



Efek Ganda Putusan MK dan Mitigasinya
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2024 mengenai tafsir atas keserentakan pelaksanaan pemilihan umum 2029 dengan membedakan pemilu nasional dan pemilu lokal akan memberi efek berganda (multiplier effect) dalam pelaksanaan pemilu 2029 mendatang.
Hal paling mendasar dalam putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 ini, menampakkan sisi paradoksalnya.
Putusan ini bertolak belakang dari putusan MK sebelumnya melalui putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 yang dalam pertimbangan hukumnya memberi skema enam model keserentakan pemilihan untuk dipilih badan pembentuk undang-undang.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebutkan penentuan model keserentakan pemilihan bukanlah domain Mahkamah, melainkan kewenangan badan pembentuk undang-undang (law maker), yakni DPR dan presiden.
Sayangnya, pertimbangan hukum yang menjadi bagian tak terpisahkan dari putusan MK tersebut, justru dipunggungi oleh Mahkamah sendiri.
Putusan uji konstitusionalitas Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada tak lebih merupakan putusan MK yang paradoksal, mengondisikan badan pembentuk undang-undang (UU) tak memiliki pilihan lain (fait accompli).
Keadaan tak elok dalam bertatanegara yang berlandasakan pada demokrasi konstitusional ini.
Implikasi putusan
Putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 ini bakal memberi dampak yang tak hanya pada urusan teknis pemilihan dengan membedakan pemilihan nasional dan pemilihan lokal.
Namun, juga berdampak pada masa jabatan gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Putusan MK ini sejatinya menggeser kerumitan pelaksanaan pemilihan yang semula bertumpu pada satu masalah pada kerumitan pemilihan lima kotak (yang kini menjadi empat kotak), ke ketersebaran masalah yang tak hanya berdimensi pada aspek pemilihan semata.
Namun, pada titik ekstrem, putusan ini berimplikasi pada konstitusionalitas bernegara kita.
Seperti yang paling tampak soal periodesasi masa jabatan pejabat publik yang dihasilkan melalui mekanisme pemilihan (political elected) di tingkat daerah.
Bila skenario pemilihan lokal (Pilkada provinsi, kabupaten/kota dan pemilihan DPRD provinsi/kabupaten/kota) dilakukan 2 tahun atau 2,5 tahun setelah pelantikan DPR RI atau presiden RI, maka pemilu lokal dilaksanakan pada 2031. Dari sisi waktu akan berdampak pada jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.
Khusus jabatan kepala daerah, kita pernah memiliki preseden keberadaan penjabat (Pj) kepala daerah yang menjabat dalam dua tahun sebelum pelaksanaan Pilkada serentak pada 2024 lalu dengan rincian sebanyak 101 Pj kepala daerah pada 2022 dan 170 Pj kepala daerah pada 2023.
Artinya, kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh kepala daerah hasil Pilkada serentak pada 2024, yang berakhir pada 2030, dapat diterapkan skema penunjukan Pj kepala daerah hingga pelaksanaan pemilu lokal pada 2031.
Catatannya, dilakukan perbaikan prosedur penunjukan Pj kepala daerah agar lebih transparan dan demokratis.
Namun, persoalan krusial yang bakal dihadapi bagi jabatan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten, dan DPRD kota yang akan berakhir pada 2029.
Bila mengikuti putusan MK, pemilu anggota DPRD baru akan digelar pada 2031, bersamaan dengan pelaksanaan pilkada.
Pertanyannya, bagaimana pengisian jabatan anggota DPRD di antara waktu 2029-2031?
Padahal, komposisi pemerintahan daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD sebagaimana tertuang dalam pasal 18 ayat (3) UUD 1945.
Artinya, tak ada opsi untuk mengosongkan anggota DPRD dalam kurun transisi menuju pemilu serentak lokal pada 2031. Selain bertentangan dengan konstitusi juga menabrak prinsip demokrasi di pemerintahan daerah.
Begitu juga dengan skema perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hingga 2031, tentu membutuhkan terobosan konstitusional, khususnya terkait pelaksanaan pemilu yang meniscayakan fixed term atau lima tahun sekali sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pelaksanaan Pemilu DPRD pada 2031 secara nyata bertentangan dengan prinsip keberkalaan pelaksanaan pemilu.
Masalah lainnya pada aspek teknis soal penyelenggara pemilu yang tak menjadi perhatian MK. Seperti soal keserentakan rekrutmen penyelenggara (KPU dan Bawaslu) yang mestinya menjadi perhatian Mahkamah.
Dalam praktiknya, tak jarang saat proses tahapan pelaksanaan pemilu atau pilkada, berlangsung proses rekrutmen penyelenggara pemilu di daerah. Imbasnya pada kesiapan penyelenggara dalam proses tahapan pemilu atau pilkada.
Mitigasi
Putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 pada akhirnya berdampak serius bagi tatanan konstitusional penyelenggaraan negara.
Putusan tersebut tak secara otomatis dapat dilaksanakan, karena berkorelasi dengan landasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
Putusan tersebut juga tak sekadar ditindaklanjuti dengan perubahan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, lebih dari itu, putusan MK berdampak pada bangunan konstitusional khususnya terhadap prinsip keberkalaan dalam pemilu termasuk desain otonomi daerah yang dicerminkan melalui pemerintahan daerah (pemda).
Situasi ini harus direspons secara sungguh-sungguh agar tidak menjadikan putusan MK menimbulkan kerusakan konstitusional (constitutional damage) berkelanjutan.
Langkah ketatanegaraan dapat dilakukan dengan melibatkan tiga cabang kekuasaan sekaligus, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan tetap memegang prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) yang menghormati kemandirian satu lembaga dengan lembaga lainnya.
Forum kenegaraan antarcabang kekuasaan ini penting dilakukan untuk memastikan bangunan ketatanegaraan konstitusinal tetap berjalan sesuai dengan konstitusi.
Secara spesifik, pertemuan tersebut penting untuk memastikan karakteristik putusan MK sebagai putusan final dan mengikat (final and binding) sebagai rujukan pengambilan keputusan seraya memastikan bangunan konstitusional pascaamandemen konstitusi tetap suprematif.
Langkah ini penting untuk mengurangi risiko pada tindakan kontra-konstitusional, baik berupa pengabaian putusan MK atau tindak lanjut putusan MK, namun menggeser tatanan konstitusional kita.
Di saat bersamaan, secara teknis-yuridis, eksekutif, legislatif, termasuk penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), dengan menggandeng para ilmuwan yang fokus pada bidang kepemiluan untuk membuat pilihan skenario pascaputusan MK tersebut sebagai bahan material dalam penyusunan tindaklanjut putusan MK, baik dalam bentuk revisi UU Pemilu tak terkecuali dalam bentuk amandemen konstitusi.
Tag: #efek #ganda #putusan #mitigasinya