Lawan Netanyahu, Pejabat Keamanan Israel Nyatakan Agresi Militer di Gaza Berakhir: Hamas Menang?
Tentara Israel dari unit infanteri Golani berjalan keluar dari Jalur Gaza Palestina dekat Kibbutz Ein Hashlosha selama badai pasir setelah operasi di dalam Gaza, 17 Oktober 2007. 
22:30
17 Agustus 2024

Lawan Netanyahu, Pejabat Keamanan Israel Nyatakan Agresi Militer di Gaza Berakhir: Hamas Menang?

Setelah lebih dari 10 bulan setelah serangan pendudukan Israel terhadap Gaza dimulai, pejabat keamanan pendudukan Israel mengumumkan kalau operasi militer di Gaza telah “berakhir,” menurut laporan dari Otoritas Penyiaran Ibrani, KAN dilansir RNTV, Sabtu (17/8/2024).

Namun, para pejabat Israel tersebut menggarisbawahi kalau bahwa militer Pendudukan Israel (IDF) "dapat memasuki Gaza lagi ketika informasi intelijen baru tersedia,” seperti yang dilaporkan oleh Hebrew Broadcasting Authority.

"Lembaga keamanan Pendudukan Israel memberi tahu para pemimpin politik di Tel Aviv bahwa waktunya telah tiba untuk kesepakatan pertukaran tawanan," kata laporan itu.

Pernyataan ini mengindikasikan friksi yang memuncak antara kalangan militer Israel dan birokrasi politik Tel Aviv di bawah pemerintahan Perdana Menteri, Benjamin Netanyahu.

Seperti diketahui, Netanyhu dituding mengulur-ulur waktu dan mempersulit terjadinya kesepakatan pertukaran sandera yang tengah berlangsung di Doha, Qatar, dengan mengajukan sejumlah persyaratan baru.

Netanyahu, seperti diketahui, menyatakan Israel akan terus menggempur Gaza sampai mereka memperoleh 'Kemenangan Mutlak' dengan capaian target: Pemulangan sandera Israel, Pemberangusan Hamas, dan Pencegahan terulangnya serangan Banjir Al-Aqsa 7 Oktober di masa mendatang.

Hingga memasuki bulan ke-11 agresi militer di IDF, Hamas terbukti masih aktif memberikan perlawanan.

Kehabisan Opsi Militer

Adapun pihak IDF sudah menyiratkan keinginan mereka untuk mundur dari Jalur Gaza.

Surat Kabar Amerika Serikat (AS), The New York Times mengutip para pejabat AS dan Israel mengulas seputar kegagalan agresi militer Tentara Israel (IDF) ke Jalur Gaza yang sudah berlangsung berbulan-bulan sejak Oktober 2023 silam.

Narasumber media tersebut mengatakan kalau “kemungkinan melemahkan Hamas semakin berkurang,”.

Pengakuan para pejabat AS-Israel ini menekankan kalau “Israel telah melakukan segala yang bisa dilakukannya pada tingkat militer di Gaza.”

Para pejabat menjelaskan kalau “sandera yang ditahan di Gaza tidak dapat diperoleh kembali dengan cara militer.”

Para pejabat tersebut menambahkan, “Israel mencoba merusak jaringan terowongan di Gaza, namun gagal menghancurkannya,”.

Ulasan itu juga mencatat pengakuan dari para pejabat tersebut kalau “jaringan terowongan milik milisi Perlawanan terbukti lebih besar dari perkiraan Israel, dan merupakan sarana yang efektif untuk Hamas.”

Menurut surat kabar tersebut, “Pejabat Pentagon percaya bahwa Israel belum membuktikan kemampuannya untuk mengamankan wilayah yang dikuasainya di Gaza.”

Para pejabat menekankan bahwa diplomasi (perundingan) adalah satu-satunya cara yang memungkinkan Israel memulangkan para tahanan Israel yang disandera milisi Perlawanan di Jalur Gaza.

Dalam beberapa kesempatan, tentara pendudukan mengakui ketidakmungkinan mencapai tujuan utama agresi brutalnya terhadap Jalur Gaza, yaitu menghancurkan Gerakan Perlawanan Hamas,".

