MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain
Gedung Mahkamah Konstitusi.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
15:44
3 Juli 2025

MK Kabulkan Gugatan soal Larangan Lembaga Pemantau Pemilihan Lakukan Kegiatan Lain

- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan soal larangan lembaga pemantau pemilu melakukan kegiatan lain.

Hal ini disampaikan dalam Sidang Pengucapan Putusan Gugatan Nomor 91/PUU-XXIII/2025 yang dilayangkan oleh Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (DPD-LPRI) Kalimantan Selatan.

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (3/7/2025).

Kegiatan lain yang dimaksud adalah yang tidak berkaitan dengan pemantauan pemilihan dalam Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Suhartoyo menyatakan, Pasal 128 huruf k UU Pilkada itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK.

Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, MK menilai frasa “kegiatan lain” dalam Pasal 128 huruf k UU 1/2015 merupakan bentuk frasa terbuka (open-ended clause).

Dengan demikian, frasa ini tidak mendefinisikan secara tegas apa saja yang termasuk atau dikecualikan sebagai kegiatan yang “bukan” bagian dari pemantauan pemilihan.

Oleh karenanya, frasa ini memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum untuk menafsirkan segala bentuk kegiatan lembaga pemantau sebagai “kegiatan lain” yang dilarang.

Menurut dia, rumusan norma yang bersifat terbuka dan menimbulkan multitafsir semacam itu cenderung merupakan pasal “keranjang sampah”, “mulur mungkret” atau “pasal karet” (catch-all provision) yang memiliki dimensi hukum yang berbeda.

“Padahal, dalam hukum pidana dan hukum administrasi yang berkonsekuensi terhadap sanksi, rumusan norma larangan dibatasi oleh prinsip-prinsip sebagaimana telah dikemukakan di atas, agar dapat mewujudkan kepastian hukum yang adil,” ucap Arief.

Selain itu, Arief menyebutkan tidak adanya penjelasan mengenai makna frasa “kegiatan lain” dalam Pasal 128 huruf k.

Pada bagian keterangan dalam UU Pilkada hanya dijelaskan dengan keterangan “cukup jelas”.

Hal ini pun dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

MK pun menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis.

Dalam konteks pemilihan yang demokratis, MK menekankan bahwa lembaga pemantau seharusnya menjadi motor penggerak demokrasi yang sehat, terutama dalam pemilihan dengan satu pasangan calon.

Dia menekankan, lembaga pemantau perlu menjalankan tugasnya secara jujur, adil, dan netral, serta tidak terlibat dalam kampanye mendukung atau menolak calon.

Selain itu, MK menegaskan bahwa independensi pemantau pemilu harus bebas dari tekanan pihak manapun, termasuk dari penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan mencabut akreditasi.

Maka itu, MK menyatakan dalil Pemohon bahwa Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah melanggar hak konstitusional atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, norma Pasal 128 huruf k UU 1/2015 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Arief.

Tag:  #kabulkan #gugatan #soal #larangan #lembaga #pemantau #pemilihan #lakukan #kegiatan #lain

KOMENTAR