Pemulihan Gaza Terhambat Krisis Infrastruktur dan Minimnya Akses Bantuan
- Upaya membangun kembali Gaza setelah konflik panjang masih menghadapi berbagai hambatan besar. Kerusakan menyeluruh pada fasilitas publik, keterbatasan akses bantuan kemanusiaan, dan persoalan kepemimpinan pasca perang membuat proses pemulihan berjalan tersendat. Dilansir dari Brookings Institution, skala kehancuran yang terjadi sejak pecahnya serangan 2023 disebut sebagai salah satu yang paling parah dalam sejarah kawasan tersebut.
Sektor kesehatan menjadi titik paling kritis dalam krisis ini. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di jurnal Healthcare oleh MDPI, lebih dari separuh rumah sakit dan klinik di Gaza tidak lagi beroperasi optimal karena kekurangan peralatan, kerusakan fisik, serta minimnya tenaga medis. Studi itu juga menekankan bahwa layanan rehabilitasi luka berat, perawatan amputasi, dan dukungan kesehatan mental hampir tidak dapat dijalankan karena kapasitas fasilitas sangat terbatas.
Selain itu, ruang bagi organisasi kemanusiaan semakin menyempit. Dalam kajian bertajuk 'Undermining Humanitarian Space in Conflict Epicenters', disebutkan bahwa bantuan sering terhambat oleh pembatasan akses, tingginya ancaman keamanan, serta dinamika politik yang mempersulit pendistribusian. Kondisi ini menyebabkan banyak lembaga internasional tidak dapat menjangkau warga yang paling membutuhkan.
Sektor pendidikan pun berada dalam kondisi memprihatinkan. Sekitar 88 persen bangunan sekolah mengalami kerusakan berat, menyebabkan ratusan ribu siswa terpaksa menghentikan kegiatan belajar. Ada peringatan risiko munculnya "generasi tanpa akses pendidikan" jika pemulihan tidak dilakukan secara cepat dan terstruktur.
Kerusakan infrastruktur dasar juga menjadi tantangan yang sangat besar. Lebih dari 50 juta ton puing berserakan di wilayah Gaza, menumpuk di jalan, permukiman, hingga fasilitas publik. Selain menghambat proses rekonstruksi, puing-puing ini menjadi ancaman kesehatan karena mengandung campuran logam berat dan material berbahaya.
Krisis sanitasi dan air bersih semakin memperparah keadaan. Hancurnya sistem distribusi air dan fasilitas pengolahan limbah membuat risiko wabah meningkat signifikan. Minimnya tenaga laboratorium, obat-obatan, dan fasilitas pendukung memperburuk kemampuan Gaza untuk merespons ancaman kesehatan lingkungan.
Dari sisi ekonomi, beban pemulihan sangat besar. Biaya rekonstruksi diperkirakan mencapai 40–50 miliar dolar AS. Dampak perang juga memaksa banyak keluarga kehilangan pekerjaan sementara sektor produktif seperti pertanian dan industri tidak lagi beroperasi akibat kerusakan infrastruktur yang menyeluruh.
Persoalan tata kelola turut menghambat penyaluran bantuan dan rekonstruksi. Belum adanya kepastian mengenai otoritas yang akan mengelola Gaza setelah konflik membuat banyak negara donor menahan dukungan finansial. Ketidakjelasan ini dikhawatirkan menghambat proses pembangunan ulang yang seharusnya segera dilakukan.
Krisis juga diperburuk oleh eksodus tenaga profesional. Banyak dokter, insinyur, pengajar, dan tenaga ahli lainnya meninggalkan Gaza selama konflik berlangsung. Kekurangan SDM terampil ini menciptakan hambatan baru bagi upaya jangka panjang untuk memulihkan layanan publik dan membangun kembali kapasitas lokal.
Meski situasinya berat, sejumlah laporan internasional menegaskan bahwa pemulihan Gaza tetap mungkin dilakukan jika ada dukungan global yang konsisten dan mekanisme koordinasi yang kuat. Studi MDPI dan analisis Brookings sama-sama menyoroti perlunya akses kemanusiaan yang aman, pendanaan yang terjamin, serta tata kelola yang transparan untuk memastikan pemulihan berjalan efektif dan tidak meninggalkan warga Gaza dalam kondisi krisis berlarut.
Tag: #pemulihan #gaza #terhambat #krisis #infrastruktur #minimnya #akses #bantuan