Menolak Atlet Israel: Antara Prinsip, Kemanusiaan, dan Nilai Olahraga
Para pendukung mengibarkan bendera Israel di luar stadion Stade de France pada akhir pertandingan sepak bola Liga A, Grup A2 UEFA Nations League antara Perancis dan Israel, di Saint-Denis, di pinggiran utara Paris, pada 14 November 2024.(AFP/BERTRAND GUAY)
10:16
11 Oktober 2025

Menolak Atlet Israel: Antara Prinsip, Kemanusiaan, dan Nilai Olahraga

MENJELANG pelaksanaan World Artistic Gymnastics Championships ke-53 di Jakarta pada 19–25 Oktober 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada dilema antara prinsip kemanusiaan dan tuntutan sportivitas global.

Polemik itu mencuat setelah beredar kabar tentang rencana kehadiran atlet Israel dalam ajang bergengsi tersebut, yang memicu gelombang penolakan luas dari berbagai kalangan masyarakat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gubernur DKI Jakarta, anggota DPR RI, hingga partai politik seperti PDI Perjuangan secara terbuka menyatakan keberatan terhadap kehadiran kontingen Israel.

Sikap ini sejatinya bukanlah wujud kebencian terhadap bangsa tertentu, melainkan perwujudan konsistensi moral Indonesia terhadap prinsip kemerdekaan dan solidaritas kemanusiaan.

Sejak awal berdiri, politik luar negeri Indonesia berpijak pada amanat konstitusi: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Karena itu, kehadiran kontingen Israel—negara yang masih melakukan agresi, genosida dan pendudukan di tanah Palestina—dipandang bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia.

Namun, di tengah tekanan publik yang menguat, pemerintah akhirnya mengambil langkah yang menegaskan posisi politik sekaligus tanggung jawab administratifnya.

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah membatalkan seluruh visa atlet Israel yang hendak berlaga di Artistic Gymnastics World Championships 2025 di Jakarta.

“Berdasarkan permohonan resmi dari pihak penjamin, dapat kami konfirmasi bahwa seluruh visa delegasi Israel saat ini telah dibatalkan,” ujar Agus pada Kamis (Kompas, 9 Oktober 2025).

Agus menjelaskan, pembatalan ini merupakan tindak lanjut dari surat resmi yang diajukan oleh Pengurus Besar Federasi Gimnastik Indonesia (FGI)—sebelumnya bernama Persani—melalui surat bernomor 442/LTR-JAGOC2025-FGI/X/2025.

“Seluruh proses keimigrasian telah berjalan transparan dan akuntabel sesuai peraturan, dan pembatalan visa ini merupakan tindak lanjut atas inisiatif dan permohonan resmi dari pihak penjamin (baca: FGI),” tambahnya.

Langkah ini menunjukkan bahwa keputusan pemerintah tidak sekadar lahir dari tekanan emosional publik, tetapi merupakan kebijakan legal, berdaulat, dan berdasar pada mekanisme atau ketentuan hukum yang berlaku.

Indonesia memiliki otoritas penuh untuk mengatur siapa pun yang masuk ke wilayahnya, terutama dalam konteks yang menyangkut sensitivitas politik dan kemanusiaan.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan sikap pemerintah ini sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang mengecam tindakan Israel kepada Palestina.

Sikap ini sejalan dengan pandangan sejumlah tokoh nasional. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, dalam sejumlah pemberitaan, menilai bahwa keikutsertaan atlet Israel berpotensi mencederai prinsip politik luar negeri Indonesia.

“Event olahraga adalah bagian dari diplomasi dan promosi suatu negara. Israel sebagai pelaku genosida terhadap rakyat Palestina tidak perlu diberi panggung,” ujarnya.

MUI juga menegaskan bahwa kehadiran kontingen Israel dapat menimbulkan keresahan sosial dan memicu protes besar. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyatakan tidak akan memberikan ruang bagi kontingen Israel untuk berlaga di ibu kota selama ia menjabat.

Sikap politik dan moral ini bukan hal baru bagi Indonesia. Dalam banyak kesempatan, bangsa ini selalu menempatkan kemerdekaan Palestina sebagai bagian dari amanat sejarah.

Sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina menjadi bagian integral dari identitas diplomasi Indonesia. Presiden Prabowo dalam sidang umum PBB September lalu kian mempertegas itu.

Namun, di sisi lain, muncul pula pandangan bahwa olahraga seharusnya menjadi ruang bebas politik, di mana semangat sportivitas mengatasi perbedaan ideologi dan kepentingan. Non-diskriminasi.

Dalam logika ini, penolakan terhadap atlet Israel bisa dianggap mencampuradukkan urusan politik dengan olahraga. Namun, sejarah menunjukkan atau punya cerita sendiri, bahwa olahraga tidak pernah benar-benar steril dari urusan politik.

