



KPK Luruskan Narasi soal Rp 100 M di Kasus Kuota Haji: Bukan Punya Jemaah, tapi Hasil Penyalahgunaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan asal uang Rp 100 miliar dari kasus korupsi kuota haji 2024 yang dikembalikan kepada KPK.
Pernyataan ini disampaikan Juru Bicara KPK Budi Prasetyo untuk meluruskan narasi yang dimuat di dalam artikel Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH).
Artikel tersebut memuat tulisan bahwa uang Rp 100 miliar yang dikembalikan pihak terkait yang telah disita KPK bukan kerugian negara, melainkan uang jemaah.
Di dalam artikel itu juga ditulis bahwa pengembalian uang itu dilakukan semata-mata agar kondisi kondusif.
Budi menjelaskan, uang itu bukan sekadar uang jemaah, melainkan berpangkal dari adanya penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara yang bekerja sama dengan pihak-pihak lain dalam pembagian kuota haji tambahan.
“Perkara ini berpangkal dari adanya dugaan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara yang bekerja sama dengan pihak-pihak lainnya, dalam pembagian kuota haji tambahan untuk penyelenggaraan ibadah haji Indonesia Tahun 2023-2024,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis (9/10/2025).
Budi mengatakan, kuota haji tambahan ini diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada Pemerintah Indonesia, dengan tujuan untuk memangkas lamanya antrean jemaah haji reguler dari Indonesia.
Namun pembagian kuota tambahan ke dalam kuota haji reguler dan khusus tidak sesuai dengan ketentuan perundangan. Akibatnya, jumlah kuota reguler yang dikelola Kemenag menjadi berkurang dari semestinya.
Sebaliknya, kata Budi, kuota haji khusus yang dikelola oleh para PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) atau biro travel, menjadi bertambah secara signifikan dari yang seharusnya.
“Artinya, kuota-kuota haji khusus yang diperjualbelikan oleh PIHK itu, bermula dari adanya diskresi pembagian kuota tersebut,” ujarnya.
Budi mengatakan, dalam perkembangan penyidikannya, ditemukan fakta-fakta adanya dugaan aliran uang dari para PIHK kepada oknum di Kemenag, dengan berbagai modus, seperti uang percepatan, dan lainnya.
“Karena dengan kuota haji khusus ini, calon jemaah kemudian langsung berangkat pada tahun itu, tanpa perlu mengantre,” ucap dia.
Diketahui, KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu harusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep. “Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
KPK pun sudah mencegah 3 orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas;
eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz;
dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
Tag: #luruskan #narasi #soal #kasus #kuota #haji #bukan #punya #jemaah #tapi #hasil #penyalahgunaan