BRIN Dorong Regulasi Berbasis Sains soal Rokok Elektrik vs Rokok Konvensional
-Perdebatan mengenai mana yang lebih baik, apakah rokok konvensional atau rokok elektrik, terus bergulir tanpa ujung. Sebagian kalangan menyebut produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik dan tembakau yang dipanaskan sebagai inovasi yang dapat mengurangi paparan bahan berisiko.
Namun di sisi lain, banyak pihak menilai klaim tersebut perlu dikaji lebih mendalam secara ilmiah sebelum dijadikan dasar kebijakan publik. Adu argumen tak berujung ini dibela masing-masing pengguna, bahkan industri di belakangnya.
Di tengah silang pendapat itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong penyusunan regulasi yang lebih kontekstual dan berbasis kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif. Pendekatan berbasis sains dan analisis risiko menjadi kunci untuk memastikan perlindungan masyarakat sekaligus menjaga keberlanjutan sektor tembakau nasional.
Peneliti BRIN Prof. Bambang Prasetya menjelaskan, rokok elektronik merupakan bentuk inovasi dari produk tembakau yang berkembang mengikuti tren global. Yakni untuk mengurangi paparan bahan berisiko yang dihasilkan dari proses pembakaran.
“Kalau kita lihat tren dunia, rokok elektronik ini termasuk inovasi karena tujuannya ingin menghindari bahan-bahan yang berpotensi menyebabkan risiko kesehatan,” ujar Bambang dalam konferensi pers di Jakarta.
Menurut Bambang, penelitian yang dilakukan BRIN berjudul Evaluation of Laboratory Tests for E-Cigarettes in Indonesia Based on WHO's Nine Toxicants menunjukkan, rokok elektronik memiliki kadar risiko yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Hasil tersebut dinilai menjadi temuan penting untuk memahami profil toksisitas produk tembakau inovatif di Indonesia.
Namun, dia menekankan bahwa penelitian ini bukan untuk membandingkan mana yang lebih baik. Melainkan untuk membangun dasar pengetahuan ilmiah agar kebijakan yang disusun pemerintah benar-benar objektif.
“Selama ini kita belum memiliki landasan kajian yang cukup untuk menyusun naskah akademik atau kebijakan yang tepat. Karena itu kami hadir untuk mulai membangun fondasi pengetahuan tersebut,” jelas Bambang Prasetya.
Bambang menilai mekanisme pengaturan yang ideal harus mengedepankan asas keadilan dengan mempertimbangkan dua sisi. Yakni keamanan masyarakat dan keberlangsungan kehidupan sosial-ekonomi yang bergantung pada sektor tembakau.
“Negara hadir untuk menjamin keselamatan masyarakat, tapi juga harus adil terhadap mereka yang hidup dari industri ini. Karena itu, kebijakan perlu ditopang kajian ilmiah, disusun dalam naskah akademik, lalu dikomunikasikan ke publik sebelum ditetapkan sebagai regulasi,” lanjut Bambang Prasetya.
Sementara itu, peneliti BRIN lainnya, Biatna Dulbert Tampubolon menekankan pentingnya riset lokal dalam merumuskan kebijakan. Jadi tidak hanya mengadopsi data dari luar negeri yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.
“Makanya sebenarnya kita di sini hadir juga untuk men-support, contohnya kebutuhan pembuatan kebijakan. Karena pembuatan kebijakan itu perlu data, sehingga kita bisa hadir untuk memfasilitasi pembuat kebijakan, untuk memberikan data yang akurat," ungkap Biatna Dulbert Tampubolon.
Sehingga, Biatna menyebut, regulator dalam mengambil keputusan itu berdasarkan pada data yang sudah disiapkan, bukan pada data di tempat lain.
"Karena banyak di antara kita yang suka mengadopsi dari luar, padahal kondisi negara kita berbeda dengan kondisi negara lainnya,” ucap Biatna Dulbert Tampubolon.
Perdebatan antara rokok konvensional dan rokok elektrik tampaknya masih akan terus berlanjut, terutama karena perbedaan persepsi soal risiko dan dampak kesehatan. Namun, BRIN menilai bahwa jalan terbaik untuk keluar dari perdebatan itu adalah dengan mengandalkan bukti ilmiah, riset lokal, dan regulasi yang transparan serta berbasis risiko.
Tag: #brin #dorong #regulasi #berbasis #sains #soal #rokok #elektrik #rokok #konvensional