau keterlibatan. Keduanya sama-sama berbahaya bagi integritas hukum.

Pembinaan dan Pembiaran

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menegaskan bahwa tujuan lembaga pemasyarakatan adalah membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, dan kembali berperan di masyarakat.

Namun, pembinaan tidak akan berarti bila lingkungan tempat pembinaan justru terkontaminasi oleh kejahatan yang sama.

Kasus Ammar Zoni menegaskan bahwa fungsi rehabilitasi masih jauh dari harapan. Seorang tahanan yang sudah seharusnya berada dalam pengawasan penuh ternyata masih bisa memiliki narkotika.

Ini bukan sekadar pelanggaran internal, tetapi kegagalan negara dalam menjalankan amanat hukum.

Pembiaran semacam ini menggambarkan ketimpangan antara hukum di atas kertas dan praktik di lapangan.

Jika narapidana masih dapat mengonsumsi atau memiliki narkoba di dalam tahanan, bagaimana mungkin mereka dapat direhabilitasi dan disembuhkan dari ketergantungan?

Dalam konteks hukum, negara memiliki tanggung jawab penuh terhadap warga binaan yang kehilangan kebebasannya. Setiap pelanggaran, apalagi yang melibatkan barang terlarang, adalah cerminan dari tanggung jawab yang tidak dijalankan.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa ada “tangan-tangan dari dalam” yang ikut bermain. Masuknya narkoba ke lapas hampir mustahil terjadi tanpa bantuan pihak internal.

Dari hasil investigasi gabungan BNN dan Polri pada 2022–2024, tercatat 59 oknum petugas pemasyarakatan terlibat langsung dalam penyelundupan atau memfasilitasi transaksi narkoba di rutan dan lapas.

Modusnya beragam: mulai dari menyelundupkan barang melalui makanan, pakaian, hingga kerja sama dengan pengunjung dan petugas jaga.

Dalam banyak kasus, narkoba bahkan dikendalikan lewat ponsel yang digunakan narapidana, padahal ponsel adalah barang terlarang di dalam lapas.

Lemahnya integritas petugas memperburuk citra pemasyarakatan. Rotasi jabatan atau mutasi staf, yang sering dijadikan solusi cepat, hanya memindahkan masalah tanpa menyembuhkannya.

Reformasi mandek

Sudah lebih dari satu dekade, pemerintah menggembar-gemborkan Reformasi Birokrasi Pemasyarakatan. Namun, hingga kini, pembenahan masih sebatas retorika.

Lapas-lapas di Indonesia masih minim teknologi pengawasan, alat pemindai sering kali rusak, dan pengawasan masih bergantung pada laporan manual.

Sementara di banyak negara, sistem pemasyarakatan sudah beralih ke "smart prison" menggunakan teknologi pemindaian biometrik, CCTV berlapis, hingga detektor narkoba otomatis untuk pengunjung dan petugas.

Indonesia baru sebatas pilot project di beberapa lokasi, itupun tanpa pengawasan berkelanjutan.

Kita tampak terjebak dalam siklus sama: ada kasus, ada klarifikasi, lalu semuanya seolah kembali normal. Padahal yang dibutuhkan adalah langkah korektif yang konkret, bukan sekadar pernyataan bahwa narkoba ditemukan dari hasil razia rutin.

Dari sudut pandang hukum publik, negara memiliki tanggung jawab absolut terhadap setiap orang yang ditahan di bawah kekuasaannya. Artinya, apa pun yang terjadi di dalam rutan, termasuk beredarnya narkoba, adalah tanggung jawab negara.

Negara tidak boleh bersembunyi di balik alasan “kelengahan individu” atau “kesalahan teknis”. Sebab, secara hukum, pengawasan adalah bagian dari kewajiban negara untuk menjamin keamanan dan pembinaan warga binaan. Setiap pelanggaran terhadap hal itu merupakan bentuk kelalaian institusional.

Dengan demikian, klarifikasi Dirjenpas semestinya diikuti dengan tindakan hukum dan audit internal menyeluruh.

Tidak cukup dengan menyebut bahwa narkoba ditemukan, tanpa menjelaskan bagaimana barang itu masuk, siapa yang bertanggung jawab, dan apa langkah korektif yang diambil.

Jika pemerintah benar-benar serius melakukan reformasi, maka harus dimulai dari dua hal: transparansi publik dan digitalisasi sistem pengawasan.

Pertama, transparansi. Setiap hasil penggeledahan, investigasi, dan penindakan harus diumumkan secara berkala kepada publik. Lembaga seperti Ombudsman dan Komnas HAM perlu dilibatkan dalam pengawasan independen terhadap lapas.

Kedua, digitalisasi. Setiap aktivitas di dalam lapas harus dapat dilacak: barang yang masuk, pergerakan petugas, hingga komunikasi narapidana. Sistem digital yang transparan akan menutup celah penyelundupan dan menekan potensi kolusi.

Tanpa langkah ini, pengawasan hanya akan menjadi ritual administratif tanpa makna substantif.

Pernyataan Mashudi bahwa narkoba ditemukan dalam penggeledahan rutin mungkin bertujuan menenangkan publik. Namun, publik tidak lagi membutuhkan klarifikasi; publik menuntut akuntabilitas.

Kasus Ammar Zoni seharusnya tidak dipandang sebagai insiden individual, melainkan sebagai cermin kegagalan struktural sistem pemasyarakatan.

Bila sistemnya lemah, siapa pun bisa tergelincir. Bila pengawasnya lalai, kejahatan akan terus menemukan celah.

Rutan dan lapas tidak boleh menjadi ruang abu-abu antara pembinaan dan pembiaran. Selama narkoba masih bisa masuk ke balik jeruji, selama klarifikasi menjadi pengganti tanggung jawab, maka sistem pemasyarakatan kita hanya akan menjadi penjara bagi harapan bukan bagi kejahatan.

Klarifikasi boleh meredam kontroversi sesaat. Namun hanya kejujuran, integritas, dan reformasi yang nyata yang bisa memulihkan kepercayaan publik terhadap hukum.

Tag:  #kasus #ammar #zoni #lapas #yang #steril #dari #narkoba

KOMENTAR