Juru Bicara Tentara Israel (IDF), Daniel Hagari bahkan menekankan bahwa Hamas adalah sebuah gagasan yang tidak dapat dihancurkan.

“Berbicara tentang penghancuran Hamas seperti membuang abu di mata masyarakat, karena hal itu tertanam di hati masyarakat,” kata Daniel Hagari Juni silam.

Dalam sebuah wawancara dengan Hebrew Channel 13, Hagari juga mengkritik para pemimpin politik Israel yang menyerukan penghapusan gerakan Hamas sebagai syarat 'kemenangan mutlak'.

“Hamas adalah sebuah ide, dan Anda tidak dapat menghancurkan sebuah ide. Tingkat politik (politisi Israel) harus menemukan alternatif terhadapnya, jika tidak maka akan tetap ada,” kata Hagari.

Dia juga menekankan bahwa pasukan IDF “membayar harga yang mahal dalam perang ini.

"Namun kita tidak bisa tinggal diam, tidak semua tahanan dapat dikembalikan dengan cara militer,” tambah Hagari.

Mengapa perundingan Israel dan Hamas Selalu Kandas?

Kedua pihak baik Israel dan Hamas, dalam kejadian berulang, tampaknya telah menyepakati poin-poin utama kesepakatan, tetapi mereka terus berselisih tentang bagaimana kesepakatan itu akan dijalankan.

Sudah 10 bulan perang yang melelahkan di Gaza berlangsung dengan cerita yang sama berulang: Para pejabat mengumumkan bahwa perjanjian gencatan senjata – yang akan menjamin berakhirnya pertempuran, keselamatan warga sipil Palestina, dan pembebasan sandera Israel yang ditahan di Gaza – sudah di depan mata.

Namun, beberapa hari atau beberapa jam kemudian, pihak lain menyatakan bahwa perundingan gencatan senjata telah menemui hambatan dan potensi kesepakatan kembali gagal.

Yang terbaru Jumat (16/8/2024) kemarin saat Hamas menyatakan, kelompok itu menolak persyaratan baru dalam proposal gencatan senjata di Gaza yang disampaikan mediator pimpinan Amerika Serikat (AS).

Hal itu disampaikan Hamas dalam perundingan yang digelar di Qatar selama dua hari. Padahal sebelumnya sudah terbentuk optimisme, gencatan senjata yang akan segera terwujud.

Bersamaan dengan berbagai kegagalan itu biasanya terjadi saling tuding, dari pemerintah Israel maupun dari kelompok Hamas, bahwa pihak seberang menghalangi kesepakatan dengan membuat tuntutan yang tidak masuk akal dan melakukan perubahan pada menit-menit terakhir.

Sebenarnya, sebuah kerangka dasar untuk gencatan senjata sudah ada dan tampaknya, sebagian besar, telah disetujui oleh Israel dan Hamas. Perang Hamas-Israel saat ini dimulai pada 7 Oktober 2023 ketika kelompok Hamas yang berbasis di Gaza menyerang wilayah Israel selatan yang mengakibatkan kematian sekitar 1.200 warga Israel.

Lebih dari 200 orang disandera. Sebagai balasan, dalam waktu beberapa bulan setelahnya, operasi militer Israel di Gaza telah menewaskan hampir 40.000 warga Palestina, sebagian besar warga sipil, dan membuat sebagian besar dari 2,3 juta penduduk di wilayah itu harus mengungsi.

Putaran terakhir perundingan gencatan senjata dimulai pada Mei lalu dan sejak itu, para perunding dari sejumlah negara, termasuk AS, Qatar, dan Mesir, telah berusaha meyakinkan Israel dan Hamas untuk menyepakati cara kerja kesepakatan tersebut.

Kerangka Kerja Pada 31 Mei 2024, Presiden AS, Joe Biden, menguraikan sebuah kerangka kerja perjanjian gencatan senjata secara rinci. Biden mengatakan kerangka itu didasarkan pada usulan Israel.

Meskipun Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa kerangka yang diajukan Biden itu “tidak dapat diterima”, para perunding Israel terus berupaya untuk membahas hal tersebut.  

