Keresahan 1 Suro dari Kauman
Tradisi lampah ratri mubeng beteng (mlaku topo bisu) yang dilakukan oleh para Penghageng Pura Pakualama(pakualamankec.jogjakota.go.id)
16:04
28 Juni 2025

Keresahan 1 Suro dari Kauman

Marilah kita sadari bersama dengan kesalahan presiden kita selama sepuluh tahun terakhir. Begitu banyak kebijakan dan langkah hukum yang digunakan untuk kepentingan asing dan 'aseng'. Mari kita doakan bersama agar Presiden Prabowo diberikan kekuatan agar bisa terus melangkah di jalan yang benar untuk kepentingan rakyat kecil” – H.M. Syukri Fadholi

KHOTBAH shalat Jumat yang dihelat di Masjid Besar Puro Pakualaman, Kauman, Gunung Ketur, Pakualaman, Yogyakarta, 27 Juni 2025 kemarin, terasa begitu Istimewa.

Usai warga Yogyakarta melakukan Mubeng Beteng 1 Suro sebagai refleksi memperingati Tahun Baru Jawa 1 Sura Dal 1959 dan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah, khotbah itu menjadi pengingat para jamaah termasuk kita semua.

Kebijakan pembangunan “ugal-ugalan” di satu dekade pemerintahan sebelumnya harus disadari memberikan beban tanggungan untuk kepemimpinan Prabowo.

Beban utang luar negeri masa lalu termasuk pembayaran angsuran dan bunga begitu besar menjadi beban kita semua saat ini.

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) serta kebijakan penggelontoran “besar-besaran” bantuan sosial (Bansos) yang tidak tepat sasaran dengan maksud tersembunyi untuk kepentingan politis di Pemilu Presiden 2024, adalah contoh betapa uang rakyat disalurkan untuk kepentingan yang tidak bijak dan tidak benar.

Keresahan yang disampaikan pengkhotbah sebelum sholat Jumat digelar, bukanlah sarat kepentingan politis dengan memanfaatkan podium keagamaan di masjid yang dibangun tahun 1850 di masa Sri Paku Alam II memerintah (1829 – 1858).

 

Justru khotbah yang disampaikan Syukri Fadholi tersebut menjadi revitalisasi pemahaman bahwa tempat-tempat ibadah tidak “imun” dari persoalan kemasyarakatan yang tengah terjadi.

Pemuka agama tidak boleh diam dengan apa yang tengah dirasakan umatnya. Pemuka agama tidak hanya menukilkan persoalan cara mendapatkan “tiket” ke akherat dan mudharatnya hidup di dunia belaka.

Harapan besar yang disampaikan khotbah Jumat Masjid Besar Puro Pakualaman terhadap Presiden Prabowo juga hal yang wajar mengingat Prabowo adalah “umaroh” tertinggi saat ini.

Bayangkan jika Prabowo salah memutus nasib 4 pulau yang sempat disengketakan antara Provinsi Sumatera Utara dengan Nanggroe Aceh Darussalam?

Kebijakan “ngawur” yang dilakukan anak buahnya di Kementerian Dalam Negeri diluruskan oleh Prabowo.

Sengkarut penambangan nikel di Pulau Gag di Kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, juga diselesaikan dengan mencabut izin usaha pertambangan nikel beberapa perusahaan.

Hanya saja, Prabowo belum tuntas menjaga “surga yang tertinggal” di Raja Ampat itu dengan tetap membiarkan perusahaan yang terafiliasi dengan Antam terus mengikis keindahan Raja Ampat dan berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem kehidupan bawah lautnya.

Sebagai umaroh, Prabowo kadung berjanji menggelar program Makan Bergizi Gratis (MBG), bahkan anggarannya semakin melambung besar.

Andai saja Prabowo mau lebih mendengar suara-suara kejernihan di lapangan, masih banyak program MBG yang harus dikritisi. Mulai dari penyajiannya yang tidak higienis sehingga kerap menimbulkan mudharat, metode penyajiannya yang asal bahkan diganti dengan bahan mentah, hingga proses pembayaran tagihan mitra pelaksana MBG yang tidak transparan menjadi nilai minus dari pelaksanaan MBG.

Begitu juga rencana pendirian Koperasi Merah Putih yang masih butuh kesiapan. Seharusnya sebagai umaroh tertinggi, Prabowo berani memerintahkan pembantunya untuk berhenti mengeluarkan pernyataan yang asal “cuap”.

Seyogyanya koperasi yang akan berdiri memiliki rencana usaha yang matang, bukan asal buat demi mengejar target fantastis yang menyenangkan Prabowo.

Saya mewakili masyarakat awam begitu khawatir dana guyuran pendirian Koperasi Merah Putih tidak digunakan tepat sasaran, tetapi asal bikin dan asal jalan saja.

Kejaksaan nantinya akan “kelimpungan” dengan temuan tindak pidana korupsi yang membludak akibat penyalahgunaan keuangan koperasi yang dibuat dengan “ngadi-ngadi”.

Di hari-hari terakhir ini, publik begitu sumringah melihat Prabowo tersenyum saat Timnas sepakbola yang bertabur banyak pemain naturalisasi berhasil lolos ke putaran ke-empat Piala Dunia 2026.

