Walau Ada AI, Dokter Tetap Jadi Pilar Utama Penanganan Pasien
Ilustrasi dokter, SNBT 2025(Dok. Shutterstock/Thomas Andreas)
07:06
7 Oktober 2025

Walau Ada AI, Dokter Tetap Jadi Pilar Utama Penanganan Pasien

Meski kecerdasan buatan (AI) memiliki banyak potensi di dibidang medis, tetapi tenaga kesehatan terutama dokter, akan tetap jadi pilar utama penanganan pasien. 

Keunggulan AI, terutama deep learning, adalah dalam hal pengolahan data dan menganalisis gambar medis seperti MRI, CT-Scan, dan X-Ray. AI dapat mendeteksi pola yang sangat halus dan samar, yang mungkin terlewat oleh mata manusia. AI juga dapat melakukannya dalam hitungan detik.

Kendati demikian, kecil kemungkinan AI untuk menggantikan sepenuhnya tenaga dokter. Menurut dokter onkologi,  Dr. dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM, kita tidak bisa memakai hasil AI mentah-mentah tanpa bantuan dokter.

"Tetap akan ada peran seorang dokter yang mumpuni, punya kewenangan dan kemampuan melakukan diagnostik secara tajam dan komperhensif. Harus ada pertanggung jawaban dari seorang dokter, tidak bisa memakai AI mentah-mentah," kata dr.Hilman dalam sebuah acara pertemuan ilmiah ROICAM 12 di Jakarta beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, pengalaman bertahun-tahun sering memberi dokter "firasat" klinis yang sulit dijelaskan secara data. Intuisi ini, yang merupakan pola kompleks dari pengalaman masa lalu, masih menjadi keunggulan manusia.

"AI memang sangat membantu mempertajam diagnosis, tapi diperlukan dokter yang mumpuni dengan jam terbang tinggi yang punya jiwa dedikasi yang baik untuk pasien," paparnya.

Ia menambahkan, perkembangan AI bisa menjadi jembatan untuk membantu pekerjaan tenaga kesehatan, tetapi interaksi dokter dan pasien tetap yang utama. 

AI belum siap mengambil alih keputusan

Dalam situasi sulit dan darurat, seringkali diperlukan pertimbangan nilai, budaya, dan juga kepercayaan dari pasien dan keluarganya, yang tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada algoritma.

Temuan dari studi terbaru juga menunjukkan bahwa AI lebih buruk daripada dokter dan perawat dalam mengambil keputusan untuk pasien di ruang gawat darurat.

"Mengingat pesatnya perkembangan perangkat AI seperti ChatGPT, kami ingin mengeksplorasi apakah AI dapat mendukung pengambilan keputusan triase, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi beban staf dalam situasi darurat," ujar Dr. Renata Jukneviciene, salah satu penulis studi dan peneliti di Universitas Vilnius di Lithuania, dalam sebuah pernyataan.

Dalam penelitian ini, tim Jukneviciene meminta enam dokter gawat darurat dan 44 perawat untuk meninjau kasus pasien yang dipilih secara acak dari basis data medis daring dan melakukan triase, atau mengklasifikasikannya berdasarkan urgensi pada skala 1-5.

Para peneliti kemudian meminta ChatGPT untuk menganalisis kasus yang sama. Tingkat akurasi ChatGPT secara keseluruhan adalah 50,4 persen, dibandingkan dengan 65,5 persen untuk perawat dan 70,6 persen untuk dokter. 

Terdapat kesenjangan yang lebih besar dalam sensitivitas, atau kemampuan untuk mengidentifikasi kasus yang benar-benar mendesak, dengan ChatGPT mencapai 58,3 persen dibandingkan dengan 73,8 persen untuk perawat dan 83 persen untuk dokter, menurut studi tersebut.

Namun, model AI memang mengungguli perawat dalam hal mengidentifikasi kasus yang paling mendesak atau mengancam jiwa, dengan akurasi dan spesifisitas yang lebih baik.

"Rumah sakit harus mendekati implementasi AI dengan hati-hati dan berfokus pada pelatihan staf untuk menafsirkan saran AI secara kritis," ujarnya.

Studi yang dilakukan di Lituania ini dipresentasikan di Kongres Kedokteran Darurat Eropa beberapa waktu lalu. Para ilmuwan juga telah memperingatkan bahwa ketergantungan yang berlebihan pada perangkat AI dapat menyebabkan penurunan keterampilan tenaga kesehatan seiring waktu.

 

Tag:  #walau #dokter #tetap #jadi #pilar #utama #penanganan #pasien

KOMENTAR