



Pelantikan Kepala Daerah: Selamat Datang di Dunia Nyata...
SEJUMLAH kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2024 yang lalu, resmi dilantik Kamis, 20 Februari 2025, dengan kostum pakaian dinas upacara berwarna putih.
Warna putih pada kain yang mereka kenakan bukan sekadar warna, melainkan cerminan harapan masyarakat untuk sesuatu yang segar dan bersih.
Pelantikan kepala daerah adalah titik perubahan dari janji-janji kampanye menuju kenyataan yang sesungguhnya.
Setelah resmi dilantik, kepala daerah tidak lagi berada dalam dunia citra tetapi sudah masuk ke “panggung nyata.”
Mungkin saja di antara kepala daerah terlantik ada yang terpilih karena “berkah bermain citra” di media sosial. Namun, sesaat setelah dilantik harus segera sadar bahwa mereka sudah berada di “dunia nyata”.
Kemiskinan tidak bisa dihapus dengan akting membagikan uang ke seorang lansia di pinggir jalan yang menangis haru sambil disorot kamera. Kemiskinan hanya bisa dilawan dengan kebijakan struktural yang menembus akar permasalahannya.
Selama masa kampanye, “ruang kamuflase” menjadi panggung strategi. Para calon kepala daerah lebih memerankan content creator, yang piawai mengarahkan kamera ke sudut yang mengundang simpati dan menampilkan diri sebagai sosok ideal.
Saat ini, layar kamera telah mati. Masyarakat tak lagi memandang para kepala daerah sebagai aktor sandiwara, tetapi sebagai pemimpin nyata.
Mereka harus beralih dari berbagi senyum di depan kamera ke berbagi visi ke warga. Mereka harus beralih dari akting masuk gorong-gorong ke menciptakan sistem drainase yang efektif.
Ketika jalan berlubang, masyarakat butuh jalan yang diperbaiki, bukan konten seseorang yang sedang mengangkat sekarung pasir. Ketika banjir melanda, mereka butuh penanganan banjir yang sistematis, bukan video dramatis di lokasi banjir.
Dari “like” ke "legacy"
Setelah dilantik, kepala daerah adalah pengelola ruang publik. Mengelola ruang publik bukan sekadar mengisinya dengan konten yang menarik perhatian untuk mengejar “ribuan like”.
Para kepala daerah harus mengisinya dengan kemaslahatan. Ruang publik bukan panggung manipulasi, melainkan arena aksi menghadirkan kesejahteraan yang bukan ilusi.
Kepala daerah yang tetap bertahan dalam ruang pencitraan akan terjebak. Dirinya sedang dikejar gelombang realitas.
Masyarakat sudah tidak lagi peduli berapa ribu pengikut yang memberikan “like” di akun media sosialnya. Sekarang mereka ingin tahu berapa kilometer jalan yang dibangun, berapa banyak lapangan kerja yang diciptakan, dan berapa warga yang keluar dari jerat kemiskinan.
Ruang realitas adalah ruang yang tidak mengenal filter. Janji-janji kampanye akan ditagih pemilih. Banjir, pengangguran, dan pelayanan publik tidak dapat diselesaikan dengan “tagar” dan “unggahan viral”.
Kepala daerah tidak lagi sedang menjadi selebritas yang memikat masyarakat dengan potongan-potongan video pendek.
Ia harus menjadi “arsitek” yang merancang kebijakan, pekerja keras yang memegang “palu pembangunan”, dan pemimpin yang harus bisa mengambil keputusan rumit.
Jika seorang kepala daerah tetap terjebak dalam pencitraan, ia akan kehilangan esensi kepemimpinannya. Oleh sebab itu, dirinya harus segera beranjak dari dari mengejar “like” ke membangun “legacy”.
Di kanal media sosial kepala daerah memainkan peran heroik. Namun, di ruang publik, dirinya akan menjadi sasaran kritik. Kepemimpinannya adalah ruang di mana tindakan nyata jauh lebih penting daripada kata-kata.
Kepala daerah harus sadar bahwa ruang publik adalah ruang kolaborasi. Di saat membuat konten untuk pencitraan dirinya cukup bekerja sama dengan satu atau dua orang kameramen dan tukang edit konten.
Sesaat setelah dilantik kepala daerah tidak bisa bekerja sendirian atau dengan personel terbatas. Dia harus menggerakkan birokrasi, menggandeng berbagai komunitas, dan merangkul masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan.
Menghadirkan solusi
Memimpin daerah bukanlah seni manipulasi, tetapi seni implementasi. Kepala daerah yang akan sukses adalah mereka yang mampu membuktikan bahwa visi mereka bukan sekadar “quote bijak”, melainkan peta jalan (road map) pembangunan yang diterjemahkannya menjadi kenyataan.
Ketika kepala daerah dilantik, maka dirinya telah menyeberangi batas antara ruang citra dan ruang nyata.
Di ruang citra, rekayasa komunikasi adalah senjata utama. Namun di ruang nyata, kebijakanlah yang bercerita.
Kepala daerah tidak lagi bisa bersembunyi di balik unggahan media sosial yang mengharukan. Setelah dilantik, dirinya bukan lagi sebagai “content creator” tapi sebagai “policy creator”, yang dituntut menghadirkan solusi konkret persoalan masyarakat, bukan konten hiburan.
Memosisikan diri dari content creator ke policy creator adalah perubahan yang tidak mudah. Hambatan dan rongrongannya tidak dapat diatasi hanya dengan mengedit video.
Policy creator berarti memahami bahwa setiap kebijakan yang dibuat harus didasarkan pada data akurat, melibatkan multipihak, dan menjaga berkelanjutan.
Selanjutnya, waktu adalah “musuh utama” para kepala daerah. Setiap hari akan berlalu dengan cepat dan tidak terasa.
Ketika waktu berlalu tanpa aksi nyata. maka itu adalah kerugian besar bagi masyarakat, juga bagi nasib politik dirinya. Karena itu, kepala daerah harus bekerja dengan ritme cepat, cermat, dan strategis.
Ketika masa jabatan kepala daerah berakhir, yang akan diingat warga bukanlah video yang viral, tetapi dampak nyata. Apakah rakyat lebih sejahtera? Apakah masalah-masalah pokok masyarakat terselesaikan?
Tag: #pelantikan #kepala #daerah #selamat #datang #dunia #nyata