Bursa Calon Ketum PSI dan Personalisasi Politik
Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep bersiap memberikan keterangan pada konperensi pers dukungan Pilkada 2024 di Jakarta, Kamis (18/7/2024). DPP PSI resmi menyerahkan rekomendasi dukungan kepada tiga pasangan bakal Calon Kepala Daerah (Cakada) di Provinsi Banten, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Lebak yang akan berkontestasi pada Pilkada 2024. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc. | Media asing soroti jet pribadi Kaesang Pangarep.(ANTARA FOTO/B
18:12
19 Juni 2025

Bursa Calon Ketum PSI dan Personalisasi Politik

MENYAMBUT pemilihan Ketua Umum PSI yang akan digelar pada Juli 2025 mendatang, dinamika internal partai anak muda ini kembali mencuri perhatian publik.

Setahun lalu, siapa menyangka Kaesang Pangarep, putra bungsu Joko Widodo yang lebih dikenal sebagai pengusaha kuliner dan vlogger, akan menduduki kursi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI)?

Penunjukan Kaesang sebagai Ketum PSI pada 25 September 2023, mengejutkan banyak pihak. Hanya berselang dua hari setelah resmi bergabung, Kaesang langsung didapuk memimpin PSI periode 2023–2028, menggantikan Giring Ganesha (eks vokalis Nidji).

Peristiwa bak karbitan politik ini memicu cibiran bahwa PSI kini menjelma “Partai Solidaritas Istana”, sindiran tajam bahwa partai anak muda tersebut tak ubahnya perpanjangan tangan lingkar keluarga presiden.

Pergantian pucuk pimpinan PSI ini bukan sekadar gosip internal partai, melainkan gejala yang mencerminkan disfungsi lebih luas dalam sistem kepartaian Indonesia.

PSI sejak awal menahbiskan diri sebagai partai antitesis korupsi dan intoleransi, digawangi anak-anak muda perkotaan.

Namun, dalam perjalanannya, partai ini justru kian menampilkan watak politik Indonesia kontemporer: sarat personalisasi figur, intrik kolusi antarelite, dan rapuhnya pelembagaan partai.

Relasi kekeluargaan antara Kaesang dan Jokowi kini menjadi pintu masuk yang menarik untuk menelaah tiga problema utama tersebut melalui lensa teoretis: personalisasi politik, kartelisasi partai, dan kerapuhan pelembagaan partai.

Personalisasi politik: Kultus individu dalam partai

Penunjukan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI menegaskan kecenderungan personalisasi politik di Indonesia.

Alih-alih melalui proses kaderisasi bertahap dan panjang, sosok “instan” yang populer berkat nama besar keluarganya langsung didorong ke posisi puncak partai.

PSI seolah bertaruh sepenuhnya pada daya tarik pribadi Kaesang, bukan pada rekam jejak politik atau platform ideologis yang jelas.

Fenomena ini sejalan dengan kecenderungan global, di mana partai politik semakin berorientasi pada figur individu, bukan lagi perjuangan kolektif atau ideologi tertentu (Cross, Katz, & Pruysers, 2018).

Di kasus PSI, sejak awal partai ini memang membangun citra yang bertumpu pada sosok muda dengan daya tarik tinggi di media.

Mulai dari Grace Natalie (mantan jurnalis televisi yang menjadi pendiri partai), Tsamara Amany (aktivis muda), hingga Giring Ganesha (mantan vokalis band Nidji), PSI konsisten memanfaatkan popularitas pribadi para tokohnya untuk meningkatkan elektabilitas.

Namun, strategi seperti ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, tokoh populer bisa memperbesar perhatian publik. Di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan pada pesona pribadi figur-figur ini justru melemahkan pembangunan institusi partai yang kokoh.

