Bagaimana Awal Mula Israel Bisa Urus Pajak Palestina hingga Kini Berakhir Dikirim ke Norwegia?
Foto yang diambil pada tanggal 22 Januari 2024 di pinggiran selatan Khan Yunis, di selatan Jalur Gaza, menunjukkan keluarga-keluarga Palestina melarikan diri dari kota melalui jalan pesisir menuju Rafah, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas. Perjanjian bernama ''Protokol Paris'' menjadi awal bagaimana Israel bisa mengurusi pajak Palestina dan kini berakhir dikirim ke Norwegia. 
08:10
25 Januari 2024

Bagaimana Awal Mula Israel Bisa Urus Pajak Palestina hingga Kini Berakhir Dikirim ke Norwegia?

Israel mengumumkan bakal mengirim pendapatan pajak Palestina ke Norwegia alih-alih dikirim ke Otoritas Palestina (PA).

Hal ini diumumkan oleh kantor Perdana Menteri Israel pada Minggu (21/1/2024) lalu.

“Dana yang dibekukan tidak akan dikirim ke Otoritas Palestina, tetapi akan tetap berada di tangan negara ketiga,” demikian pengumuman dari pemerintah Israel dikutip dari Aljazeera.

Israel mengungkapkan kendati bakal dikirim ke Otoritas Palestina, maka harus seizin dari Kementerian Keuangan Israel.

“Uang atau pertimbangannya tidak akan ditransfer dalam keadaan apapun, kecuali dengan persetujuan Menteri Keuangan Israel, bahkan melalui pihak ketiga,” jelas Israel.

Adapun kebijakan ini pertama kalinya diawali dengan pemotongan hasil pajak oleh Israel kepada Palestina usai adanya serangan roket dari Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.

Namun, Palestina justru menolak untuk menerima sisa hasil pajak lainnya yang masih ditahan oleh Israel.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes Palestina terhadap Israel.

“Setiap pemotongan dari hak-hak keuangan kami atau persyaratan apapun yang diberlakukan oleh Israel yang mencegah Otoritas Palestina untuk membayar orang-orang kami di Jalur Gaza ditolak oleh kami,” kata pejabat senior Otoritas Palestina, Hussein al-Sheikh.

Terlepas dari semua itu, lalu bagaimana awal mula Israel bisa mengurusi pajak Palestina?

Perjanjian Bernama "Protokol Paris"

Semua hal ini berawal dari adanya perjanjian antara Israel dan Otoritas Palestina pada tahun 1994 yang dikenal sebagai “Protokol Paris”.

Dikutip dari Reuters, perjanjian ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan di sektor ekonomi antara Israel dan wilayah Palestina yang didudkinya hingga tercapainya kesepakatan perdamaian final antara kedua negara.

Lalu, perjanjian ini merupakan hasil ratifikasi terbuka dari Perjanjian Oslo oleh Perdana Menteri (PM) Israel saat itu, Yitzhak Rabin dan Presiden Palestina saat itu, Yasser Arafat di Gedung Putih pada September 1993.

Adapun sebenarnya, perjanjian seharusnya berakhir dalam jangka waktu lima tahun sejak disepakati.

Sementara tujuan dari adanya perjanjian ini adalah untuk mengatur hubungan ekonomi antara Israel dan Palestina meski pada dasarnya untuk mengintegrasikan perekonomian Palestina ke perekonomian Israel.

Justru Dimanfaatkan Israel

Hanya saja, selama 30 tahun berjalan, perjanjian ini telah mengekang kepentingan ekonomi Palestina dan, di saat yang bersamaan, Israel memanfaatkan para tenaga kerja asal Palestina untuk kepentingan ekonomi Zionis.

Lalu, secara lebih besar menurut perjanjian itu, Palestina memiliki hak untuk mengambil keputusan sesuai dengan rencana dan prioritas pembangunan yang diinginkan.

Namun, segala bentuk retorika yang tertuang dalam perjanjian ini menimbulkan ambigu lantaran tidak menguraikan prosedur implementasi yang konkret atau sepenuhnya membahas otoritas yang melekat pada Israel atas ekonomi Palestina, dikutip dari jurnal peneliti soal Timur Tengah dari University of Florida, Enshirah Barakat yang terlampir di laman Middle East Policy Council (MEPC).

Kini, buntut dari perjanjian ini, yang dinilai oleh Arafat dan Rabin mengobarkan optimisme kerjasama ekonomi Palestina-Israel justru memunculkan pengekangan dan eksploitasi besar-besaran oleh pebisnis Israel terhadap pekerja Palestina.

Tak hanya sampai disitu, Israel pun semakin terlalu ikut campur dengan jalannya perekonomian di Palestina.

Alhasil, berdasarkan jurnal yang ditulis Barakat, perjanjian bertajuk “Protokol Paris” ini harus dievaluasi ulang untuk menciptakan dan mengimplementasikan infrastruktur bagi kerja sama ekonomi yang adil dan aman Palestina.

Israel Tarik Pajak Palestina Ratusan Juta Dolar AS per Bulan

Kembali terkait pemungutan pajak Palestina, Israel tiap bulannya memungut sebesar 188 juta dolar AS dan menyumbang 64 persen dari total pendapatan Palestina.

Adapun sebagian besar dari pendapatan ini guna membayar gaji 150.000 pegawai Otoritas Palestina yang bekerja di Tepi Barat dan Gaza.

Lalu per 3 November 2023 lalu, Kabinet Keamanan Israel memutuskan untuk menahan 275 juta dolar AS pendapatan pajak Palestina, termasuk uang tunai yang dikumpulkan selama beberapa bulan sebelumnya yang masih berada di Tel Aviv.

“Otoritas Palestina tidak jelas tentang berapa banyak dari pendapatan pajak yang masuk ke Gaza. Terkadang mereka mengatakan 30 persen, terkadang 40 persen, terkadang 50 persen,” kata Direktur Penelitian di Palestine Economic Policy Research Institute, Rabeh Morrar kepada Aljazeera.

Kini, pajak bulanan Palestina pun diputuskan oleh Israel untuk ditransfer ke rekening perwalian di Norwegia.

Kendati hanya dipindahkan, tetapi dana tersebut tidak bisa dengan mudah diambil oleh Palestina tetapi harus seizin dari Israel.

Namun, kebijakan ini ditentang oleh salah satu menteri Israel yaitu Menteri Keamanan, Itamanr Ben-Gvir yang bersikeras bahwa kebijakan seperti itu “tidak menjamin bahwa uang tersebut tidak akan sampai ke tangan Nazi dari Gaza”.

Buntut dari pemindahan ini, Otoritas Palestina harus berhutang kepada bank-bank lokal, rumah sakit, perusahaan medis, dan sektor swasta lantaran krisis keuangan yang melanda.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Editor: Tiara Shelavie

Tag:  #bagaimana #awal #mula #israel #bisa #urus #pajak #palestina #hingga #kini #berakhir #dikirim #norwegia

KOMENTAR