Sejarah Gagasan ''Solusi Dua Negara'' untuk Israel dan Palestina
Pembagian wilayah Palestina yang direkomendasikan oleh Komisi Peel.(Britannica)
17:30
23 Januari 2024

Sejarah Gagasan ''Solusi Dua Negara'' untuk Israel dan Palestina

SOLUSI dua negara mengacu pada gagasan bahwa penyelesaian paling praktis untuk konflik Palestina-Israel adalah dengan membagi tanah yang secara historis disebut Palestina menjadi dua negara: yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab-Palestina. Dengan demikian akan ada dua negara di wilayah yang terletak antara Sungai Yordan dan Laut Tengah.

Sebagian atau seluruh Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur, yang dicaplok Israel dalam Perang Enam Hari 1967, akan menjadi negara Palestina. Israel, yang telah ada sejak tahun 1948, dapat melihat perbatasannya disesuaikan demi menyesuaikan dengan realitas baru itu.

Pengaturan semacam itu dapat secara efektif mengakhiri konflik berkepanjangan yang telah terjadi antara Israel dan tetangga Arab-nya sejak Israel berdiri dan membawa stabilitas ke wilayah yang telah menderita empat perang besar Arab-Israel, dua pemberontakan Palestina, serangan lintas batas dan ketidakstabilan, serta siklus kekerasan yang berkelanjutan.

Komisi Peel

Usulan solusi dua negara pertama kali muncul tahun 1937 dalam Laporan Komisi Peel. Komisi Peel dikirim Inggris ke Palestina untuk menyelidiki motif meningkatnya ketegangan dan kekerasan antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina. Ketika itu Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris.

Komisi Peel didirikan tahun 1936 dan dipimpin Lord Peel. Komisi itu menghasilkan laporan pada tahun 1937 yang terkenal dengan nama "Laporan Peel".

Saat itu ada migrasi besar-besaran orang-orang Yahudi dari Eropa ke Palestina. Mereka lari dari Eropa karena ada kekerasan anti-Semit. Masuknya orang-orang Yahudi itu ke Palestina, yang tampaknya didukung Inggris, memicu ketakutan orang-orang Arab Palestina akan dominasi Yahudi di Palestina.

Komisi Peel dalam laporan menyatakan, koeksistensi orang Arab-Yahudi dalam satu negara tidak mungkin karena sikap saling bermusuhan yang keras dan laten. Tuntutan dua komunitas itu juga bertentangan. Keduanya ingin membangun negara sendiri-sendiri di lokasi yang tumpang tindih. Laporan tersebut mengusulkan pembentukan negara Yahudi dan Arab-Palestina di wilayah itu.

Berdasarkan usulan tersebut, orang-orang Palestina hanya mendapatkan tanah-tanah tandus, termasuk Gurun Negev, dan area yang saat ini dikenal sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara sebagian besar garis pantai dan beberapa tanah pertanian paling subur di Galilea diberikan kepada orang Yahudi. Kota Yerusalem tidak masuk dalam wilayah yang dibagi, tetapi akan ditangani secara terpisah oleh pihak internasional.

Proposal itu menimbulkan kontroversi. Komunitas Arab-Palestina menolaknya. Sebaliknya, sebagian besar komunitas Yahudi menerima proposal tersebut. Akhirnya, usul itu tidak diimplementasikan. Perselihan antara kedua pihak berlanjut.

Usulan pembagian wilayah kembali diusulkan dalam Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1947. Rencana itu mengusulkan pembagian dalam tiga bagian. Lagi-lagi Yerusalem ditangani secara terpisah, di bawah kontrol internasional.

Dalam usulan itu, negara Yahudi akan mendapat 56 persen Palestina, meskipun orang-orang Yahudi hanya 31 persen dari populasi. Fakta di lapangan mereka hanya memiliki 20 persen tanah yang ditunjuk untuk negara Yahudi.