Identitas atau "brand" partai menjadi sangat bergantung pada persona ketua umumnya. Kita bisa lihat jelas bagaimana gaya PSI pada masa kepemimpinan Giring begitu lekat dengan pendekatan komunikasinya yang unik dan cenderung nyentrik, mulai dari janji besar hingga pernyataan ambisi politik yang kontroversial.

Sebaliknya, ketika era Kaesang dimulai, partai ini dengan cepat berubah haluan, mengambil pendekatan mirip "politik keluarga" yang selama ini melekat pada citra Jokowi.

Personalisasi politik seperti ini juga membawa risiko lain, yaitu menurunnya loyalitas pemilih dan kader terhadap partai.

Banyak pendukung PSI yang memilih partai ini semata-mata karena terpikat oleh sosok tertentu, bukan karena meyakini visi dan program partai secara mendalam.

Ketika figur tersebut meninggalkan partai atau citranya meredup, dukungan publik dengan mudah berpindah ke partai lain atau figur baru yang sedang populer.

Para ahli seperti Gideon Rahat dan Tamir Sheafer (2007) menggambarkan fenomena personalisasi politik ini sebagai proses meningkatnya peran figur individu dalam politik, sementara peran partai sebagai organisasi justru melemah.

Artinya, dalam konteks PSI, sosok ketua umum seperti Kaesang menjadi daya tarik utama partai, sedangkan institusi partai dan ideologi yang semestinya menjadi fondasi perjuangan politik justru menjadi sekunder.

Kondisi ini tentu mengkhawatirkan untuk demokrasi yang sehat, karena idealnya partai politik bertumpu pada gagasan, ideologi, dan program yang konsisten, bukan hanya kharisma dan daya tarik sesaat seorang tokoh.

Kartelisasi Partai: Kolusi elit dan “solidaritas” kekuasaan

Tak kalah menarik adalah indikasi kartelisasi partai dalam dinamika PSI. Kartelisasi partai merupakan kecenderungan di mana partai-partai politik lebih sibuk saling berkolusi untuk berbagi kekuasaan dan sumber daya negara, ketimbang serius memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Dalam kondisi ini, partai tak lagi menjalankan perannya sebagai perantara antara rakyat dan negara secara optimal.

Sebaliknya, partai-partai tersebut berkolaborasi demi mempertahankan kepentingan elitnya sendiri, sehingga berubah menjadi semacam persekutuan elite penguasa yang cenderung tertutup dan menjauh dari rakyat.

Kasus PSI adalah contoh nyata bagaimana fenomena ini terjadi dalam skala lebih kecil. Sepanjang eksistensinya, PSI sering kali lebih memilih mendekatkan diri ke lingkaran kekuasaan dibandingkan mengambil posisi sebagai oposisi yang kritis dan substansial.

Sejak Pemilu 2019, misalnya, PSI secara konsisten mendukung penuh Presiden Jokowi, meskipun mereka gagal masuk ke parlemen.

Karena sikap politik ini, publik menyindir PSI sebagai "Partai Solidaritas Istana”. Label ini melekat akibat kedekatan PSI dengan Jokowi yang terkesan terlalu erat, mulai dari mendukung hampir semua kebijakan pemerintah hingga menyediakan posisi strategis bagi anggota keluarga presiden sendiri, seperti penunjukan Kaesang sebagai ketua umum.

Langkah PSI tentu bukan tanpa alasan. Dengan merapat ke pusat kekuasaan, PSI berharap mendapatkan berbagai keuntungan, seperti posisi publik, akses pendanaan, dan fasilitas politik lain yang membantu kelangsungan hidup partai.

Strategi ini terbukti efektif bagi para elite partai, meski bertentangan dengan idealisme yang selama ini mereka gaungkan.

Contoh paling jelas adalah Giring Ganesha yang, setelah mundur dari posisi ketua umum PSI, mendapatkan jabatan strategis sebagai Wakil Menteri Kebudayaan dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto hasil Pemilu 2024.

