Cashless Tanpa Nurani: QRIS, Rupiah, dan Warga Terpinggirkan
DI ZAMAN di mana teknologi mendominasi hampir semua aspek kehidupan, konsep transaksi cashless seolah menjadi solusi praktis yang diidamkan. Namun, di balik kemudahan itu, kita menyaksikan kenyataan pahit: cashless tanpa hati nurani.
Insiden di salah satu gerai roti baru-baru ini, ketika seorang nenek ditolak membeli roti hanya karena membawa uang tunai, menggambarkan betapa acuhnya sistem modern terhadap warga tua yang rentan.
Penolakan ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi cerminan dari kepentingan yang semakin mengabaikan kemanusiaan.
Rupiah, sebagai alat pembayaran yang sah dan simbol kedaulatan, seharusnya menghargai semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang melek teknologi.
Ketika merchant memilih untuk menutup akses pembayaran bagi mereka yang tidak memiliki smartphone atau pemahaman digital yang memadai, kita perlu bertanya ada apa ini, apakah efisiensi lebih penting daripada inklusivitas?
Banyak orang, termasuk pekerja harian lepas, pemulung dan lansia, tetap bergantung pada uang tunai untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dengan menolak pembayaran tunai, kita berisiko menciptakan jurang yang lebih dalam antara yang mampu dan yang tidak.
Kesalahan fatal
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, video singkat mengguncang media sosial dan menyentuh hati banyak orang. Seorang nenek terlihat kebingungan dan sedih karena tidak bisa membeli di toko roti. Alasannya sederhana sekaligus menyakitkan: ia hanya membawa uang tunai.
Video tersebut cepat menyebar di Instagram dan X. Dalam rekaman itu, seorang pria yang memprotes berkata lantang.
“Uang cash (tunai) itu harus kalian terima, masa harus QRIS. Nenek-nenek itu kan nggak ada QRIS-nya, gimana? Udah kalian telepon dulu bos kalian!"
Sang pegawai mengatakan kalau mereka hanya menerima pembayaran non-tunai saja. Pernyataan ini menimbulkan rasa miris dan marah. Di negeri yang menjunjung Rupiah sebagai alat pembayaran sah, uang negara justru diperlakukan seolah tak bernilai.
Melihat kondisi sang nenek, seorang pria yang kebetulan melintas tak bisa diam. Ia menyuarakan protes dan menuntut pertanggungjawaban.
Aksi itu terekam kamera dan memicu gelombang kemarahan publik. Media sosial pun dipenuhi perdebatan soal transaksi nontunai dan hak dasar warga.
Tak lama setelah viral, pihak manajemen toko tersebut menyatakan akan melakukan evaluasi internal.
Peristiwa ini bukan sekadar insiden kecil. Ia menjadi cermin ketimpangan di era digital, ketika teknologi maju tetapi tak semua orang bisa mengikutinya. Banyak suara di ruang publik mengingatkan pentingnya keadilan dan inklusivitas.
Kejadian ini mengajarkan satu hal penting: kemajuan tidak boleh meninggalkan yang lemah. Digitalisasi seharusnya memudahkan, bukan menyingkirkan.
Saat mengejar efisiensi, kita tidak boleh mengorbankan nilai kemanusiaan dan hak warga negara. Rupiah adalah simbol kedaulatan, dan setiap orang berhak menggunakannya tanpa merasa dipermalukan atau disisihkan.
Rupiah bukan sekadar alat tukar, melainkan simbol kedaulatan negara. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menegaskan bahwa Rupiah adalah alat pembayaran sah yang wajib diterima di seluruh wilayah Indonesia.
Pasal 21 ayat (1) mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi pembayaran dan penyelesaian kewajiban.
Sementara itu, Pasal 33 ayat (1) secara tegas melarang penolakan Rupiah, kecuali jika ada keraguan atas keaslian uang tersebut. Pelanggaran terhadap aturan ini tidak ringan: pelaku bisa dipidana hingga satu tahun penjara atau didenda sampai Rp 200 juta.
Insiden penolakan ini sebenarnya dapat dibawa ke ranah hukum karena terdapat potensi pelanggaran pidana.
UU No. 7 Tahun 2011 mengharuskan bahwa semua transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menggunakan mata uang Rupiah dan melarang penolakan terhadap pembayaran tunai.
Penolakan terhadap penggunaan Rupiah dapat mengakibatkan pidana kurungan hingga satu tahun atau denda maksimal sebesar Rp 200 juta.
Bank Indonesia menegaskan bahwa pembayaran tunai tidak boleh ditolak meskipun ada dorongan untuk menggunakan metode digital.
Pengaduan dapat dilakukan ke Layanan Konsumen Bank Indonesia atau YKI untuk proses mediasi atau teguran sebelum langkah hukum diambil.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter berulang kali mengingatkan kewajiban ini. Menyusul insiden di gerai roti, BI menegaskan bahwa pedagang wajib menerima pembayaran tunai, meskipun mereka boleh mendorong penggunaan QRIS.
Inti pesannya jelas: digitalisasi adalah sarana kemudahan, bukan pengganti Rupiah.
Bank Indonesia juga mengakui kebijakan cashless penuh di gerai tersebut bertujuan efisiensi, tapi berdampak pada konsumen rentan.
Ketimpangan akses keuangan
Insiden di gerai roti tersebut seharusnya membuka mata kita bahwa persoalan cashless bukan semata urusan teknologi, tetapi juga soal keadilan sosial.