Kesepakatan yang diajukan Biden itu hampir identik dengan proposal gencatan senjata yang disetujui Hamas, sebagai dasar negosiasi, pada awal Mei.

Pada bulan Juni, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 2735, yang juga mengikuti garis besar kerangka yang diumumkan Biden, meskipun dalam istilah yang tidak terlalu rinci.

Premis utamanya adalah bahwa gencatan senjata akan dilaksanakan dalam tiga tahap, dengan dua tahap pertama masing-masing berlangsung sekitar enam minggu, dan tahap terakhir mencakup rekonstruksi wilayah Gaza yang akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Tahap Pertama: Dalam enam minggu pertama gencatan senjata, akan ada “penghentian sementara” operasi militer yang dilakukan Israel dan Hamas.

Pasukan Israel akan mundur secara bertahap, dan warga Palestina yang mengungsi dapat kembali ke rumah mereka.

Bantuan kemanusiaan akan diizinkan masuk ke Gaza, dan gelombang pertama sandera Israel akan ditukar dengan tahanan Palestina.

Sandera Israel mencakup perempuan (termasuk tentara), anak-anak, orang tua dan orang sakit. Mereka akan ditukar dengan ratusan tahanan Palestina, kebanyakan perempuan, anak-anak, orang tua atau orang sakit.

Tahap Kedua: Negosiasi mengenai tahap kedua gencatan senjata akan dimulai pada tahap pertama. Bantuan untuk menampung dan memberi makan sekitar dua juta warga Palestina yang mengungsi akan terus berlanjut, dan rencana untuk membangun kembali infrastruktur Gaza yang hancur akan dimulai.

Pembatasan oleh pihak Israel di penyeberangan Rafah, perbatasan antara Mesir dan Gaza, akan dilonggarkan.

Pada tahap kedua itu, sisa sandera Israel lainnya – warga sipil dan tentara laki-laki – akan ditukar.

Namun sebelum hal itu bisa terjadi, rencana tiga tahap itu menyatakan harus "terjadi ketenangan berkelanjutan yang telah dipulihkan (penghentian permanen operasi militer dan permusuhan)”.

Tahap Ketiga: Tahap ketiga akan mencakup rekonstruksi umum wilayah Gaza selama beberapa tahun. Jenazah dari orang-orang yang meninggal di kedua belah pihak akan dikembalikan.

Ada juga sejumlah aspek lain dalam perjanjian gencatan senjata yang dimaksudkan untuk memengaruhi Israel atau Hamas.

Misalnya, menurut harian AS, The Washington Post, terdapat diskusi mengenai penarikan kelompok Hizbollah yang bermarkas di Lebanon dari perbatasan Israel-Lebanon, serta potensi Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel.

Ada juga laporan bahwa Qatar – negara Teluk tempat sayap politik Hamas bermarkas – telah menekan kelompok itu dengan mengancam akan mengusir mereka dari Qatar.

Namun masih ada bagian-bagian tertentu dari kerangka dasar itu yang tidak dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Ada yang sudah diketahui banyak kalangan, ada pula yang kurang dipublikasikan.

Misalnya, para perunding berbicara tentang tenggat waktu yang berbeda-beda dan perbedaan pendapat mengenai nama-nama dan jumlah sandera yang dibebaskan.  

Poin-Poin Permasalahan Dalam Gencatan Senjata

Penghentian pertempuran secara permanen: Walau gencatan senjata sementara pada tahap pertama tampaknya merupakan sesuatu yang dapat disepakati semua pihak, tetapi apa yang terjadi setelahnya masih memerlukan negosiasi yang intens.

Hamas menginginkan jaminan bahwa permusuhan berakhir secara permanen setelah mereka menyerahkan sandera.

Namun pemerintah Israel mengatakan, mereka tidak akan berhenti berperang sampai mencapai “kemenangan total” atas Hamas.

Pada awal Juli, Hamas mengatakan mereka akan menerima perjanjian gencatan senjata tanpa jaminan tertulis dari Israel untuk mengakhir pertempuran terlebih dahulu.