Yang menarik, Prabowo sebelumnya adalah rival utama Jokowi di dua pemilihan presiden. Namun, PSI dengan mudah menyeberang kubu begitu konstelasi politik berubah.

Ini jelas menunjukkan logika kartel politik: selama bisa dekat dengan kekuasaan, partai tidak segan-segan berpindah koalisi tanpa peduli konsistensi politik.

Dengan kondisi seperti ini, “solidaritas” yang menjadi jargon PSI seolah lebih tepat disebut solidaritas antar-elite ketimbang solidaritas untuk masyarakat luas.

Ini merupakan gambaran lebih besar yang terjadi di politik Indonesia, di mana hampir semua partai lebih memilih bergabung dalam pemerintahan, meninggalkan peran sebagai oposisi yang kritis.

Situasi seperti ini tentu membuat publik bingung karena sulit membedakan mana partai yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat dan mana yang sekadar mengejar keuntungan pribadi lewat kolusi pragmatis antar-elite.

Akibatnya, akuntabilitas atau pertanggungjawaban para politisi kepada rakyat menjadi kabur, dan demokrasi menjadi semakin kehilangan arah.

Rapuhnya pelembagaan partai: Akar yang tidak menancap

Gejala terakhir yang sangat terasa dalam kasus PSI adalah lemahnya pelembagaan partai. Pelembagaan partai berarti sejauh mana partai politik tertanam kuat di masyarakat, punya identitas yang stabil, dan mampu bertahan dalam jangka panjang.

Menurut pakar politik Scott Mainwaring (1998), sistem partai yang lemah biasanya ditandai oleh akar sosial yang dangkal di masyarakat, identitas partai tidak jelas, dan lebih dominannya ketergantungan pada tokoh atau patron dibandingkan ideologi partai itu sendiri.

Mainwaring bahkan menegaskan bahwa lemahnya pelembagaan partai menjadi salah satu hambatan utama bagi terwujudnya demokrasi yang stabil dan kuat.

PSI adalah contoh nyata partai dengan pelembagaan yang masih rapuh. Sebagai partai yang baru berdiri pada 2014 dan gagal masuk parlemen pada Pemilu 2019, PSI belum sempat membangun basis pendukung yang kuat dan stabil.

Dukungan yang mereka terima dari masyarakat sering kali bersifat sementara, mengikuti tren atau sosok populer tertentu. Tidak heran jika tingkat perolehan suara PSI mudah naik turun dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.

Pada Pemilu 2019 lalu, misalnya, PSI hanya meraih sekitar 2 persen suara dan kembali menghadapi tantangan besar pada Pemilu 2024 dengan perolehan 2,8 persen suara.

Di internal partai pun, PSI menunjukkan instabilitas yang tinggi. Dalam waktu kurang dari lima tahun saja, PSI sudah berganti pimpinan sebanyak tiga kali: dari Grace Natalie, beralih ke Giring Ganesha, lalu kini dipegang oleh Kaesang Pangarep.

Pergantian yang cepat ini menunjukkan lemahnya aturan organisasi dan ketergantungan partai pada tokoh tertentu.

Aturan-aturan internal partai juga tampak berubah sesuai kehendak elite partai. Sebagai contoh, normalnya seorang ketua umum menjabat selama lima tahun, tetapi Kaesang yang baru saja menjabat pada 2023 akan diuji kembali dalam pemilihan ketua umum pada Juli 2025 mendatang.

Meskipun mungkin bertujuan untuk membangun citra sebagai partai yang sangat terbuka, langkah ini sekaligus menunjukkan bahwa aturan organisasi dalam PSI belum stabil dan masih mudah berubah.

Lebih jauh lagi, PSI juga menghadapi persoalan lemahnya jaringan pendukung yang solid di akar rumput.

Mereka memang kuat di media sosial, tetapi di luar perkotaan, terutama di pedesaan, basis massa mereka sangat tipis.