Indonesia dengan lebih dari 270 juta penduduk masih menghadapi ketimpangan nyata dalam akses keuangan, terutama bagi kelompok rentan.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 memang menunjukkan kemajuan. Indeks inklusi keuangan naik menjadi 80,51 persen dari 75,02 persen pada tahun sebelumnya.
Perkembangan ini didorong oleh pesatnya penggunaan QRIS yang kini dipakai jutaan pedagang, termasuk UMKM. Tidak bisa dimungkiri, QRIS mempermudah transaksi dan mempercepat perputaran ekonomi.
Namun, kemajuan ini menyisakan masalah. Kebijakan pembayaran non-tunai 100 persen terbukti tidak ramah bagi semua orang.
Kasus di toko roti memperlihatkan bagaimana sistem cashless bisa bersifat eksklusif, terutama bagi lansia. Data BPS 2025 mencatat hanya sekitar 34,14 persen lansia yang pernah mengakses internet. Artinya, mayoritas lansia masih gagap digital.
Ketimpangan makin terasa jika melihat kelompok rentan di pedesaan. Sekitar 15–20 persen penduduk Indonesia, termasuk rumah tangga lansia, belum memiliki akses internet yang stabil.
Dalam kondisi seperti ini, memaksa layanan keuangan sepenuhnya digital justru berisiko menyingkirkan mereka dari aktivitas ekonomi sehari-hari.
Saya tidak menolak penggunaan QRIS. Teknologi ini jelas membantu. Namun, kita juga harus jujur bahwa tidak semua warga berada pada titik yang sama.
Indeks literasi keuangan 2025 baru mencapai 66,46 persen. Artinya, hampir sepertiga penduduk masih minim pemahaman tentang layanan keuangan, apalagi yang berbasis digital.
Bagi lansia seperti nenek dalam video itu, penolakan uang tunai bukan sekadar soal kenyamanan. Itu bisa terasa seperti penghinaan.
Bayangkan seorang janda pensiunan yang hidup dari uang pensiun tunai, tetapi ditolak saat membeli makanan karena kebijakan toko. Situasi semacam ini memperparah rasa terasing dan ketidakberdayaan.
Studi World Bank menunjukkan bahwa di negara berkembang, lansia yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal berisiko lebih tinggi jatuh dalam kemiskinan kronis.
Digitalisasi memang efisien, tetapi tanpa pendekatan inklusif, ia menciptakan jurang pemisah baru—digital divide.
Bahkan di Jakarta, kota metropolitan, hanya 34,14 persen lansia yang pernah mengakses internet. Di pedesaan, angkanya lebih rendah.
Di Papua Pegunungan, misalnya, hanya sekitar 21persen lansia yang menggunakan ponsel. Dalam konteks ini, kebijakan cashless 100 persen jelas bermasalah karena mengabaikan realitas sosial.
Lebih jauh lagi, penolakan uang tunai menyentuh soal kedaulatan. Rupiah bukan sekadar alat bayar, tetapi simbol kemerdekaan ekonomi.
Sejak 1946, Rupiah menjadi penanda kedaulatan bangsa. Menolaknya berarti meremehkan simbol itu sendiri.
Negara lain yang mendorong cashless, seperti Swedia, melakukannya secara bertahap dan tetap melindungi kelompok rentan.
Bank di sana tetap wajib menyediakan layanan tunai bagi lansia. Indonesia bisa belajar dari pendekatan ini: maju secara digital tanpa meninggalkan siapa pun.
Dari sisi bisnis, kebijakan cashless memang terlihat efisien, tetapi risikonya besar. Citra buruk dan potensi boikot bisa merugikan usaha.
Dengan inklusi keuangan yang baru 80 persen, masih ada 20 persen pasar yang tidak boleh diabaikan. Pendekatan paling masuk akal adalah sistem hybrid: menerima tunai dan digital.
Bank Indonesia sendiri mendorong QRIS dengan prinsip inklusivitas. Artinya, digitalisasi harus memperluas akses, bukan menutupnya.
Pemerintah juga perlu hadir lebih tegas. Pengawasan terhadap penolakan uang tunai harus diperkuat, disertai sanksi yang jelas.
Di sisi lain, edukasi literasi digital perlu terus digencarkan tanpa paksaan. Untuk sementara, solusi praktis bisa dilakukan, misalnya karyawan membantu transaksi QRIS bagi pembeli lansia yang membawa uang tunai.
Pada akhirnya, insiden di toko roti adalah peringatan. Digitalisasi memang tak terelakkan, tetapi ia tidak boleh berjalan tanpa arah dan nurani.
Masa depan tidak boleh dirancang hanya untuk mereka yang akrab dengan aplikasi perbankan, sementara yang lain dipaksa menyingkir dengan tangan kosong.
Rupiah tetap uang sah, dan penghormatan terhadapnya bukan sekadar formalitas hukum, melainkan ukuran keberpihakan negara dan pelaku usaha terhadap warganya sendiri.
Ketika alat pembayaran resmi bisa ditolak demi efisiensi, di situlah keadilan ekonomi mulai retak.
Kritik ini bukan penolakan terhadap kemajuan, melainkan tuntutan agar kebijakan digitalisasi dijalankan dengan tanggung jawab sosial.
Negara, regulator, dan pelaku usaha tidak cukup hanya mendorong transaksi nontunai, tetapi juga wajib memastikan tidak ada warga yang terpinggirkan dalam prosesnya.
Sebab masa depan tanpa uang tunai, jika dibangun tanpa inklusivitas dan empati, bukanlah kemajuan. Ia hanya memindahkan ketimpangan ke layar ponsel dan meninggalkan kemanusiaan di belakang.
Tag: #cashless #tanpa #nurani #qris #rupiah #warga #terpinggirkan