Pelat Merah Selalu Salah? Menakar Ulang Konstruksi BUMN di Tengah Konflik Kepentingan
Petugas mengoperasikan eskavator untuk membersihkan jalan akses antardesa dari batang-batang kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Minggu (7/12/2025). Bareskrim ungkap illegal logging di hulu Sungai Tamiang rusak hutan lindung yang diduga sebabkan banjir. Ketahui apa hutan lindung dan fungsinya.(ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/app/nz)
14:52
11 Desember 2025

Pelat Merah Selalu Salah? Menakar Ulang Konstruksi BUMN di Tengah Konflik Kepentingan

GALODO kembali melanda pada akhir November 2025. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat porak-poranda.

Sumatera menangis. Indonesia berduka. Respons tanggap darurat, penyelamatan, dan aksi kemanusiaan menggema dari berbagai penjuru negeri.

Di tengah suasana tersebut, polemik muncul dari banyak kalangan. Mulai dari presiden sebagai pemegang kebijakan tertinggi, para menteri, gubernur, akademisi, pegiat lingkungan, pengamat, hingga masyarakat umum yang berdiskusi dalam ruang-ruang publik.

Pernyataan yang muncul sangat beragam. Ada yang serius dan sistematis, ada yang mengaitkan fenomena ini dengan disiplin ilmu tertentu, ada yang mengkritik kebijakan, ada yang mengemukakan perspektif kesejahteraan, dan ada pula yang sekadar ikut meramaikan percakapan.

Dari berbagai pandangan itu, saya tertarik pada pernyataan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengenai penyebab bencana.

Beliau menyampaikan penghentian sementara operasional tiga perusahaan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Tapanuli Selatan. Di antara yang disebut, terdapat nama PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III), BUMN sektor perkebunan.

Secara implisit, langkah tersebut memberi sinyal adanya kemungkinan kontribusi aktivitas perusahaan terhadap bencana. Pertanyaannya, mengapa PTPN III termasuk dalam daftar tersebut?

PTPN adalah perusahaan yang telah beroperasi sejak masa kolonial dan dinasionalisasi pada 1958, dengan pola ekspansi areal yang relatif stabil.

Pertanyaannya kemudian, apakah PTPN III terlibat dalam aktivitas yang menyebabkan material kayu dalam jumlah besar terbawa arus banjir?

Material yang terbawa air bah sebagian besar merupakan kayu hutan. Apakah batang kelapa sawit dari perkebunan PTPN III turut terlihat? Mungkin saja, tapi belum tampak indikasi kuat di permukaan.

Pada titik ini, muncul pertanyaan: apakah penetapan sementara perusahaan-perusahaan itu lebih sebagai langkah kehati-hatian, atau ada kecenderungan mencari pihak yang lebih mudah disorot publik? Jawabannya tentu memerlukan kajian lebih dalam.

Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang berada dalam struktur pemerintahan cenderung menjadi pihak yang paling mudah dimintai pertanggungjawaban. Termasuk entitas seperti PTPN, yang kerap menghadapi berbagai tuduhan, terutama dalam sengketa lahan.

Dalam forum Silaknas ICMI beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyinggung dinamika pada era Reformasi, ketika pembukaan hutan oleh sebagian masyarakat terjadi secara masif.

Fenomena ini turut memengaruhi berbagai wilayah, termasuk kawasan konsesi BUMN Perkebunan.

Atas nama Reformasi, banyak lahan PTPN di berbagai daerah kemudian diduduki, dikuasai, atau diklaim oleh kelompok masyarakat.

Beragam alasan digunakan: klaim tanah adat, tanah ulayat, warisan keluarga, hingga bukti-bukti berupa dokumen lokal atau jejak aktivitas leluhur.

Tidak semua klaim memiliki dasar yang cukup kuat. Namun dalam berbagai kasus, sengketa akhirnya dimenangkan oleh pihak masyarakat dengan pertimbangan tertentu.

Dalam banyak situasi, PTPN berada pada posisi harus mengalah. Pertimbangannya bukan semata soal legalitas, tetapi juga aspek sosial dan stabilitas di lapangan.

Ada pula kasus seperti di Lampung, ketika PTPN kehilangan ribuan hektar lahan dan kalah di pengadilan dalam sengketa dengan entitas swasta yang memiliki jejaring kuat dan dukungan massa. Pola serupa terjadi di banyak wilayah konsesi PTPN.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa perusahaan pelat merah begitu sering berada pada posisi disalahkan atau dikalahkan?

Dalam konteks bencana Sumatera, mengapa BUMN mudah menjadi sasaran tudingan, bahkan ketika perusahaan lain dengan wilayah konsesi lebih luas mungkin turut berperan?

BUMN beroperasi di posisi yang unik—berada di persimpangan antara kepentingan publik, tuntutan bisnis, dan dinamika politik. Ketegangan struktural inilah yang membuat mereka rentan dikritik dari dua arah sekaligus.

Di satu sisi, BUMN memikul mandat sosial: menjaga stabilitas harga, menyediakan layanan di daerah yang tidak menguntungkan, dan menanggung beban sosial atas nama kepentingan umum.

Di sisi lain, BUMN dituntut beroperasi layaknya perusahaan swasta: efisien, inovatif, dan menghasilkan laba bagi negara.

Contohnya jelas. Ketika PLN menaikkan tarif demi menjaga kesehatan finansial perusahaan, publik menilai kebijakan itu mengabaikan fungsi sosial.

Sebaliknya, ketika Pertamina menjaga harga BBM bersubsidi, tapi menanggung kerugian, publik kembali mengkritik karena dianggap tidak efisien. Dalam dua kutub itu, BUMN nyaris selalu berada dalam posisi serba salah.

Selain itu, dinamika politik turut memengaruhi ruang gerak BUMN. Penempatan direksi dan komisaris kerap dinilai tidak sepenuhnya berbasis meritokrasi.

Proyek-proyek berisiko tinggi terkadang dijalankan bukan karena kelayakan ekonominya, tetapi karena adanya dorongan politik.

Ketika proyek tersebut gagal, pihak pertama yang disalahkan adalah manajemen BUMN, sementara aktor politik tidak ikut menanggung konsekuensi.

Dalam kondisi ini, BUMN menghadapi dua lapis tekanan: kesalahan internal yang memang perlu dibenahi, serta kesalahan struktural akibat peran ganda dan intervensi eksternal yang sulit dihindari.

Selama BUMN masih menjalankan fungsi ganda—sebagai alat kebijakan publik sekaligus mesin pendapatan negara—mereka akan terus menjadi pihak yang paling mudah disalahkan ketika terjadi bencana, kegagalan sistem, atau gejolak ekonomi.

Publik melihat BUMN sebagai representasi negara. Dan ketika negara menghadapi tantangan besar, BUMN sering menjadi pihak pertama yang diminta bertanggung jawab.

Tag:  #pelat #merah #selalu #salah #menakar #ulang #konstruksi #bumn #tengah #konflik #kepentingan

KOMENTAR