Akibatnya, loyalitas pendukung PSI cenderung mudah tergerus begitu ada isu atau figur politik baru yang lebih menarik.

Kondisi ini umum ditemukan dalam sistem demokrasi yang masih berkembang, di mana partai-partai yang belum punya akar ideologis yang kuat akan mudah tergantikan oleh partai baru yang lebih menarik perhatian publik.

Dalam kondisi demikian, para politisi pun sering kali lebih memilih jalur pribadi atau berpindah partai yang menawarkan peluang lebih menjanjikan, ketimbang serius membangun institusi partai untuk jangka panjang.

Di PSI sendiri, fenomena ini tampak jelas dengan sejumlah kader awal yang berpindah ke partai lain atau memilih berkarier secara independen begitu ada tawaran lebih baik.

Semua ini menunjukkan bahwa PSI masih jauh dari menjadi organisasi politik yang stabil dan matang. Sebaliknya, partai ini tampak lebih mirip kendaraan politik sementara yang mudah ditinggalkan begitu dianggap tidak lagi menguntungkan.

Cermin buram demokrasi kita

Drama internal PSI, mulai dari efek Kaesang hingga berbagai manuver politik Giring, sejatinya menjadi cermin buram bagi kondisi demokrasi kita saat ini.

Personalisasi politik yang berlebihan menyebabkan partai kehilangan karakter dan tujuan utamanya, tenggelam dalam kultus individu tertentu.

Kartelisasi partai, kecenderungan partai-partai untuk saling berkolusi dan berbagi kekuasaan, membuat demokrasi kita kekurangan oposisi yang benar-benar substantif.

Alih-alih adu gagasan demi memperjuangkan kepentingan rakyat, partai-partai justru sibuk berbagi jabatan demi mempertahankan posisi dan kekuasaan.

Sementara itu, lemahnya pelembagaan partai membuat sistem politik kita ibarat pasar bebas: partai politik datang dan pergi dengan mudah, semangat organisasi yang kuat jarang terbentuk, dan yang tersisa hanyalah ambisi sesaat para tokohnya.

PSI mungkin merupakan contoh paling ekstrem, tetapi sesungguhnya kondisi yang sama juga terlihat di berbagai partai politik lain di Indonesia.

Misalnya, politik dinasti keluarga yang makin lazim di partai-partai besar, kebiasaan bagi-bagi jabatan dalam koalisi pemerintahan yang terlalu besar, hingga kemunculan partai-partai baru yang sekadar menjadi kendaraan politik pragmatis menjelang pemilu, hanya untuk segera ditinggalkan sesudahnya.

Jika dibiarkan terus-menerus, maka semua kecenderungan ini akan menggerus kualitas demokrasi kita secara perlahan.

Idealnya, partai politik berfungsi sebagai pilar utama penyalur aspirasi rakyat. Namun, ketika partai hanya dijadikan mesin politik pribadi atau kelompok tertentu demi meraih kekuasaan, yang paling dirugikan adalah masyarakat luas.

Suara rakyat menjadi samar, pertanggungjawaban politik hilang, dan demokrasi kita semakin tak tentu arah.

Pada akhirnya, julukan “Partai Solidaritas Istana” mungkin terdengar seperti sindiran ringan, tetapi mengandung pesan serius tentang kondisi politik di Indonesia.

Dinamika PSI saat ini adalah peringatan keras bahwa sistem kepartaian kita sedang dalam kondisi yang memprihatinkan.

Solusinya mungkin tidak sederhana. Namun langkah awal yang harus dilakukan adalah mengembalikan fungsi partai sebagai institusi milik publik, bukan dikuasai secara pribadi atau keluarga tertentu.

Tanpa langkah ini, partai politik akan terus menjadi kapal kosong yang mudah terombang-ambing, bukannya menjadi jangkar kuat bagi demokrasi yang matang dan stabil.

Tag:  #bursa #calon #ketum #personalisasi #politik

KOMENTAR