Tak Hanya Suka Menumpuk Sampah, Kenali Tanda-tanda Hoarding Disorder
Sebagian orang mungkin punya kebiasaan menyimpan barang lama, seperti plastik, baju bekas, dengan alasan “siapa tahu nanti berguna.”
Namun, jika kebiasaan itu membuat rumah terasa sesak dan sulit ditinggali, bisa jadi itu bukan sekadar malas beres-beres, melainkan tanda hoarding disorder atau gangguan menimbun barang.
Dikutip dari National Library of Medicine, gangguan ini diakui oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) sebagai salah satu kondisi kesehatan mental, bukan sekadar perilaku eksentrik atau kurang rapi.
Apa itu hoarding disorder?
Menurut penjelasan American Psychiatric Association dan Mayo Clinic, hoarding disorder adalah kondisi ketika seseorang secara terus-menerus merasa sulit membuang atau melepaskan barang, terlepas dari nilai atau kegunaannya.
Kesulitan ini disertai dorongan kuat untuk menyimpan dan kecemasan intens saat harus membuang benda tersebut.
Penderitanya sering kali beralasan bahwa barang “akan berguna nanti,” “memiliki nilai sentimental,” atau “sayang kalau dibuang.”
Akibatnya, ruang hidup menjadi penuh sesak hingga tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, dapur tertutup tumpukan barang, kamar tidur tidak bisa ditempati, bahkan jalur jalan bisa terhalang.
Menurut BMC Psychiatry, kondisi ini bukan hanya menimbulkan gangguan visual atau kenyamanan, tetapi juga berdampak pada kesehatan fisik, sosial, dan keselamatan penghuni rumah.
Lingkungan yang terlalu penuh bisa meningkatkan risiko jatuh, kebakaran, hingga gangguan pernapasan akibat debu dan jamur.
Ilustrasi hoarding
Tanda-tanda hoarding disorder
Berikut beberapa tanda yang dapat menunjukkan seseorang mengalami hoarding disorder:
- Menyimpan barang dalam jumlah besar tanpa alasan jelas. Barang-barang itu bisa berupa kertas, pakaian, alat rumah tangga, bahkan sampah.
- Sulit membuang barang meski sudah rusak atau tidak digunakan lagi.
- Merasa cemas atau sedih ketika diminta membersihkan rumah.
- Ruang hidup menjadi penuh hingga sulit bergerak.
- Mengalami konflik dengan keluarga karena kebiasaan menimbun.
- Merasa malu atau menghindari kunjungan orang lain karena kondisi rumah.
Beda dengan kolektor
Perlu dibedakan antara kolektor dan hoarder.
Kolektor biasanya menyimpan barang tertentu dengan tema dan sistem yang rapi, sedangkan penderita hoarding disorder menumpuk barang tanpa tujuan jelas dan tidak dapat mengendalikannya.
Mengapa seseorang menimbun barang?
Melansir dari Mayo Clinic, hoarding sering kali berakar pada emosi dan pola pikir tertentu, bukan semata perilaku malas.
Beberapa penderita merasa memiliki “ikatan” dengan barang, atau takut membuat keputusan salah dengan membuangnya.
Faktor lain yang berperan antara lain:
- Trauma atau kehilangan, seperti kehilangan orang terdekat atau pengalaman hidup penuh ketidakpastian.
- Gangguan kecemasan atau depresi, yang membuat seseorang lebih sulit mengambil keputusan dan melepaskan benda.
- Faktor genetik dan kognitif, karena penelitian menunjukkan hoarding bisa menurun dalam keluarga.
Peran keluarga dan lingkungan
Pendekatan empatik menjadi kunci. Alih-alih menyalahkan atau mempermalukan, keluarga sebaiknya mulai dengan percakapan terbuka dan menargetkan perubahan kecil.
Misalnya, mengajak penderita memilah satu tumpukan barang dalam sehari.
Jika kondisi rumah sudah membahayakan kesehatan atau keselamatan, profesional kesehatan mental dan layanan sosial bisa dilibatkan.
Bantuan lintas bidang seperti psikolog, petugas sosial, dan pekerja kebersihan, disebut dapat menolong penderita tanpa menimbulkan trauma tambahan.
Dengan mengenali tanda-tandanya sejak dini, kita bisa membantu orang terdekat mendapatkan bantuan profesional sebelum kebiasaan menimbun benar-benar mengambil alih hidup mereka.
Tag: #hanya #suka #menumpuk #sampah #kenali #tanda #tanda #hoarding #disorder