Mirae Asset Proyeksi IHSG di 8.000 Tahun Depan
–Pasar modal Indonesia masih dipengaruhi dinamika pasar oleh sentimen global dan domestik yang kuat. PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi indeks harga saham gabungan (IHSG) berada di level 8.000 di 2025. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5 persen.
Head of Research and Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto mengatakan, volatilitas pasar saham dalam negeri cukup besar dengan rekor tertinggi IHSG 7.905 tahun ini. Posisi itu mendekati prediksi Mirae Asset 7.915 untuk 2024 sebelum terkoreksi kembali di 7.382,785 pada penutupan perdagangan, Jumat (6/12).
”Prediksi positif pasar modal domestik tersebut terutama didukung kuatnya dua faktor makroekonomi dalam negeri yaitu inflasi yang stabil dan daya beli yang terjaga,” ujar Rully dalam Investor Network Summit 2024 di hotel kawasan Senayan.
Untuk inflasi, lanjut dia, Indonesia terus menunjukkan penurunan. Didukung stabilitas harga bahan makanan. Rully memperkirakan harga bahan makanan akan tetap stabil di tahun depan. Dengan catatan selama tidak ada gangguan cuaca ekstrem yang dapat memengaruhi produksi pangan.
Dengan stabilnya harga bahan makanan, dampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen diperkirakan tidak signifikan. Terutama karena bahan pokok yang dikecualikan dari kenaikan PPN. Inflasi sektor pangan yang terkendali tersebut dapat memengaruhi faktor daya beli masyarakat.
Inflasi diprediksi terkendali di 2,8 persen tahun depan. Sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5 persen. Dengan posisi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) sebesar 5,5 persen pada akhir tahun.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor makro ekonomi itu, pasar modal tetap memiliki prospek yang positif. Kondisi global yang penuh tantangan diharapkan dapat dihadapi dengan kebijakan yang tepat dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan.
Terkait BI rate, Rully menilai ruang penurunannya akan lebih terbatas. Sejalan dengan kondisi makro ekonomi global, terutama tantangan dari kebijakan ekonomi pemerintah AS yang baru. Lebih berorientasi ke dalam (inward-looking) yang berpotensi memicu perang dagang dengan mitra dagang utama. Sehingga dapat mengganggu aktivitas perdagangan global.
”Selain itu, kebijakan tersebut juga diperkirakan memicu inflasi di AS dan mempersempit ruang penurunan suku bunga acuan The Federal Reserve yang pada akhirnya memperkuat nilai tukar dolar AS (USD) di pasar global, yang berdampak pada perekonomian negara berkembang termasuk Indonesia,” papar Rully Arya Wisnubroto.