Bukan Orang Ketiga, Detektif Jubun Sebut Faktor Keluarga Kerap Picu Keretakan Rumah Tangga
Detektif Jubun. (dok. pribadi)
14:03
17 Desember 2025

Bukan Orang Ketiga, Detektif Jubun Sebut Faktor Keluarga Kerap Picu Keretakan Rumah Tangga

Baca 10 detik
  • Kurangnya dukungan keluarga merupakan pemicu utama perceraian (43%) melampaui perselingkuhan (34%) berdasarkan data Forbes Advisor.
  • Krisis pernikahan sering terjadi pada rentang empat hingga delapan tahun karena akumulasi tanggung jawab dan benturan ekspektasi.
  • Konflik sepele yang diabaikan, diperparah intervensi keluarga dan media digital, dapat memicu perceraian pasangan figur publik.

Gelombang perceraian figur publik kembali mencuat sepanjang 2025. Setelah publik dikejutkan oleh berakhirnya pernikahan Raisa dan Hamish Daud, perhatian bergeser pada kabar keretakan rumah tangga politikus Ridwan Kamil dan Atalia Praratya. Deretan peristiwa ini bukan sekadar gosip selebritas, melainkan potret rapuhnya institusi pernikahan di tengah tekanan sosial modern.

43 Persen Perceraian karena Kurang Dukungan Keluarga

Di balik sorotan kamera dan citra harmonis yang ditampilkan ke publik, perceraian menyimpan persoalan yang jauh lebih kompleks. Data Forbes Advisor menunjukkan, pemicu terbesar perceraian justru bukan perselingkuhan atau masalah finansial, melainkan kurangnya dukungan keluarga. Faktor ini menempati posisi teratas dengan persentase 43 persen, melampaui perselingkuhan yang berada di angka 34 persen.

Pandangan tersebut sejalan dengan pengalaman Detektif Jubun, praktisi jasa detektif yang kerap menangani konflik rumah tangga lintas latar belakang, termasuk figur publik. Menurutnya, keluarga besar sering menjadi titik awal konflik berkepanjangan.

“Dalam pengalaman saya, kurangnya dukungan keluarga besar sangat dominan. Ketika pasangan merasa tidak didukung atau terus diintervensi, tekanan psikologis meningkat dan konflik sulit diredam,” ujar Jubun, Rabu (17/12/2025).

Ia menegaskan, konflik keluarga hampir selalu muncul lebih dulu dibandingkan perselingkuhan atau persoalan ekonomi. “Perselingkuhan sering kali merupakan reaksi atas rasa tidak aman, kesepian, dan minimnya dukungan emosional—bukan sebab utama,” katanya.

Fase Rawan Pernikahan

Secara akademik, temuan ini selaras dengan pendapat Dr. Helen Fisher, PhD, antropolog Universitas Rutgers, yang menyebut usia pernikahan empat tahun sebagai fase krisis. Pengacara perceraian Bettina Hindin bahkan mencatat puncak perceraian terjadi pada usia lima hingga delapan tahun pernikahan. Jubun menyebut rentang waktu ini sebagai masa ujian paling rawan.

“Di fase 4–8 tahun, tanggung jawab bertambah, ekspektasi berbenturan dengan realitas, dan komunikasi mulai berubah. Masalah laten yang dulu terpendam mulai muncul ke permukaan,” jelasnya.

Tekanan tersebut, menurut Jubun, berlipat ganda pada figur publik. Tuntutan citra, ekspektasi sosial, serta kaburnya batas privasi membuat konflik berkembang lebih cepat. “Apalagi jika keluarga besar ikut terlibat. Persoalan kecil bisa membesar dalam waktu singkat,” ujarnya.

Ia menambahkan, hampir semua konflik besar berawal dari masalah sepele yang diabaikan. “Masalah kecil yang tidak diselesaikan berubah menjadi jarak emosional, lalu berkembang menjadi konflik kompleks, termasuk dugaan perselingkuhan,” katanya.

Tanda-tanda keretakan umumnya terlihat dari menyusutnya komunikasi, percakapan yang hanya bersifat teknis, dan hilangnya keterbukaan emosional. Jika dibiarkan, hubungan masuk fase rapuh. Dampaknya tidak berhenti pada pasangan, tetapi juga anak-anak.

“Penyesalan pasca perceraian, terutama soal waktu bersama anak, sangat sering muncul. Banyak klien baru menyadari besarnya kehilangan setelah semuanya berakhir,” ujar Jubun.

Di era digital, teknologi kerap mempercepat eskalasi konflik. Pesan singkat tanpa konteks, jejak digital, dan media sosial menjadi sumber salah tafsir dan kecurigaan. “Dalam banyak kasus yang saya tangani, dugaan perselingkuhan ternyata berakar pada krisis kepercayaan dan komunikasi,” katanya.

Jubun juga melihat pergeseran nilai dalam pernikahan modern: toleransi terhadap konflik menurun, sementara ekspektasi kebahagiaan meningkat. Kesalahan paling fatal, menurutnya, adalah berharap waktu akan menyelesaikan masalah. “Dalam rumah tangga, masalah yang diabaikan justru membesar.”

Sebagai penutup, ia menekankan pentingnya komunikasi terbuka sejak awal, kesepakatan batas peran keluarga besar, serta kesadaran bahwa pernikahan adalah proses jangka panjang yang menuntut ketahanan emosional. Ia juga mengingatkan dampak sosial dari perceraian figur publik.

“Fenomena ini bisa membentuk persepsi bahwa perceraian adalah solusi mudah, padahal konsekuensinya panjang dan kompleks,” ujarnya.

Pesannya tegas sekaligus reflektif: “Jangan mengambil keputusan permanen saat emosi masih mendominasi. Banyak rumah tangga runtuh bukan karena tak bisa diselamatkan, tetapi karena terlambat berbicara dengan jujur. Masalah terbesar bukan kurangnya bukti, melainkan kurangnya keberanian untuk saling mendengar,” pungkasnya.

Editor: Vania Rossa

Tag:  #bukan #orang #ketiga #detektif #jubun #sebut #faktor #keluarga #kerap #picu #keretakan #rumah #tangga

KOMENTAR