LPSK Beri Perlindungan Terhadap 9 Saksi dan Korban Kasus Kekerasan Seksual Agus Disabilitas
Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati. Dia pernah menjadi Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)(CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com)
21:38
4 Februari 2025

LPSK Beri Perlindungan Terhadap 9 Saksi dan Korban Kasus Kekerasan Seksual Agus Disabilitas

- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan kepada sembilan saksi dan korban dalam kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang dilakukan terdakwa Agus disabilitas sejak 20-23 Januari 2025.

Perlindungan tersebut mencakup pemenuhan hak prosedural, seperti pendampingan dalam persidangan serta layanan medis dan psikologis.

Layanan Perlindungan dilakukan LPSK bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram untuk menghadirkan saksi dan korban yang terlindung dalam persidangan.

Beberapa saksi dan korban yang hadir dalam persidangan tersebut antara lain MA, AR, JB, dan YD.

Menghadapi persidangan kasus kekerasan seksual, korban rentan mengalami trauma psikologis. Untuk itu, LPSK menggandeng psikolog guna memberikan penguatan psikologis sebelum persidangan, memastikan para korban siap memberikan keterangan di hadapan majelis hakim.

Kemudian, persidangan akan kembali digelar pada 3 Februari 2025 dengan menghadirkan saksi dan korban lainnya yang berada dalam perlindungan LPSK, yaitu LA, IK, dan AR.

Lebih lanjut, LPSK mengapresiasi langkah Pengadilan Negeri (PN) Mataram, khususnya majelis hakim dan jaksa penuntut umum, yang telah menggelar persidangan secara tertutup dan mengakomodasi permintaan korban agar mereka tidak berhadapan langsung dengan terdakwa.

Hal itu sesuai dengan ketentuan KUHP dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati mengatakan, perlindungan bagi korban kekerasan seksual penting untuk memastikan keadilan.

Dia menegaskan bahwa tidak ada hak istimewa atau kekebalan hukum bagi pelaku kekerasan seksual, meskipun pelaku adalah penyandang disabilitas.

Menurut dia, penanganan kasus kekerasan seksual harus berpusat pada pengalaman korban. Oleh karena itu, meskipun secara kasat mata pelaku dianggap tidak memungkinkan untuk melakukan tindak pidana, fakta yang disampaikan korban tetap harus didengar untuk memastikan kebenaran.

Sri Nurherwati menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur hak penyandang disabilitas dalam memperoleh keadilan, termasuk dalam kapasitas mereka sebagai pelaku, korban, maupun saksi.

Dia menyebut, negara wajib menyediakan akomodasi yang layak dalam proses peradilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak dalam Proses Peradilan.

"Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual melibatkan pendampingan hukum dan dukungan psikologis yang sangat penting. Kami memastikan korban siap memberikan keterangan tanpa rasa takut atau malu agar hak-hak mereka dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya," ujar Sri Nurherwati.

Selain itu, dia juga menyoroti pentingnya restitusi bagi korban kekerasan seksual. Apalagi, Undang-Undang TPKS telah menegaskan bahwa restitusi adalah hak korban.

"Restitusi bukanlah sesuatu yang bersifat transaksional, melainkan hak korban yang menjadi tanggung jawab pelaku," katanya.

Restitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

Sri Nurherwati mengatakan, dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh pelaku, yakni kebenaran, keadilan dengan pelaku mendapatkan sanksi, dan pemulihan korban mendapat hak hidupnya kembali atas hak dan sosialnya.

Selain pendampingan hukum, korban kekerasan seksual juga berhak atas bantuan medis, psikologis, psikososial, dan restitusi sebagai ganti kerugian dari pelaku. LPSK terus mendorong agar hak-hak korban dalam memperoleh restitusi dapat terpenuhi.

Sri Nurherwati berharap sinergi antara aparat penegak hukum dan pendamping korban semakin kuat, sehingga hak-hak korban kekerasan seksual dapat terpenuhi secara optimal.

Editor: Kiki Safitri

Tag:  #lpsk #beri #perlindungan #terhadap #saksi #korban #kasus #kekerasan #seksual #agus #disabilitas

KOMENTAR