Validasi dan Apresiasi Suami Bisa Mengurangi Mom Guilt
Rasa bersalah para ibu atau mom guilt sering muncul ketika ibu merasa dirinya tidak cukup baik dalam merawat anak, mulai dari urusan kesehatan, tumbuh kembang, hingga pemenuhan kebutuhan emosional anak.
Di tengah kondisi tersebut, peran suami dan keluarga dinilai sangat krusial, terutama dalam memberikan validasi perasaan dan apresiasi atas usaha ibu.
Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga Farraas Afiefah Muhdiar menegaskan, respon suami yang kurang tepat justru dapat memperparah kecemasan dan rasa bersalah yang dirasakan ibu.
“Ketika anak ada masalah berat badan, ibu pasti khawatir banget. Ayahnya jangan sampai hanya bilang ‘Sudah ngapain dipikirin?’. Ibu tidak bisa menerima respon tersebut,” jelas Farraas saat diwawancarai Kompas.com di Jakarta Selatan, (10/12/2025).
Validasi emosi menjadi langkah awal yang penting
Menurut Farraas, kalimat yang terkesan menyepelekan justru membuat ibu merasa tidak dimengerti. Alih-alih menenangkan, respon tersebut dapat memicu pikiran berulang dan memperbesar kecemasan.
“Hal itu hanya membuat ibu semakin khawatir. Jadi sebaiknya divalidasi dulu kecemasan atau perasaan ibu, kemudian berikan apresiasi terhadap apa yang sudah ibu usahakan,” ujarnya.
Ketika ibu merasa dimengerti, kondisi emosionalnya akan lebih stabil dan siap untuk berpikir lebih rasional.
Selain validasi, apresiasi juga memegang peran penting dalam menurunkan mom guilt.
Farraas menjelaskan, ibu sering kali fokus pada hal-hal yang dirasa kurang, sementara usaha yang sudah dilakukan justru terabaikan.
“Setelah itu, baru berikan hal-hal yang masih bisa diupayakan, sebab di kondisi tersebut, ibu butuh dimengerti,” kata Farraas.
Apresiasi sederhana dari suami, seperti mengakui usaha ibu dalam merawat anak, dapat membantu ibu membangun kembali kepercayaan dirinya. Dengan begitu, ibu tidak merasa sendirian dalam menghadapi tantangan pengasuhan.
Mom guilt adalah perasaan yang wajar
Farraas menekankan, mom guilt bukanlah tanda kegagalan dalam pengasuhan. Sebaliknya, perasaan ini justru menunjukkan adanya kepedulian dan rasa sayang yang besar terhadap anak.
“Sebenarnya rasa bersalah itu sangat umum dan sangat wajar, karena kalau jadi ibu memang kita sayang dan peduli sama anak. Rasa bersalah itu bentuk dari kepedulian sebenarnya,” ungkapnya.
Namun, ketika perasaan bersalah tidak dikelola dengan baik, mom guilt dapat berkembang menjadi tekanan emosional yang berkepanjangan dan memengaruhi kesejahteraan mental ibu.
Ekspektasi yang menjadi sumber tekanan
Rasa bersalah para ibu sering kali bersumber dari ekspektasi yang terlalu tinggi. Ekspektasi ini bisa muncul dari dalam diri ibu maupun dari lingkungan sekitar.
“Munculnya dari ekspektasi dan itu bisa datang dari diri sendiri, bisa juga dari lingkungan sekitar,” ujarnya.
Ibu kerap memiliki gambaran ideal tentang bagaimana seharusnya menjadi orangtua. Ketika realitas tidak sesuai dengan bayangan tersebut, rasa bersalah pun muncul. Kondisi ini semakin diperparah oleh komentar atau penilaian dari orang lain.
Dalam kondisi ini, suami memiliki peran sangat penting sebagai sistem pendukung terdekat bagi ibu.
Validasi perasaan, apresiasi atas usaha, serta komunikasi yang empatik dapat membantu ibu keluar dari lingkaran mom guilt.
Dengan adanya dukungan emosional yang tepat, ibu akan merasa lebih tenang, percaya diri, dan mampu menjalani peran pengasuhan dengan lebih seimbang.