Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai
Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan suap dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).(KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)
22:18
5 Juni 2025

Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai

- Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menilai, barang bukti yang didapatkan dengan melanggar hukum acara pidana dan tidak bisa dijustifikasi, tidak bisa digunakan untuk menjerat terdakwa.

Hal ini Fatah sampaikan saat dicecar pengacara Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah dalam sidang lanjutan dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku yang menjerat kliennya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025).

Febri awalnya membuat simulasi terkait suatu penanganan perkara yang banyak pelanggaran due process of law (keadilan pada proses pidana). Contohnya, penyidik buru-buru melimpahkan perkara ke penuntut umum, meski sebelumnya telah diminta untuk memeriksa ahli.

"Menurut saudara ini sebelum kita bicara konsekuensinya apakah itu melanggar prinsip due process of law?" tanya Febri di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

Menjawab pertanyaan itu, Fatah menilai, persoalan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 116 Ayat (4) KUHAP yang menjadi pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65 Tahun 2010.

Ia pun mengakui bahwa penyidik wajib mengakomodir hak tersangka namun mereka juga dihadapkan pada prinsip crime control, yakni pengendalian penanganan kasus kejahatan yang cenderung efisien dan cepat untuk mencegah tindak kejahatan.

Sementara, di pengadilan proses yang bergulir lebih bersifat due process of law. Baik jaksa maupun terdakwa memiliki hak yang sama di depan hakim.

"Jadi nanti biar majelis hakim untuk menilai apakah saksi-saksi yang tadi dipanggil itu cukup dihadirkan di persidangan atau dalam proses penyidikan," terang Fatah.

Mendengar ini, Febri lantas mengajukan contoh kasus dengan berbagai pelanggaran prinsip due process of law lainnya.

Di antaranya meliputi, penyadapan yang dimulai sebelum proses penyelidikan, bukti penyadapan tanpa izin Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK), alat bukti call detail record (CDR) yang rawan disadap.

Kemudian, CDR yang tidak melalui pemeriksaan digital forensik sebelum menjadi alat bukti, penyelidik dan penyidik menjadi saksi fakta di persidangan, perekaman diam-diam hingga penggeledahan yang tidak dilakukan terhadap terdakwa.

Fatah lantas berpendapat, bahwa sah atau tidaknya alat bukti tersebut bergantung pada ada atau tidaknya justifikasi (alasan pembenar). Hal ini nantinya akan dipertimbangkan majelis hakim.

Tanpa justifikasi, maka alat bukti yang dihadirkan jaksa dalam persidangan tidak sah.

"Menurut pendapat saudara ahli, kan tadi sudah jelas kalau itu terbukti tidak bisa terjustifikasi dan melanggar hukum acara, maka menurut pendapat ahli nanti kan pasti diserahkan ke majelis. Itu harusnya digunakan atau tidak digunakan?" tanya Febri lagi.

"Kalau betul-betul tidak ada justifikasinya sesuai pendapat saya tadi tidak bisa digunakan. Makanya dalam hukum acara kita kan ada nilai crime control justifikasinya terkadang ada yang prinsipal dan tidak," ujar Fatah.

Sebagai informasi, dalam penanganan perkara ini kubu Hasto menuding terdapat banyak kecacatan prosedur yang dilakukan penyelidik dan penyidik KPK.

Di antaranya meliputi barang bukti yang diperoleh di proses penyelidikan, penyidikan, hingga penyelidik dan penyidik yang menjadi saksi fakta.

Tag:  #dicecar #febri #diansyah #ahli #hukum #sebut #barang #bukti #tanpa #justifikasi #bisa #dipakai

KOMENTAR