Tak Hanya Sekadar Bisnis, Seni Pottery Bikin Happy dan Jadi Terapi
Bermula dari hobi, Wenda Tri Kirana menekuni seni membuat keramik dari tanah liat (pottery). Di workshop-nya tak melulu soal bisnis. Bisa juga untuk terapi.
WENDA mulai menggeluti pottery saat pandemi Covid-19. Persisnya setelah mendapat tawaran cuti di luar tanggungan dari pekerjaan sebagai chef on board Garuda Indonesia. Pada 2020, maskapai milik negara itu memutuskan melakukan efisiensi. Mengingat, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan lockdown di sejumlah negara membuat banyak rute penerbangan domestik maupun internasional tutup.
Selama masa itu, ibu satu anak tersebut memutuskan untuk belajar pottery ke Bali. Mengunjungi sejumlah perajin keramik tanah liat hampir sebulan. Di sana, Wenda mendapat ilmu dan pengalaman baru. Bahkan, diberi tahu berbagai tempat untuk membeli bahan dan alat pottery yang bagus dengan harga terjangkau.
Masih teringat kala itu, dia betah membuat pottery dari pukul 10.00 sampai 21.00. ”Makanya saya bilang baik banget orang itu ngizinin saya unlimited buat belajar,” kenangnya.
Berbekal pengalaman itu, Wenda membuka workshop Tanah Liat by Ruang Tanam Jakarta di kawasan Graha Raya, Tangerang, pada 2022. Kolaborasi bersama sang suami, M. Dede Septiandri, yang lebih dulu membuka usaha tanaman hias sultan. Misalnya, tanaman variegata berjenis Monstera sp, Syngonium sp, Philodendron sp, dan Anthurium sp.
Kini usahanya mulai berkembang. Sudah memiliki enam karyawan. Meski demikian, Wenda berprinsip harus menguasai dan terampil dalam teknik dasar pottery ketika membuka usaha. Tidak bisa hanya modal uang dan mengandalkan karyawan. ”Kalau kita nggak ngerti prosesnya, ya percuma. (Jika) saya ditinggalin sama mereka (karyawan, Red) dan nggak tahu prosesnya kayak gimana, malah jadi kacau,” ujarnya.
Untuk mengembangkan usahanya, Tanah Liat by Ruang Tanam Jakarta berkolaborasi dengan instansi sekolah, restoran, maupun komunitas. Bagi Wenda, workshop bukan sekadar tempat berbisnis. Tetapi, juga tempat belajar.
Wenda betah duduk berjam-jam membentuk adonan tanah liat di atas mesin putar itu.
Memang, membuat pottery kelihatannya cuma duduk. Tapi, nyatanya butuh konsentrasi dan fokus. Menaik-turunkan adonan tanah liat agar berbentuk sesuai keinginan tangan harus stabil. Kata Wenda, rileks saja, jangan grogi. Nikmati setiap proses ibarat meditasi. ”Seperti me time. Mungkin bisa sambil dengerin musik. Yang paling penting sih mood. Bahkan, ada yang betah sampai tujuh jam,” kata Wenda. Bagi pemula, bisa membuat mug, mangkuk, piring kecil, dan asbak.
Proses pottery dimulai dengan wedging. Yakni, menguleni adonan tanah liat untuk memadatkan dan mengurangi kadar udara di dalamnya. Kemudian, adonan diletakkan di atas mesin putar. Tepat di tengah pelat untuk dilakukan mixing dengan cara menaikkan adonan tanah liat perlahan. Jangan lupa sedikit diberi air agar tidak seret.
Setelah itu, tekan adonan untuk centering. ”Supaya adonan tanah liat nggak ada yang melebar ke sana ke mari. Untuk memudahkan step opening selanjutnya,” jelasnya.
Opening merupakan proses membuat lubang dari posisi tengah ke arah pinggir. Posisi centering yang pas membuat proses opening setiap sisi terbentuk dengan presisi. Untuk kemudian membuat bentuk yang diinginkan. ”Karena kalau sudah goyang sedikit, nggak sama. Ada yang tebal dan tipis di sisi lainnya. Jadi meleyot,” imbuhnya. Tak lupa sesekali diberikan air agar adonan tetap basah. Selama proses pembentukan, bisa menggunakan sejumlah alat ukir selain hand pinch.
Setiap langkah yang membutuhkan kecermatan itu, menurut Wenda, bisa sebagai terapi untuk anak-anak yang autisme. Karena sambil belajar menjadi fokus dan tenang. Anak-anak juga bisa melatih sensoriknya dengan merasakan berbagai macam jenis tanah liat yang digunakan. Yakni, stoneware, earthenware, dan porselen.
Jenis tanah liat stoneware agak kasar lantaran mengandung pasir. ”Anak-anak hanya butuh bermain dan merasakan. Awalnya ada yang merasa jijik, kotor, atau lengket. Terutama anak berkebutuhan khusus biasanya reaktif. Dengan persuasi yang halus, perlahan dikenalkan. Lama-lama mereka nyaman, nggak mau pulang,” bebernya.
Normalnya, kelas berlangsung selama dua sampai tiga jam. Tapi, jika memang peserta belum selesai akan ditunggu. Tidak dikenakan biaya overtime. ”Bahkan misal hasil karya peserta kurang memuaskan, diberikan opsi kami buatkan untuk dibawa pulang,” terang Wenda.
Wenda mengaku, secara omzet bisa dibilang masih impas. Tidak setiap hari ada orang yang ikut kelas atau membeli produknya. ”Saran saya bikin usaha ini jangan coba-coba karena semuanya hobi yang mahal. Modalnya berat di awal,” celetuknya.
Mengingat, membuat produk pottery kerap trial and error. Setiap pembuatannya tidak selalu mulus. Pasti ada saja retaknya. Misalnya, dari 10, ada 2 yang retak. Baik dari pengeringan maupun pembakaran bisque. Kalaupun aman dari dua tahap itu, bisa setelah proses glassing dan dipanggang baru muncul retak. ”Jadi, itu nggak bisa 100 persen berhasil. Makanya setiap buka oven selalu excited,” jelasnya.
Menurut dia, membuat barang kerajinan tanah liat memberikan manfaat bagi kesehatan psikologis. Bisa menjadi terapi untuk mengelola emosi, motorik, dan sensorik. Hasilnya bisa berbeda-beda, bergantung pada mood dan kecakapan tangan.
Kini di tengah usahanya yang tetap berjalan, Wenda berencana kembali menjadi chef on board Garuda Indonesia. Sejalan dengan masa cuti di luar tanggungan yang sudah habis. (han/c6/fal)
Tag: #hanya #sekadar #bisnis #seni #pottery #bikin #happy #jadi #terapi