Kenapa Pinjol Lebih Dipilih Masyarakat ketimbang Paylater?
Di tengah pesatnya digitalisasi layanan keuangan di Indonesia, dua produk kredit digital, yakni pinjaman daring (pindar) alias pinjaman online (pinjol) dan buy now pay later (BNPL) atau paylater, telah menjadi bagian dari kehidupan finansial banyak lapisan masyarakat.
Namun, ketika paylater makin populer di berbagai platform e-commerce dan aplikasi pembayaran, data terbaru menunjukkan bahwa pinjol tetap memiliki porsi utang masyarakat yang lebih besar secara signifikan.
Pertanyaan yang mencuat, mengapa masyarakat Indonesia masih lebih memilih pinjol dibanding paylater?
Ilustrasi pinjaman online, pinjol, pinjaman daring.
Dominasi pinjol dalam utang masyarakat
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan gambaran jelas tentang porsi kedua jenis kredit digital tersebut hingga Oktober 2025.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, mengatakan bahwa nilai outstanding pinjol mencapai Rp 92,92 triliun pada Oktober lalu 2025.
Angka tersebut meningkat 23,86 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan peningkatan pada bulan sebelumnya yang sebesar 22,16 persen secara tahunan.
Selain itu, OJK mencatat, pembiayaan layanan paylater tumbuh mencapai 69,71 persen secara tahunan menjadi Rp 10,85 triliun.
Namun demikian, angka pertumbuhan outstanding BNPL pada periode ini melambat dari bulan sebelumnya yang sebesar 88,65 persen.
Dengan rasio utang pinjol jauh lebih tinggi ketimbang paylater, jelas bahwa mayoritas volume kredit digital masyarakat masih ditopang oleh pinjaman tunai daripada pembiayaan konsumsi berbasis belanja.
Ilustrasi fasilitas pay later, buy now pay later (BNPL).
Kenapa pinjol lebih dipilih ketimbang paylater?
Ada beberapa alasan mengapa pinjol lebih banyak dipilih masyarakat dibandingkan dengan paylater.
1. Kebutuhan tunai vs kredit konsumsi
Faktor utama perbedaan preferensi adalah jenis kebutuhan yang dipenuhi kedua produk ini.
Pinjol adalah produk pinjaman tunai yang bisa dicairkan langsung ke rekening pengguna tanpa harus terikat dengan transaksi tertentu.
Sebagai konsekuensinya, pinjol bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari biaya perbaikan rumah, uang sekolah anak, hingga modal usaha mikro, atau bahkan menutup utang lain.
Sebaliknya, paylater pada umumnya terikat langsung dengan suatu transaksi, misalnya pembelian barang di marketplace atau layanan tertentu.
Meski menawarkan kemudahan cicilan tanpa kartu kredit, sifatnya yang transaksi terikat membuatnya kurang fleksibel untuk kebutuhan tunai di luar konteks belanja.
Oleh karena itu banyak konsumen yang butuh uang cepat tidak melihat paylater sebagai solusi utama. Mereka memandang pinjol sebagai cara mendapatkan uang tunai secara langsung sesuai kebutuhan mereka.
2. Akses dan ketersediaan produk di ekosistem digital
Kemudahan akses menjadi magnet besar bagi pengguna layanan keuangan digital.
Pinjol bisa diunduh langsung sebagai aplikasi di smartphone, sering kali hanya memerlukan KTP dan verifikasi cepat. Beberapa layanan bahkan memproses pencairan dalam hitungan menit.
Ilustrasi pinjaman online, Berkaca dari Kasus Sarwendah, Apa yang Harus Dilakukan jika Debt Collector Datang ke Rumah tapi Tak Berutang?
Akses semacam ini menjadi krusial ketika masyarakat menghadapi keadaan darurat yang memerlukan dana cepat.
Di sisi lain, paylater sering kali hadir sebagai opsi pembayaran dalam checkout belanja online atau aplikasi tertentu.
Meskipun integrasi paylater kini semakin luas, tetap saja aksesnya terikat pada merchant atau platform tertentu, bukan berdiri sendiri sebagai solusi keuangan yang bisa digunakan kapan saja untuk berbagai kebutuhan.
3. Alasan penggunaan pinjol: beragam kebutuhan finansial
Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan mengapa masyarakat menggunakan layanan pinjaman online.
Sebanyak 23,02 persen menggunakan pinjaman online untuk pembelian barang secara cicilan tanpa kartu kredit.
Selain itu, 21,77 persen untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti biaya medis atau utang lain. Kemudian, 17,73 persen untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Lalu, 12,13 persen terlena diskon atau promosi pinjol. Sisanya digunakan untuk membayar tagihan, modal usaha, dan lain sebagainya.
Data ini menunjukkan bahwa alasan masyarakat memakai pinjol sangat beragam, tidak semata untuk konsumsi barang, tapi juga untuk kebutuhan hidup dan ekonomi nyata mereka.
4. Struktur biaya dan persepsi harga
Meski sering dikritik karena bunga dan biaya keterlambatan yang tinggi, pinjol tetap diminati karena persepsi keleluasaan dalam penggunaan dana.
Pengguna merasa bahwa mereka mendapatkan uang tunai yang bisa dipakai untuk hal apa pun, meskipun dengan biaya yang relatif mahal.
