![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Perlindungan Saksi hingga Penegakan HAM Berpotensi Tergganggu Kebijakan Efisiensi Anggaran](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/09/kompas/perlindungan-saksi-hingga-penegakan-ham-berpotensi-tergganggu-kebijakan-efisiensi-anggaran-1172695.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Perlindungan Saksi hingga Penegakan HAM Berpotensi Tergganggu Kebijakan Efisiensi Anggaran
– Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah berpotensi berdampak luas terhadap kinerja lembaga negara yang bergerak di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Pemangkasan anggaran ini menyebabkan terganggunya sejumlah program penting, mulai dari seleksi calon hakim agung 2025, pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban, serta penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan pemerintah untuk mengurangi anggaran belanja yang bersifat seremonial.
Instruksi ini tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025 yang berlaku sejak 22 Januari 2025.
"Membatasi belanja untuk kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, pencetakan, publikasi, dan seminar/focus group discussion," tulis diktum keempat Inpres Nomor 1 Tahun 2025.
Selain itu, Presiden juga meminta pemerintah mengurangi anggaran perjalanan dinas hingga 50 persen.
Kemudian, pemerintah diminta mengurangi belanja yang tidak memiliki output terukur. Lalu, pemerintah daerah diminta lebih selektif dalam memberikan hibah langsung kepada kementerian/lembaga, baik dalam bentuk uang, barang, maupun jasa.
Presiden menargetkan penghematan total anggaran dari pemerintah pusat dan daerah mencapai Rp 306,69 triliun.
Anggaran tersebut terdiri dari belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 256,10 triliun dan anggaran transfer ke daerah Rp 50,59 triliun.
"Efisiensi atas anggaran belanja negara tahun anggaran 2025 sebesar Rp 306.695.177.420.000," bunyi diktum kedua Inpres tersebut.
KY tak bisa seleksi hakim agung
Komisi Yudisial (KY) mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran sebesar 54 persen membuat mereka kesulitan menjalankan tugas, termasuk seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung (MA).
"Sehubungan dengan efisiensi anggaran yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas, Komisi Yudisial tidak dapat melaksanakan seleksi hakim agung dan hakim ad hoc HAM pada MA untuk memenuhi permintaan MA seperti permintaan tersebut di atas," kata Ketua Bidang Rekrutmen Hakim KY, M Taufiq, dalam konferensi pers daring, Jumat (7/2/2025).
Dalam surat yang dikirimkan MA ke KY, disebutkan bahwa terdapat kekosongan 16 posisi hakim agung di berbagai kamar peradilan.
Dengan keterbatasan anggaran, KY belum bisa memastikan kapan seleksi dapat dilakukan.
Komisi Yudisial (KY) tidak dapat melaksanakan agenda seleksi calon hakim agung 2025. Hal ini karena KY mengikuti instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait efisiensi anggaran.
Meski begitu, KY masih berupaya agar seleksi hakim agung tetap dapat berjalan.
"Saat ini KY terus mengupayakan untuk mendapatkan penambahan anggaran, dengan melakukan komunikasi pada pihak-pihak terkait," ujar Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata.
Fajar pun berharap anggaran dapat ditambah agar seleksi hakim agung tetap bisa dilaksanakan.
"Semoga apabila terpenuhi, maka Insya Allah agenda seleksi calon hakim agung ini akan kembali bisa dilaksanakan," tambahnya.
LPSK tak bisa lindungi korban terancam
Efisiensi anggaran juga berdampak besar pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang mengalami pemangkasan anggaran hingga 62 persen.
Dari total Rp 229 miliar yang diusulkan, kini hanya tersisa Rp 85 miliar untuk operasional tahun 2025.
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtyas, menyatakan bahwa keterbatasan anggaran akan berdampak pada layanan perlindungan saksi dan korban kejahatan.
"Rp 85 miliar ini enggak mencukupi operasional kami, terutama berkaitan dengan layanan perlindungan terhadap saksi dan korban," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (7/2/2025).
LPSK terpaksa menghentikan beberapa layanan, seperti bantuan medis, psikologis, hingga perlindungan fisik.
Selain itu, keterbatasan dana juga membuat LPSK harus lebih selektif dalam menangani permohonan perlindungan.
"Kami enggak bisa menyetop orang untuk mengajukan permohonan, yang susahnya di situ. Makanya kami membatasi saja, misalnya kalau selama ini mungkin dihubungi 24 jam, sekarang jam kerja, misalnya jam 16.00 WIB selesai, lebih dari itu kami enggak bisa terima," jelas Susilaningtyas.
