Hoegeng dan Bayang-bayang Kepolisian
Defile kepolisian dan elemen masyarakat dalam acara HUT ke-79 Bhayangkara di Silang Monas, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025). Tema besar tahun ini mengusung slogan polri untuk masyarakat.(KOMPAS.com/ANTONIUS ADITYA MAHENDRA)
06:48
2 Juli 2025

Hoegeng dan Bayang-bayang Kepolisian

SETIAP tanggal 1 Juli diperingati sebagai Hari Bhayangkara. Tema Hari Bhayangkara tahun ini cukup lugas dan mendalam, “Polri untuk Rakyat”.

Seperti biasanya selain acara-acara seremoni, Polri menyampaikan komitmen untuk menjadi lebih baik.

Di sisi lain desakan publik agar kepolisian Republik Indonesia melakukan pembenahan institusional terus dilakukan.

Kasus demi kasus menunjukkan bahwa sebagian oknum aparat justru menjadi bagian dari jaringan kejahatan yang seharusnya mereka berantas.

Di sinilah nama Hoegeng Imam Santoso kembali digaungkan. Di tengah citra polisi yang kusam, nama Hoegeng menjulang sebagai simbol keteladanan yang langka.

Hoegeng menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pada 1968 hingga 1971.

Dalam masa jabatannya yang singkat, Hoegeng dikenal karena ketegasannya menolak suap, kedisiplinannya dalam menjalankan hukum, dan gaya hidupnya yang sangat sederhana.

Ia tidak memperkaya diri selama menjabat, bahkan hidup berkecukupan saja tidak mudah baginya.

Dalam memoar “Hoegeng: Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum” (Ramadhan K.H., 2009), dituturkan bagaimana Hoegeng pernah menolak bantuan rumah dinas dengan alasan tak mau melanggar prosedur.

Namun, justru karakter itulah yang membuat eksistensi Hoegeng dianggap “mengganggu” oleh penguasa saat itu.

Ia melawan kekuasaan ekonomi yang mencoba mengintervensi institusi, menindak keras mafia bea cukai, dan tidak segan mengungkap skandal di level elite.

Keberaniannya membuatnya tidak punya banyak sekutu di lingkaran kekuasaan Orde Baru. Meski dalam catatan resmi ia “mengundurkan diri”, faktanya Hoegeng dipaksa turun dan diminta “tahu diri.”

Setelah pensiun, ia bahkan dibatasi aktivitas sosialnya. Permohonannya untuk menjadi pengacara publik ditolak.

Kehadirannya di ruang publik juga dibatasi. Hoegeng dengan hobi kesenian keroncong-hawaian kerap tidak mendapatkan ijin untuk siaran di TVRI.

Sikap Hoegeng yang bersih bukan hanya dikagumi masyarakat luas, tapi juga diabadikan oleh tokoh-tokoh seperti Gus Dur yang pernah berkata, “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Kalimat yang sarkastik sekaligus mengiris nurani bangsa.

Namun pertanyaannya, apakah sosok seperti Hoegeng benar-benar menjadi inspirasi internal di tubuh Polri? Ataukah namanya sekadar dijadikan simbol tanpa jejak keteladanan yang nyata di institusi yang ia pimpin dahulu?

Jarak antara ideal dan kenyataan

Kepala Polri (1968-1971) Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso. Kompas.id Kepala Polri (1968-1971) Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso. Membandingkan Hoegeng dengan praktik kepolisian hari ini memang seperti melihat dua dunia berbeda.

Dalam laporan Komnas HAM dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), keluhan publik tentang polisi masih didominasi oleh pungli, kriminalisasi warga, kekerasan berlebihan, dan keterlibatan dalam jaringan narkoba.

Studi dari Indonesia Police Watch (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen aduan masyarakat terkait perilaku aparat di lapangan.

Dalam beberapa tahun terakhir, citra kepolisian makin terpuruk akibat skandal-skandal besar yang melibatkan jenderal-jenderalnya sendiri.