Olimpiade pernah diboikot oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Afrika Selatan pernah dikeluarkan dari kompetisi internasional selama puluhan tahun karena kebijakan apartheid mereka.

Negara kita, pada 1958, tercatat memilih mundur dari babak kualifikasi Piala Dunia agar tidak harus bertanding melawan Israel. Dan pada 1962, jelang Asian Games IV di Jakarta, kita juga menolak memberikan visa untuk delegasi Israel.

Meski sikap itu kemudian memicu ketegangan internasional, Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip menentang kolonialisme.

Semua contoh itu menunjukkan bahwa olahraga bukan ruang hampa moral. Ia bisa menjadi alat diplomasi, tetapi juga refleksi nurani.

Dalam konteks Indonesia, olahraga bukan sekadar arena kompetisi, melainkan sarana diplomasi moral—sport diplomacy—yang berakar pada semangat persaudaraan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.

Karena itu, keputusan pembatalan visa atlet Israel tidak dapat dibaca sebagai bentuk permusuhan, melainkan sebagai upaya menjaga konsistensi moral dan integritas nasional di tengah dinamika global. Mempertegas keberpihakan.

Sportivitas sejati tidak hanya tentang adu prestasi, tetapi juga tentang keberanian menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Olahraga mengajarkan kebesaran hati, tetapi kebesaran hati tidak berarti menutup mata terhadap penderitaan orang lain.

National Olympic Committee (NOC) Indonesia pun menegaskan komitmen terhadap prinsip non-diskriminasi dan keselamatan seluruh peserta. Dan memastikan kejuaraan berjalan lancar.

President NOC Indonesia Raja Sapta Oktohari menyampaikan bahwa diplomasi olahraga merupakan sarana paling efektif untuk mempererat persahabatan antarbangsa dan menjembatani perbedaan dengan semangat sportivitas.

“Sebab sejatinya olahraga adalah untuk mempersatukan, bukan memecah belah” tegas Okto dalam konferensi pers di Indonesia Arena, Kawasan GBK, Jumat 10 Oktober 2025.

Menanggapi dinamika terkait kehadiran kontingen Israel, Okto menjelaskan bahwa FIG telah mengambil keputusan dan NOC Indonesia menghormati keputusan tersebut.

Dalam konteks tersebut, yang perlu dicatat, keputusan mengenai visa adalah tetap berada dalam kewenangan pemerintah, yang wajib mempertimbangkan faktor keamanan nasional serta sensitivitas sosial masyarakat.

Sehingga langkah pemerintah terkait keikutsertaan atlet Israel justru memperlihatkan adanya keseimbangan antara semangat sportivitas dan kedaulatan moral satu bangsa.

Dalam dunia yang kian pragmatis, keberanian Indonesia untuk memegang prinsip dan mewakili aspirasi warga negaranya, pantas diapresiasi.

Di saat banyak negara memilih diam atau kompromi atas nama diplomasi, Indonesia menunjukkan bahwa diplomasi sejati justru lahir dari keberanian moral untuk berkata tidak terhadap ketidakadilan, berpihak pada kemanusiaan.

Menolak kehadiran atlet Israel bukan tindakan anti-olahraga, melainkan bentuk konsistensi moral terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Sikap ini mengandung pesan universal: bahwa olahraga sejati tidak hanya tentang siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana manusia memperlakukan sesamanya.

Sportivitas tanpa keadilan hanyalah slogan kosong. Perdamaian yang sejati hanya lahir dari keberanian moral untuk berpihak pada kemanusiaan.

Sejarah mencatat, bangsa yang kuat bukanlah yang pandai berkompromi dengan tekanan, tetapi yang teguh mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya benar. Bangsa yang berintegritas.

Dalam konteks ini, kebijakan pembatalan visa delegasi Israel menjadi cermin konsistensi moral Indonesia. Satunya kata dengan sikap politik.

Ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan pernyataan etis di hadapan dunia bahwa Indonesia tidak akan membiarkan panggung olahraga menjadi ruang legitimasi bagi penjajahan dan penindasan.

Pada akhirnya, olahraga tetap menjadi bahasa universal yang menyatukan manusia. Namun bahasa itu akan kehilangan maknanya jika dipisahkan dari keadilan dan kemanusiaan.

Indonesia, dengan segala sejarah dan nilai moralnya, memilih berdiri di sisi yang benar. Sebab di atas semua prestasi olahraga, ada sesuatu yang jauh lebih luhur: keberanian untuk menegakkan kemanusiaan dan melawan penjajahan.

Tag:  #menolak #atlet #israel #antara #prinsip #kemanusiaan #nilai #olahraga

KOMENTAR