Emosi Tak Bisa Dibaca dari Wajah: Fakta Mengejutkan tentang Body Language Menurut dr. Jiemi Ardian
Ilustrasi Emosi Tak Bisa Dibaca dari Wajah: Fakta Mengejutkan tentang Body Language Menurut dr. Jiemi Ardian ( freepik )
09:13
11 November 2025

Emosi Tak Bisa Dibaca dari Wajah: Fakta Mengejutkan tentang Body Language Menurut dr. Jiemi Ardian

Banyak orang percaya bahwa ekspresi wajah dan bahasa tubuh bisa mengungkap emosi seseorang. Kita diajarkan bahwa senyum berarti bahagia, alis mengerut berarti marah, dan tatapan menunduk berarti sedih. Namun, apakah benar semudah itu membaca isi hati seseorang hanya dari ekspresi luar?

Dilansir dari laman YouTube Jiemi Ardian, dokter spesialis kedokteran jiwa sekaligus traumaterapis dari WellSpring Indonesia menjelaskan bahwa anggapan tersebut ternyata keliru. Ia membahas temuan dari buku How Emotions Are Made karya Lisa Feldman Barrett, seorang ahli saraf dan psikolog ternama, yang menegaskan bahwa emosi tidak bersifat universal dan tidak bisa ditentukan hanya dari ekspresi wajah.

Teori baru ini mengguncang pandangan lama dalam dunia psikologi. Emosi ternyata bukan reaksi otomatis dari tubuh yang bersifat sama di semua budaya, melainkan hasil konstruksi otak berdasarkan pengalaman, konteks, dan budaya tempat kita tumbuh. Berikut penjelasan lengkapnya.

1. Emosi Bukan Universal, Tapi Konstruksi Budaya

Dulu banyak yang percaya bahwa setiap orang di dunia merasakan emosi yang sama dan mengekspresikannya dengan cara serupa. Misalnya, bahagia berarti tersenyum, marah berarti mengerutkan dahi. Namun, penelitian modern menunjukkan bahwa hal itu tidak benar.

Di beberapa budaya, seperti di Afrika Selatan, emosi bukan dilihat sebagai “perasaan” melainkan sebagai tindakan sosial. Bahkan ada emosi yang hanya dikenal di budaya tertentu, misalnya “schadenfreude”, rasa senang saat orang lain mengalami kesialan, yang tidak dikenal di semua bahasa. Artinya, emosi terbentuk oleh budaya dan konteks sosial, bukan sekadar reaksi tubuh.

2. Ekspresi Wajah Tidak Selalu Mewakili Perasaan

Kita sering menganggap bahwa wajah bisa menjadi cermin hati. Padahal, ekspresi fisik tidak selalu menggambarkan emosi yang sebenarnya.

Sebagai contoh, pada masa Mesir dan Yunani kuno, orang bahagia tidak mengekspresikannya dengan senyum seperti yang kita kenal sekarang. Istilah “senyum” bahkan baru dikenal ratusan tahun kemudian, setelah praktik kedokteran gigi membuat orang terbiasa memperlihatkan giginya. Jadi, senyum lebar sebagai simbol bahagia adalah konstruksi budaya modern, bukan ekspresi universal.

3. Variasi Ekspresi adalah Hal yang Normal

Satu orang bisa mengekspresikan emosi dengan banyak cara. Ada yang marah sambil diam, ada pula yang marah sambil tertawa.

dr. Jiemi menjelaskan bahwa tidak ada ekspresi wajah yang secara pasti menunjukkan satu emosi tertentu. Tidak ada “micro expression” yang bisa dijadikan patokan pasti untuk membaca perasaan seseorang. Bahkan, seseorang bisa merasakan emosi tanpa menunjukkan ekspresi fisik apa pun. Dengan kata lain, variasi dalam ekspresi adalah hal yang wajar dan merupakan bagian dari keunikan setiap individu.

4. Penelitian Lama Banyak yang Bias

Selama bertahun-tahun, banyak penelitian mengklaim bahwa emosi itu universal. Namun, hasil itu ternyata dipengaruhi oleh cara eksperimen dilakukan.

Dalam penelitian klasik, peserta biasanya diberi gambar wajah dengan pilihan emosi terbatas seperti “sedih”, “senang”, atau “marah”. Karena pilihannya sudah tersedia, peserta jadi cenderung memilih yang dianggap paling cocok, sebuah bias penelitian yang tidak alami.

Ketika metode diubah, misalnya dengan membiarkan peserta menafsirkan ekspresi tanpa petunjuk, hasilnya menjadi jauh lebih beragam. Ini membuktikan bahwa emosi tidak sesederhana daftar tetap seperti yang dulu diyakini.

5. Membaca Emosi Butuh Konteks, Bukan Tebakan

dr. Jiemi menegaskan, membaca emosi seseorang tidak bisa hanya dengan melihat wajah atau bahasa tubuh. Kita perlu memahami konteks di baliknya, apa yang sedang terjadi, apa yang dirasakan, dan bagaimana pengalaman orang tersebut sebelumnya.

Misalnya, seseorang yang menyilangkan tangan tidak selalu berarti sedang defensif. Bisa jadi ia sedang kedinginan, merasa nyaman, atau hanya kebiasaan. Begitu juga dengan ekspresi wajah: seseorang yang menunduk belum tentu sedih, bisa jadi hanya sedang berpikir. Oleh karena itu, emosi tidak bisa ditebak, tetapi perlu dipahami lewat dialog dan empati.

6. Body Language Bukan “Kunci Membaca Manusia”

Budaya Barat memang sering menganggap bahasa tubuh sebagai alat membaca emosi. Namun, hal itu tidak selalu cocok di budaya lain.

Di Asia, misalnya, gerakan kepala seperti menggeleng bisa berarti setuju di beberapa daerah, padahal di tempat lain artinya menolak. Setiap budaya memiliki “bahasa tubuh” sendiri yang tidak bisa digeneralisasi. Maka dari itu, membaca emosi dari body language berisiko besar menyebabkan salah paham bahkan fitnah terhadap orang lain.

Kesimpulannya, emosi bukan sesuatu yang universal dan tidak bisa dibaca hanya dari wajah atau tubuh seseorang. Setiap orang memiliki cara unik dalam merasakan dan mengekspresikan emosi, tergantung pada latar budaya, pengalaman hidup, dan konteks situasi yang dihadapi.

Seperti disampaikan dr. Jiemi Ardian dalam videonya, daripada menebak-nebak perasaan orang lain, lebih baik kita berusaha memahami konteks, mendengarkan cerita, dan memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri. Karena memahami emosi bukan tentang “membaca wajah”, melainkan tentang menghadirkan empati dan koneksi yang tulus.

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #emosi #bisa #dibaca #dari #wajah #fakta #mengejutkan #tentang #body #language #menurut #jiemi #ardian

KOMENTAR