 

Setelah kasus pembunuhan yang melibatkan Ferdy Sambo pada 2022 mengguncang publik, tak lama kemudian muncul skandal lain yang tak kalah mengejutkan.

Teddy Minahasa, mantan Kapolda Sumatera Barat, ditangkap pada Oktober 2022 karena terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkoba.

Ironisnya, narkoba yang dijual kembali oleh jaringan Teddy adalah barang bukti sitaan negara yang seharusnya dimusnahkan.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Teddy divonis seumur hidup (2023) setelah terbukti menjadi dalang dari peredaran sabu tersebut.

Kasus ini mencoreng wajah kepolisian dan menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa dijadikan instrumen kejahatan, bukan keadilan.

Skandal-skandal ini bukan hanya mencerminkan kebobrokan moral individu, tetapi juga memperlihatkan kegagalan sistemik dalam pengawasan internal Polri.

Bagaimana mungkin seorang jenderal bintang dua bisa menjalankan bisnis narkoba dengan jaringan yang begitu luas tanpa terendus selama bertahun-tahun?

Hoegeng di mata polisi: Cermin atau bayangan?

Satu hal yang patut direnungkan: apakah Hoegeng hanya menjadi mitos yang dirayakan oleh masyarakat, tetapi ditakuti atau bahkan diabaikan oleh polisi sendiri?

Banyak polisi muda mengidolakan Hoegeng. Namun mereka juga menyadari bahwa sistem yang mereka masuki tidak memberi ruang cukup bagi keteladanan untuk tumbuh.

Dalam wawancara yang dilakukan Kompolnas (2023), beberapa perwira mengakui adanya tekanan dari atasan dan lingkungan yang membentuk budaya kompromi terhadap pelanggaran hukum.

Di sinilah perbedaan antara Hoegeng dan realitas kini: Hoegeng berani melawan arus, sementara banyak aparat hari ini justru tenggelam di dalamnya.

Dalam konteks seperti ini, Hoegeng lebih menyerupai patung diam di lobi kantor, bukan semangat hidup yang menuntun tindakan.

Reformasi kepolisian pasca-Orde Baru sempat menjanjikan transformasi kelembagaan. Namun, menurut Hadiz dan Robison (2004) dalam Reorganising Power in Indonesia, proses reformasi sering kali dikendalikan oleh kepentingan oligarki yang justru mereproduksi pola lama dengan wajah baru.

Dalam struktur semacam ini, loyalitas kepada kekuasaan dan uang lebih menjanjikan ketimbang integritas.

Hari Bhayangkara sejatinya bisa menjadi momentum reflektif bagi institusi kepolisian. Namun, selama Hoegeng hanya dijadikan ikon simbolik yang tidak mengubah praktik keseharian aparat, maka ia hanya akan tinggal sebagai nama jalan, nama auditorium, atau patung perunggu—bukan sebagai nilai yang hidup dalam tubuh institusi.

Reformasi kepolisian tidak bisa berhenti pada pelatihan etika atau penyuluhan semangat integritas.

Reformasi harus menembus pada sistem akuntabilitas, perlindungan whistleblower, transparansi anggaran, hingga pemangkasan jejaring bisnis-politik dalam tubuh kepolisian itu sendiri.

Tanpa itu, polisi jujur seperti Hoegeng akan tetap menjadi pengecualian, bukan kebiasaan.

Publik Indonesia berhak menuntut lebih. Karena dalam negara demokratis, penegak hukum bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan pelayan publik yang melindungi hak-hak sipil.

Ketika polisi bisa hidup jujur, adil, dan tidak menakutkan bagi rakyat biasa, maka di situlah Hoegeng benar-benar hidup kembali, bukan sebagai bayang-bayang masa lalu, melainkan sebagai cahaya untuk masa depan.

Tag:  #hoegeng #bayang #bayang #kepolisian

KOMENTAR