Ilustrasi layanan buy now pay later (BNPL) atau paylater.
Sedangkan paylater, meski sering menawarkan cicilan tanpa bunga atau promo, biaya keterlambatan dan syarat limit yang rendah terkadang membuat pengguna enggan menggunakannya untuk kebutuhan finansial yang tidak berhubungan dengan transaksi belanja.
Ini mencerminkan logika sederhana, masyarakat cenderung bersedia membayar “harga lebih tinggi” untuk fasilitas akses dana tunai yang fleksibel.
5. Regulasi dan pengaruhnya pada produk
Pada 2025, OJK makin memperkuat regulasi layanan paylater, termasuk aturan batas usia, pendapatan minimum, dan kewajiban penyedia layanan memberikan informasi yang lebih transparan kepada konsumen.
Regulasi ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari jebakan utang. Namun sisi lain, pengetatan ini juga membuat beberapa pengguna yang tidak memenuhi syarat paylater beralih ke pinjol.
Pinjol, meskipun diawasi juga oleh OJK, tetap memiliki jumlah penyedia yang besar. Meski OJK terus membatasi pinjol ilegal, keberadaan banyak pemain (baik berizin maupun tidak) membuat produk ini tetap mudah diakses.
Regulasi yang lebih ketat pada paylater justru terkadang membuat pengguna memilih pinjol sebagai alternatif yang “lebih mudah”.
6. Perilaku konsumen dan preferensi demografis
Generasi muda, khususnya kelompok usia 18 sampai 35 tahun, menjadi pengguna utama kredit digital baik pinjol maupun paylater.
Mereka paham teknologi, aktif di e-commerce, dan sering menghadapi kebutuhan finansial yang mendesak atau mendadak.
Rasio adopsi buy now pay later di Indonesia telah mencapai sekitar 9 persen pengguna dan diperkirakan terus tumbuh karena integrasi yang kuat dengan platform besar dan peningkatan penetrasi digital.
Namun demikian, preferensi mereka tetap pada produk yang memberikan solusi langsung terhadap kebutuhan tunai. Itulah mengapa pinjol sering dipilih saat situasi mendesak.
Ilustrasi pinjaman online atau pinjol, pinjaman daring.
7. Literasi keuangan dan risiko penggunaan
Salah satu akar permasalahan dalam ekosistem kredit digital Indonesia adalah literasi keuangan yang masih rendah.
Banyak pengguna belum sepenuhnya memahami risiko cicilan, bunga, dan konsekuensi keterlambatan pembayaran, baik dalam pinjol maupun paylater.
Tingkat kerumitan pemahaman kontrak kredit digital ini mendorong perilaku impulsif, terutama pada produk yang menawarkan kemudahan instan.
Kondisi ini berkontribusi pada tingginya tingkat utang dan dapat memicu masalah finansial jangka panjang bagi kelompok yang rentan.
Masih banyak pengguna yang belum mampu memetakan secara jelas mana yang benar-benar sesuai kebutuhan mereka.
Ini adalah tantangan besar bagi kebijakan perlindungan konsumen dan edukasi keuangan nasional.
8. Dampak ekonomi makro dan bisnis fintech
Pertumbuhan pinjol dan paylater menunjukkan bagaimana fintech memengaruhi struktur kredit di Indonesia.
Data OJK menunjukkan, volume utang pinjol jauh lebih besar daripada paylater meskipun pertumbuhan paylater secara persentase lebih cepat.
Ini mencerminkan bahwa paylater masih menggenapi kebutuhan kredit digital melalui konsumsi, sementara pinjol menjadi tulang punggung pembiayaan tunai digital.
Selain itu, ekspansi paylater terus dibantu oleh kemitraan strategis dengan marketplace besar seperti Tokopedia, Shopee, serta supermarket dan layanan transportasi karena penyedia BNPL berupaya memperluas pangsa pasar.
Ilustrasi aplikasi buy now pay later (BNPL) atau paylater.
Namun demikian, dominasi pinjol dalam hal volume tetap bertahan pada akhir 2025.
Bukan “bagus vs tidak”, tetapi cocok dengan kebutuhan
Preferensi masyarakat terhadap pinjol ketimbang paylater tidak semata karena satu faktor tunggal.
Ini adalah hasil interaksi antara kebutuhan finansial riil, aksesibilitas produk, struktur biaya, perilaku konsumen, dan kondisi regulasi.
Pinjol dipilih karena fleksibel dan menyediakan dana tunai langsung untuk berbagai kebutuhan.
Paylater semakin menarik untuk konsumsi digital dan cicilan belanja, tetapi lebih sempit dalam aplikasinya.
Regulasi yang makin ketat untuk melindungi konsumen juga memengaruhi dinamika preferensi.
Rendahnya literasi keuangan dan perilaku impulsif akan terus menjadi isu yang perlu diatasi bersama.
Dengan demikian, baik pinjol maupun paylater memiliki peran masing-masing dalam lanskap keuangan digital Indonesia.
Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan kedua produk tersebut memberikan manfaat optimal tanpa membawa risiko finansial jangka panjang bagi masyarakat.
Tag: #kenapa #pinjol #lebih #dipilih #masyarakat #ketimbang #paylater