Kolumnis deks luar negeri Washington Post, David Ignatius, menjelaskan alasan persetujuan Hamas:

Sebuah kalimat dalam resolusi Dewan Keamanan PBB pada bulan Juni mengatakan: "Jika negosiasi memakan waktu lebih dari enam minggu untuk tahap pertama, gencatan senjata akan tetap berlanjut selama negosiasi berlanjut."

Menurut Ignatius, itu berarti, pertempuran harus dihentikan selama perundingan tahap pertama masih berlangsung.

Rumusan tersebut, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Times of Israel, “Memungkinkan Israel merasa cukup nyaman bahwa memiliki kemampuan untuk melanjutkan pertempuran jika Hamas berhenti bernegosiasi dengan itikad baik, dan Hamas merasa cukup nyaman bahwa para mediator akan mencegah Israel melanjutkan perang.”

Namun tak lama kemudian, Netanyahu mengumumkan syarat-syarat lanjutan yang "tidak dapat dinegosiasikan", salah satunya adalah Israel harus tetap diizinkan untuk melanjutkan pertempuran.

Komentarnya itu membuat marah para perunding internasional dan sejumlah politisi Israel, yang semuanya berpendapat bahwa pernyataannya itu membahayakan kesepakatan saat perundingan akan dilanjutkan.

Kantor berita AS, Associated Press (AP) menulis, “Israel tampaknya khawatir bahwa Hamas akan berlarut-larut dalam perundingan yang sia-sia.”

Minggu ini, New York Times melihat sejumlah dokumen yang tidak dipublikasikan yang menunjukkan bahwa, meskipun ada keraguan mengenai kesediaan Hamas untuk berkompromi, Israel adalah mitra yang “kurang fleksibel” dalam perundingan gencatan senjata baru-baru ini.

Kantor Netanyahu membantah hal itu. Sejumlah pengkritik Perdana Menteri Israel itu mengatakan bahwa Netanyahu sengaja mempanjang perang demi kelangsungan karier politiknya sendiri. Para mitra koalisi sayap kanan yang mendukung pemerintahannya mengatakan, mereka tidak akan menerima gencatan senjata apapun.  

Pada awal Agustus itu, Ismail Haniyeh, salah satu kepala perunding Hamas untuk perjanjian gencatan senjata, tewas di Teheran, kemungkinan besar akibat bom yang dipasang Israel.

Siapa yang akan berkuasa di Gaza? Israel berkeras bahwa Hamas tidak boleh berkuasa di Gaza setelah pertempuran berakhir.

Sejak November lalu, Hamas telah menegaskan bahwa mereka yang akan berkuasa, dan bahwa mereka tidak ingin saingan politiknya, Otoritas Palestina (PA), mengambil alih kekuasaan di Gaza.

Laporan terbaru mengatakan, Israel dan Hamas telah bersepakat bahwa sebuah kekuatan yang didukung PA, diawasi negara-negara lain, termasuk negara-negara Arab, untuk mengambil kendali sementara atas Gaza.

Lokasi pasukan Israel: Hamas ingin Israel menarik diri sepenuhnya dari Gaza. Israel ingin menempatkan pasukannya di pos-pos pemeriksaan di tengah Jalur Gaza sehingga tentaranya dapat memerika warga Palestina yang membawa senjata.

Ada perdebatan mengenai hal ini, dan Israel tampaknya setuju untuk menarik diri pada Mei.

Namun dalam surat pada bulan Juli kepada para mediator di Roma, yang dikirim kantor Perdana Menteri Israel dan dilihat New York Times, Israel tampaknya mengingkari hal ini.

Area yang sumber kontroversi lainnya adalah titik penyeberangan Rafah di perbatasan Mesir-Gaza, yang dulu dikuasai militer Mesir.

Israel mengatakan, mereka harus diizinkan untuk mempertahankan kendali atas wilayah itu, demi mencegah penyelundupan senjata yang melewati daerah itu kepada Hamas.

(oln/rntv/kmps/*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gencatan Senjata Israel-Hamas, Mengapa Tak Kunjung Ada Kesepakatan?"

Tag:  #lawan #netanyahu #pejabat #keamanan #israel #nyatakan #agresi #militer #gaza #berakhir #hamas #menang

KOMENTAR