



Begini Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Ponpes Lirboyo, Benarkah Cederai Ilmu Agama?
-
Pondok Pesantren Lirboyo Kediri menjadi sorotan setelah tayangan “Xpose Uncensored” dinilai merendahkan martabat pesantren dan ulama melalui narasi yang tidak etis.
-
Sistem pendidikan di Lirboyo terdiri dari dua pendekatan utama: klasikal yang terstruktur melalui jenjang madrasah, dan non-klasikal yang berbasis metode weton dan sorogan.
-
Metode pemaknaan “utawi iku” dalam pembelajaran kitab kuning melatih santri dalam ketepatan harakat, susunan kalimat, dan pemahaman kosakata secara mendalam.
Tayangan program “Xpose Uncensored” yang ditayangkan Trans7 pada 13 Oktober 2025 memicu kontroversi karena dinilai telah merendahkan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Dalam episode tersebut, Lirboyo ditampilkan melalui visual para santri dan KH. Anwar Manshur, namun disertai narasi suara yang dianggap tidak etis dan menyudutkan.
Narasi menyebut santri “rela ngesot” demi memberikan amplop kepada kiai, bahkan menyimpulkan bahwa seharusnya kiai yang memberi imbalan kepada santri. Pernyataan tersebut dinilai mencederai nilai-nilai ta’dzim dan martabat ulama yang dijunjung tinggi di lingkungan pesantren.
Framing yang digunakan dalam tayangan itu dianggap telah menodai hubungan spiritual antara kiai dan santri, serta mengabaikan esensi pendidikan dan pengabdian yang menjadi tradisi Pondok Pesantren Lirboyo.
Padahal, selama ini pondok pesantren yang didirikan oleh KH Abdul Karim, alias Mbah Manab, ini sangat dihormati karena menjadi salah satu pusat pendidikan Islam tertua dan berpengaruh di Indonesia.
Tidak hanya itu, nama pondok pesantren Lirboyo juga dikenal di luar negeri. Hal ini terbukti dari adanya 29 santri berasal dari Malaysia pada 2015 lalu.
Sistem Pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo
Pendidikan di ponpes Lirboyo masih menerapkan sistem pembelajaran bertingkat yang berfokus pada kajian Kitab Kuning, yakni sebuah kitab klasik berbahasa Arab yang menjadi fondasi utama dalam tradisi keilmuan pesantren.
Berdasarkan ISTAWA: Jurnal Pendidikan Islam yang ditulis oleh Kholid Junaidi dengan tajuk "Sistem Pendidikan Pondok Pesantren di Indonesia", sistem pengajaran di ponpes Lirboyo dibagi dua kelompok yaitu sistem klasikan dan non-klasikal.
Sistem Klasikal
Sistem pendidikan klasikal merupakan metode pengajaran yang bersifat formal dan terstruktur. Proses pembelajarannya disusun secara sistematis, mencakup durasi belajar, kurikulum, jenjang pendidikan, serta aktivitas pendukungnya.
Di Pondok Pesantren Lirboyo, baik untuk santri putra maupun putri, sistem ini diterapkan melalui keberadaan Madrasah Hidayatul Mubtadi’in sebagai lembaga pendidikan formal berbasis klasikal.
Jenjang pendidikan madrasah di Pondok Pesantren Lirboyo terdiri dari empat tingkatan, yang pengelompokannya disesuaikan dengan tingkat penguasaan santri terhadap materi pelajaran yang telah ditetapkan.
1. Tingkat Madrasah Ibtida’iyah (MI) ditempuh 6 Tahun
2. Tingkat Tsanawiyah (Mts) ditempuh 3 Tahun
3. Tingkat Aliyah (MA) ditempuh 3 Tahun
4. I’dadiyyah (SP) ditempuh 1 Tahun
Madrasah I’dadiyah diperuntukkan bagi santri yang mendaftar di luar awal tahun ajaran, yakni setelah bulan Syawal.
Lembaga ini berfungsi sebagai tahap persiapan bagi santri baru sebelum memasuki jenjang pendidikan formal di tahun ajaran berikutnya.
Setelah menyelesaikan I’dadiyah, santri dapat melanjutkan ke jenjang ibtida’iyyah, tsanawiyyah, atau aliyah, sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya.
Sistem Non-klasikal
Pendidikan non-klasikal di Pondok Pesantren Lirboyo menerapkan dua metode utama, yaitu weton (bandongan) dan sorogan.
Metode weton dilakukan dengan cara kyai atau ustadz membacakan serta menjelaskan isi Kitab Kuning, sementara santri menyimak dan memberi makna pada teks.
Sebaliknya, metode sorogan melibatkan santri yang membaca langsung di hadapan guru, lalu mendapatkan koreksi, penjelasan, dan bimbingan sesuai kebutuhan.
Kedua pendekatan ini sama-sama menekankan pemahaman mendalam terhadap ilmu, saling melengkapi, dan digunakan baik dalam pembelajaran Al-Qur’an maupun Kitab Kuning.
Dalam metode sorogan, santri membacakan isi Kitab Kuning beserta maknanya di hadapan guru yang disebut Penyorog. Pemaknaan biasanya dilakukan dengan gaya khas Jawa seperti metode “utawi iku”.
Sementara itu, Penyorog bertugas menyimak, mengoreksi kesalahan, dan sesekali membenarkan cara baca yang kurang tepat, sehingga proses belajar berlangsung secara personal dan mendalam.
Melalui metode pemaknaan “utawi iku”, santri mendapatkan pelatihan dalam tiga aspek penting, yaitu:
1. Ketepatan harakat, baik pada tiap kata (mufradat) maupun dalam konteks i’rab.
2. Ketepatan tarkib, yakni susunan kata dalam kalimat yang menyerupai struktur S-P-O-K (Subjek–Predikat–Objek–Keterangan) dalam bahasa Indonesia.
3. Ketepatan makna mufradat atau pemahaman kosakata secara individual.
Metode ini tidak hanya melatih kemampuan membaca, tetapi juga memperkuat pemahaman gramatikal dan semantik dalam kajian Kitab Kuning.
Tag: #begini #sistem #pendidikan #pengajaran #ponpes #lirboyo #benarkah #cederai #ilmu #agama