Kasus Polisi Toyor Jurnalis saat Kawal Kapolri, Ipda E Akhirnya Minta Maaf: Saya Menyesal
Ipda E, anggota tim pengamanan protokoler Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan permohonan maaf kepada pewarta foto Perum LKBN ANTARA Makna Zaesar disaksikan oleh Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto yang mewakili Polri dan Direktur Pemberitaan ANTARA Irfan Junaidi di Semarang, Minggu (6/4/2025) malam. (ANTARA/I.C. Senjaya)
09:08
7 April 2025

Kasus Polisi Toyor Jurnalis saat Kawal Kapolri, Ipda E Akhirnya Minta Maaf: Saya Menyesal

Seolah tak mau kasusnya makin panjang, anggota tim pengamanan protokoler Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ipda E akhirnya meminta maaf kepada pewarta foto Perum LKBN ANTARA, Makna Zaesar. Permintaan maaf itu disampaikan Ipda E usai menoyor dan mengancam akan menempeleng Makna Zaesar dan jurnalis lainnya. 

Aksi kekerasan yang dilakukan Ipda E terjadi saat mengawal Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam kunjungannya ke Stasiun Semarang Tawang, Sabtu (5/4/2025) lalu.  

Permintaan maaf itu disampaikan usai pertemuan yang digelar di kantor Perum LKBN ANTARA Biro Jawa Tengah di Semarang, pada Minggu (6/4/2025) malam.

Hadir dalam pertemuan tersebut Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto yang mewakili Polri, Direktur Pemberitaan ANTARA Irfan Junaidi, serta pewarta foto ANTARA Makna Zaesar, dan Ipda E.

"Saya menyesal dan menyampaikan permohonan maaf kepada rekan-rekan media atas kejadian di Stasiun Tawang," kata Ipda E.

Ia berharap ke depan akan semakin humanis, profesional, dan lebih dewasa dalam bertugas.

Sementara. Makna Zaesar sudah menerima permintaan maaf tersebut. Meski demikian, ia mengharapkan tetap ada tindak lanjut secara institusi kepolisian atas insiden tersebut.

Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto mengatakan Polri menyesalkan insiden yang seharusnya tidak terjadi itu.

"Situasi saat kejadian sangat ramai dan penuh sesak," katanya.

Menurut dia, prosedur standar operasional dalam protokoler pengamanan seharusnya tidak perlu secara emosional.

Kepolisian, lanjut dia, akan melakukan penyelidikan atas insiden tersebut. "Kalau ditemukan pelanggaran akan diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku," katanya.

Menurut dia, pers merupakan mitra Polri yang saling bekerja sama untuk memberi pelayanan kepada masyarakat.

Ia berharap insiden serupa tidak akan terulang dan kemitraan dengan pers tetap terjaga.

Sementara Direktur Pemberitaan ANTARA Irfan Junaidi juga menyesalkan insiden yang terjadi tersebut karena Polri dan pers bersama-sama bertugas untuk melayani masyarakat.

Menurut dia, peristiwa tersebut dapat menjadi bahan koreksi ke depan sehingga profesionalisme benar-benar terlaksana. 

Irfan juga mengapresiasi Ipda E yang secara kesatria untuk meminta maaf.

"ANTARA akan terus menjalankan tugas jurnalisme secara profesional dan objektif, bermitra dengan Polri sebagai unsur yang menjadi pemangku kepentingan, sehingga dapat menjalankan tugas dengan nyaman dan objektif," katanya.

Kronologi dugaan kasus intimidasi ajudan Kapolri di Semarang

Diketahui aksi kekerasan ajudan Kapolri ini dialami oleh pewarta foto ANTARA, MZ. Ia pun buka suara soal insiden yang dihadapinya kala meliput kegiatan Listyo Sigit Prabowo di Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah, pada Sabtu (5/4/2025) kemarin.

MZ bercerita, Kapolri memulai kegiatan dengan menyempatkan diri berbincang bersama pemudik difabel dan lansia yang menggunakan kursi roda di peron Stasiun Tawang.

Setelah itu, Kapolri dijadwalkan akan melakukan inspeksi ke dalam gerbong kereta. Sang ajudan Kapolri pun meminta awak media maupun Humas Polri untuk membuka jalan.

Namun dalam prosesnya, oknum ajudan tersebut malah terlibat cekcok dengan anggota Humas Polri.

Dari kejadian itu, MZ pun bergerak menjauh dari posisi awalnya agar tidak terlibat cekcok tersebut.

"Nah, posisi saya di kiri. Saya tahu kalau beliau mau ke kiri kan, makanya saya pindah ke seberang. Waktu sebelum saya pindah ke seberang, si ajudannya ini ngomel-ngomel kalian kalau dari pers tak tempeleng satu-satu, gitu," kata MZ, dikutip dari ANTARA, Minggu (6/4/2025).

Mendengar hal itu MZ pun kembali ke posisinya semula dan saat itulah oknum ajudan tersebut melakukan dugaan tindakan kekerasan terhadap MZ.

"Saya dibilang begitu kaget ya, terus saya kembali ke posisi saya. Nah, waktu posisi mau balik itu dia mengeplak kepala saya. Jadi dia mengeplak ya, kalau bahasanya sini itu ngeplak bagian kepala belakang," lanjut dia.

"Nah, setelah itu saya kaget ya. Wah, kenapa mas? Saya bilang begitu lalu orangnya diam, kemudian dia lanjut marah-marah, kemudian lanjut kerja lagi," pungkasnya.

Banjir Kecaman

Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras tindakan kekerasan yang dilakukan ajudan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) terhadap seorang jurnalis saat melakukan peliputan di Stasiun Tawang, Kota Semarang, pada Sabtu (5/4/2025) petang.

PFI Semarang dan AJI Semarang mengecam keras insiden ini karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dijamin oleh undang-undang.

Mereka menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana.

Ketua PFI Semarang, Dhana Kencana, dan Ketua Divisi Advokasi AJI Semarang, Daffy Yusuf, dalam pernyataan sikap bersama menyampaikan lima poin penting sebagai bentuk tanggapan atas kejadian ini.

Poin-poin tersebut adalah:

  • Mengecam keras tindakan kekerasan oleh ajudan Kapolri kepada jurnalis dan segala bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik.
  • Menuntut permintaan maaf terbuka dari pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
  • Mendesak Polri untuk memberikan sanksi tegas kepada anggota yang melakukan kekerasan.
  • Meminta Polri untuk belajar dari insiden ini agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
  • Mengajak seluruh media, organisasi jurnalis, dan masyarakat sipil untuk turut serta mengawal kasus ini demi menjaga kemerdekaan pers dan iklim demokrasi.
  • PFI dan AJI menilai, kekerasan terhadap jurnalis bukan sekadar insiden biasa, melainkan ancaman nyata terhadap kebebasan pers, yang merupakan pilar utama demokrasi. Mereka menegaskan bahwa jurnalis memiliki hak untuk melakukan peliputan tanpa rasa takut dan tekanan, apalagi dari aparat negara yang seharusnya menjamin perlindungan terhadap seluruh warga negara, termasuk pekerja media.

Editor: Agung Sandy Lesmana

Tag:  #kasus #polisi #toyor #jurnalis #saat #kawal #kapolri #ipda #akhirnya #minta #maaf #saya #menyesal

KOMENTAR