Rencana itu diterima oleh Badan Yahudi untuk Palestina dan sebagian besar faksi Zionis yang melihat proposal itu sebagai batu loncatan untuk ekspansi wilayah pada waktu yang tepat.

Namun Komite Tinggi Arab, Liga Arab dan pemimpin serta pemerintah Arab lainnya, menolaknya dengan alasan bahwa orang Arab merupakan mayoritas, dua pertiga dari populasi dan harus memiliki sebagian besar tanah. Mereka juga menunjukkan ketidakmauan untuk menerima bentuk pembagian wilayah, dengan berargumen bahwa hal tersebut melanggar prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri berdasarkan Piagam PBB.

Mereka mengumumkan niatnya untuk mengambil semua langkah yang diperlukan guna mencegah pelaksanaan resolusi itu.

Perang saudara kemudian pecah dan rencana tersebut tidak dilaksanakan. Israel menyebutnya sebagai Perang Kemerdekaan. Orang Palestina menyebutnya sebagai Nakba (Bencana).

Pasukan Zionis memukul mundur pasukan tidak teratur Palestina dan kontingen militer yang dikirim enam negara Arab untuk merebut lebih banyak wilayah daripada yang dialokasikan dalam rencana PBB 1947.

Perang itu menentukan hasil di lapangan. Negara Israel kemudian berdiri tahun 1948. Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza kemudian masing-masing berada di bawah kendali Yordania dan Mesir. Dengan demikian, tidak ada negara Palestina terbentuk. Lebih dari setengah rakyat Palestina melarikan diri dari rumah mereka. Hal itu menciptakan krisis pengungsi yang besar.

Kebuntuan panjang berlangsung hingga tahun 1967, saat Israel merebut bagian yang tersisa dari tanah Palestina historis dari Yordania dan Mesir, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah dan Sinai dari Mesir dalam Perang Enam Hari. Perang itu menandai titik balik dalam sejarah solusi dua negara.

Sejak saat itu, konflik berkisar pada pemulihan tanah yang diambil tahun 1967, bukan berusaha membalikkan kondisi sebelum perang 1947-1949.

Titik balik itu menjadi jauh lebih jelas di arena politik selama tahun 1980-an. Para pemimpin Palestina berkumpul di Aljir, Aljazair, pada November 1988 untuk secara resmi mengakui Israel dan secara simbolis memproklamirkan negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Itu pertama kalinya solusi dua negara secara resmi diterima Palestina.

Sejak saat itu pula, upaya untuk menyelesaikan konflik berdasarkan solusi dua negara telah diganggu oleh para ekstremis di kedua belah pihak, serta pertengkaran diplomatik terkait detail perjanjian.

Perjanjian Oslo

Perjanjian Oslo tahun 1993 mewakili upaya lain untuk menyelesaikan konflik berdasarkan prinsip "tanah untuk perdamaian," konsep yang mendasari solusi dua negara. Namun Perjanjian Oslo hanya perjanjian sementara dan tidak secara eksplisit membuat ketentuan untuk negara Palestina.

Namun demikian, secara luas diharapkan pengaturan status akhir yang seharusnya disimpulkan tahun 1998 akan menghasilkan pembentukan negara Palestina. Negosiasi gagal sebelum perjanjian status akhir itu dapat disimpulkan.

Pada Juli 2000, Perdana Menteri Israel saat itu, Ehud Barak, dan Presiden Palestina Yasser Arafat (1929-2004) mencoba untuk mencapai kesepakatan perdamaian dalam pertemuan puncak yang diadakan di tempat peristirahatan presiden AS di Camp David, Maryland. Kesepakatan itu dimediasi Presiden AS ketika itu, Bill Clinton.

Meskipun banyak usulan yang dipertimbangkan, negosiasi pada akhirnya gagal lagi. Sejak itu tidak ada pembicaraan lagi dan solusi dua negara untuk Israel dan Palestina masih sebatas gagasan.

Tag:  #sejarah #gagasan #solusi #negara #untuk #israel #palestina

KOMENTAR