Dua Capres AS Punya Cara Berbeda Akhiri Konflik Gaza
- Pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat akan digelar besok (5/11). Presiden yang terpilih tentu akan memengaruhi arah kebijakan luar negeri. Khususnya terkait konflik Israel-Palestina.
Pakar hubungan internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Agastya Wardhana mengatakan, pada 2020, Donald Trump telah membuat perjanjian perdamaian di Timur Tengah. Jika Trump terpilih menjadi presiden, kemungkinan upaya tersebut akan dicoba kembali. Namun, dia akan menyelesaikan konflik dengan caranya sendiri. "Trump berjanji akan menyelesaikan perang di Palestina hingga mendapatkan endorsement dari kelompok muslim di Amerika Serikat (AS)," katanya.
Bagi Agastya, yang menarik adalah cara Trump menyelesaikan perang tersebut akan seperti apa. Sebab, banyak negara di dunia yang menginginkan cara penyelesaiannya adalah two state solution (solusi dua negara). ’’Trump ini unik dan narsistik. Jadi, caranya bisa jadi tidak diprediksi dan bisa jadi tidak sesuai dengan yang diinginkan dunia,’’ ujarnya.
Namun, jika dibandingkan Kamala Harris, Trump cenderung melihat konflik di Gaza bukan hal yang penting. Sebab, kebijakan luar negeri Trump berfokus pada AS atau America First. ’’Jadi, Gaza, Israel, dan Palestina itu tidak penting dalam gambaran Trump. Itu sebabnya, bukan berarti ketika dipilih menjadi presiden, dia akan menyelesaikan konflik di Gaza,’’ jelas Agastya.
Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (ANTARA/Anadolu)
Saat ini, Trump juga mendapatkan bantuan dari kelompok Yahudi di AS. Jadi, dukungan terhadap Israel masih akan terjadi. ’’Jadi, kemungkinan konfliknya akan selesai, tetapi dengan cara Trump. Atau memang Palestina dan Israel tidak dilirik sama sekali,’’ imbuhnya.
Di sisi lain, Harris mempresentasikan keberlanjutan. Jadi, jika Harris terpilih menjadi presiden, dalam konteks dunia dan kebutuhan AS sekarang tidak akan jauh berbeda dengan Joe Biden. Mungkin konflik tersebut tidak akan bisa selesai. ’’Jadi, peluang dalam menyelesaikan konflik mungkin akan lebih besar Trump dibanding Harris,’’ katanya.
Artinya, AS akan tetap membantu masyarakat Palestina dan masyarakat tertindas, tetapi tidak bisa secara signifikan memaksa untuk memutus bantuan kepada Israel. ’’Yang menarik dari Harris ini adalah sisi personalnya dia. Dalam platform kebijakan luar negeri berbeda dengan Trump. Harris mengeluarkan kebijakan luar negeri yang lebih feminin,’’ ucapnya.
Karena itulah, Harris akan lebih soft dibandingkan Biden dalam mengeluarkan kebijakan luar negeri. Lantaran menjadi representasi berkelanjutan, maka akan dilihat seberapa jauh personal touch Harris bisa membantu masyarakat Palestina.
’’Namun, baik Trump atau Harris sebenarnya tergantung bagaimana refleksi kongres di pemilu berikutnya. Sebab, otoritas dalam memberikan bantuan luar negeri baik Israel maupun Palestina lebih banyak dikeluarkan di kongres,’’ katanya. (ayu/c17/bay)