Namun, saya pun tidak tega dengan langkah kaki tertatih-tatih dari Mantan Danjen Kopassus tersebut saat menyambut kedatangan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.

Seolah-olah Prabowo sebagai umaroh menanggung beban berat sendirian, sementara para pembantunya satu demi satu bicara “blunder” di masyarakat.

Menteri Kesehatan yang rajin berseloroh tanpa ditimbang baik buruknya pernyataannya, begitu enteng bicara soal hidup dan matinya orang dari perkara lingkar pinggang.

Ada lagi Wakil Menteri Sosial yang jarang kelihatan kerjanya, tetapi merasa pakar bicara soal nasib orang. Menakdirkan anak orang miskin akan tetap jadi miskin adalah sabda dari wakil menteri yang menjadi pembantu Prabowo.

Tidak hanya blunder, pernyataan pembantu Presiden juga terlihat konyol dan malah layak diindikasikan insomnia sejarah.

Menteri Kebudayaan yang berusaha menarasikan sejarah dengan tone positif, maka itu artinya sama saja dengan menghilangkan fakta-fakta sejarah yang sebenarnya.

Belum juga penulisan buku sejarah ulang difinalkan, sang menteri membantah terjadinya perkosaan massal di Kerusuhan 1998.

Relevansi Mubeng Beteng 1 Suro dengan problema kekinian

Jika ingin jernih memaknai khotbah Jumat di Masjid Besar Puro Pakualaman, para jamaah tentu diingatkan kalau kebijakan umaroh yang “pandang bulu” tidak saja hanya menguntungkan salah satu golongan, tetapi juga membinasakan golongan mayoritas lainnya.

Kebijakan umaroh di masa lalu yang membiarkan seorang pengusaha bebas menguasai tanah dan lautan dengan rakus tanpa batas tentu harus dikoreksi. Kepada Presiden Prabowo-lah, ulama bersandar kepada umaroh.

Bagaimana mungkin lahan milik rakyat kecil bisa dirampas seenaknya sendiri tanpa ganti rugi yang layak. Alih-alih ganti untung, lautan dan garis pantai dipagari bebas tanpa ada tindakan dari aparat.

Lebih lucunya lagi, yang memagari lautan adalah orang yang terkesan kebal hukum sehingga biaya pembongkaran pagar pun tidak dibebankan kepada orang yang sakti madraguna itu.

Lampah budaya Mubeng Beteng yang diadakan setiap malam 1 Suro kemarin, merupakan tradisi yang berasal dari Yogyakarta.

Prosesi mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta sudah dilakukan secara turun temurun sejak dua abad lampau, yakni sejak era Sri Sultan Hamengkubuwono II yang memerintah selama tiga periode (1792 – 1828).

Mubeng Beteng merupakan bagian dari tirakat lampah ratri, yakni munajat atau upaya untuk mendapatkan keridaan Allah dengan berjalan mengikuti lintasan yang tersinspirasi dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinnah yang sarat dengan keprihatinan dan perjuangan.

Abdi dalem dan warga yang menjalani prosesi Mubeng Beteng tidak hanya berjalan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta tanpa alas kaki, tetapi juga melakukan tapa bisu atau tanpa bicara.

Makna Mubeng Beteng adalah bentuk refleksi bersama, perenungan, dan permohonan perlindungan serta penyucian diri menuju manusia yang lebih baik di masa mendatang.

Harapan besar yang disematkan ke umaroh untuk pembukaan lapangan kerja bukanlah harapan yang mengada-ada.

Janji pembukaan lapangan kerja untuk 19 juta pekerja baru yang dinyatakan Gibran Rakabuming Raka saat kampanye Pilpres lalu, harus ditunaikan oleh Prabowo.

Andai saja para pembantu presiden dan wakil presiden lebih “membuka mata” pemutusan hubungan kerja (PHK) bukanlah angka-angka kuantitatif semata yang melonjak, tetapi juga problem-problem kualitatif yang harus diwaspadai.

Rasa pesimis di kalangan muda, sikap ogah bayar karena “galbay” hutang dari jasa pinjaman online, meningkatnya korban judi online, melonjaknya kriminalitas, sikap distrust terhadap pemerintahan terutama dengan perilaku aparat yang korup menjadi gambaran umum sikap anak muda sekarang ini.

Ini Negeri dirintis, didirikan orang-orang hebat yang ikhlas berkorban.
Mereka juga berani, jujur, berintegritas, terdidik, visioner, tinggi modal kultural, tahan godaan.
Ini Negeri kini dikangkangi manusia-manusia dangkal yang hanya memikirkan kekayaan.
Mereka bahkan mencuri, merampok negeri gila-gilaan.
Ini Negeri punya banyak elit bergelar akademik panjang berderetan.
Jadi pertanyaan apakah itu menumbuhkan kesadaran.
Kesadaran bahwa di pundak merekalah Amanah Negeri diwujudkan.
Sejauh ini "wisdom" itu belum kelihatan. (“Ini Negeri” - Eduard Lukman)

Tag:  #keresahan #suro #dari #kauman

KOMENTAR