Untuk menekan biaya operasional, LPSK akan memangkas pengeluaran seperti listrik, internet, dan penggunaan kendaraan dinas.
Ketua Komisioner Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat memaparkan capaian Komnas HAM sepanjang 2023, di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (10/6/2024).
Komnas HAM: 90 persen dukungan tugas terdampak
Komnas HAM juga terkena dampak signifikan dari kebijakan efisiensi anggaran, dengan pemotongan mencapai 46,22 persen. Dari pagu awal Rp 112,8 miliar, kini tersisa Rp 60,6 miliar.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan bahwa efisiensi ini memengaruhi hampir seluruh program kerja lembaganya.
"Skema efisiensi anggaran sebesar 46 persen terhadap Komnas HAM ketika diturunkan ke dalam alokasi anggaran program ternyata berdampak 90 persen lebih terhadap dukungan sumber daya terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi utama Komnas HAM, yaitu penegakan HAM dan pemajuan HAM," katanya.
Dari anggaran yang tersisa, Rp 47,8 miliar dialokasikan untuk belanja pegawai, sementara hanya Rp 12,8 miliar yang dapat digunakan untuk pelaksanaan tugas dan operasional.
Atnike menegaskan bahwa pihaknya akan berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan dan DPR untuk memastikan anggaran yang tersedia cukup untuk menjalankan mandat perlindungan HAM.
Istana klaim pelayanan publik tak terdampak
Menanggapi kekhawatiran terhadap dampak efisiensi anggaran, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan mengganggu layanan publik.
Menurut Hasan, pemotongan anggaran hanya dilakukan pada program yang dinilai tidak memiliki manfaat bagi publik, seperti perjalanan dinas dan seremonial.
"Perjalanan luar negeri dikurangi, seremonial-seremonial dikurangi, perjalanan dinas dikurangi," kata Hasan di Gedung Kwarnas, Jakarta, Jumat (7/2/2025).
Hasan juga memastikan bahwa belanja pegawai, pelayanan publik, serta program bantuan sosial tidak akan terdampak oleh kebijakan efisiensi ini.
"Tapi yang pelayanan publik tidak dikurangi, public service obligation tidak dikurangi, belanja gaji pegawai tidak dikurangi. Jadi yang kayak gitu-gitu kan sudah jelas sebenarnya," jelas Hasan.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi saat ditemui di Gedung Kwarnas, Jakarta, Jumat (7/2/2025).
Perlu diawasi
Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Wahyudi Kumorotomo, menilai bahwa kebijakan efisiensi anggaran ini merupakan langkah realistis yang harus diambil pemerintah mengingat tantangan ekonomi global.
"Namun, konsekuensi dari kebijakan pengetatan anggaran (bujet austerity) ini juga harus dipantau secara saksama," ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (9/2/2025).
Wahyudi juga mengkritisi pemangkasan anggaran yang menyentuh sektor strategis seperti penegakan HAM, kesehatan, dan pendidikan.
"Publik pantas khawatir bahwa layanan kesehatan dan pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar rakyat justru semakin dikurangi, sementara prioritas untuk program MBG yang cenderung populis harus tetap diprioritaskan," ungkap Wahyudi.
Ia menekankan bahwa efisiensi anggaran tidak akan berdampak negatif jika dilakukan dengan benar.
"Namun, biasanya reaksi para pejabat dan aparat adalah dengan mengurangi kualitas dan kuantitas layanan publik, sementara belanja operasional seperti perjalanan dinas tidak banyak berubah," kata Wahyudi.
“Dengan demikian, keberhasilan kebijakan pemerintah untuk melakukan realokasi anggaran sangat tergantung kepada komitmen dan kemampuan setiap pejabat di tingkat pusat maupun di daerah,” sambungnya.
Wahyudi pun berpandangan bahwa komitmen tersebut tak mudah didapatkan.
Sebab, janji-janji pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan ASN juga belum konsisten diwujudkan.
“Sesuatu yang tidak mudah mengingat bahwa janji-janji peningkatan kesejahteraan ASN dengan tunjangan kinerja juga belum terwujud secara konsisten,” ucap Wahyudi.
"Jadi dengan keterbatasan anggaran, pelayanan memang sulit dimaksimalkan, tapi bukan berarti tidak bisa. Sekali lagi, tergantung komitmen dan disiplin para pejabat dan ASN," pungkasnya.
Tag: #perlindungan #saksi #hingga #penegakan #berpotensi #tergganggu #kebijakan #efisiensi #anggaran