Kebutuhan Cepat untuk MBG Vs Kompetensi Profesional Ahli Gizi
GELOMBANG protes tak terbendung menyeruak di ruang publik. Pemicunya adalah Surat Edaran (SE) Badan Gizi Nasional (BGN) Nomor 6 Tahun 2025.
SE ini, yang ditujukan untuk mempercepat rekrutmen ahli gizi dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dinilai membuka pintu terlalu lebar.
Para kritikus, yang didominasi oleh ahli gizi profesional dan organisasi profesi, melihatnya sebagai pelonggaran kualifikasi yang membahayakan.
Intinya, SE ini dianggap memberikan peluang bagi lulusan nongizi atau mereka yang minim pengalaman untuk menduduki posisi krusial. Ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut nasib layanan kesehatan publik.
Para ahli gizi menyuarakan kekhawatiran mendasar: Jika posisi strategis yang membutuhkan kompetensi spesifik (seperti analisis gizi, perencanaan menu bergizi, dan edukasi kesehatan) bisa diisi siapa saja, maka mutu layanan gizi akan menurun drastis.
Profesi gizi terancam kehilangan kredibilitas dan bargaining power-nya. Dalam pelayanan publik, kualitas adalah taruhan yang tak bisa diabaikan.
Dilema BGN: Antara data dan urgensi
Kita harus melihat persoalan ini dari dua sisi. BGN mengeluarkan kebijakan ini bukan tanpa perhitungan. Ada urgensi waktu yang mengikat Program MBG, dan ada tantangan nyata di lapangan: Defisit sumber daya manusia (SDM) ahli gizi.
Data internal BGN kemungkinan menunjukkan ketidakseimbangan parah antara supply (ketersediaan ahli gizi murni) dan demand (kebutuhan tenaga gizi di setiap titik implementasi program, terutama di daerah 3T).
Menyediakan ribuan ahli gizi murni secara instan adalah hal yang hampir mustahil dalam waktu singkat.
Maka, SE ini adalah solusi pragmatis jangka pendek untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Tujuannya baik: memastikan program nasional berjalan tanpa hambatan SDM.
Namun, solusi ini datang dengan risiko besar, yaitu potensi kompromi kualitas demi kecepatan.
Untuk menganalisis seberapa tepat kebijakan BGN ini, kita perlu merujuk pada prinsip dasar dalam Perencanaan Sumber Daya Manusia (Human Resource Planning). Salah satu konsep paling relevan adalah Teori Kesesuaian Pekerjaan-Individu (Person-Job Fit).
Teori Person-Job Fit menyatakan bahwa kinerja dan kepuasan kerja akan maksimal ketika karakteristik individu (pengetahuan, keahlian, kemampuan/KSAOs) selaras dengan tuntutan pekerjaan (Kristof, 1996).
Prinsip dasar HRP adalah memastikan setiap biaya rekrutmen menghasilkan return on investment (ROI) yang maksimal.
Ketika mismatch terjadi akibat SE yang longgar, BGN dan publik harus menanggung biaya tak terlihat yang sangat mahal:
Biaya pelatihan ulang. Lulusan non-gizi harus menjalani pelatihan ekstra untuk mengejar KSAOs inti, yang memakan waktu, anggaran, dan menunda penempatan.
Reputasi dan kepercayaan publik. Setiap kasus kegagalan layanan gizi akibat kurangnya kompetensi akan langsung meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap program MBG.
Keselamatan masyarakat. Dalam isu gizi, kesalahan rekomendasi atau perencanaan dapat berdampak langsung pada kesehatan, terutama anak-anak yang menjadi sasaran program.
Pelanggaran terhadap prinsip Person-Job Fit ini menunjukkan bahwa BGN sedang memilih solusi kuantitas (memenuhi jumlah cepat) di atas solusi kualitas (memenuhi standar kompetensi).
Jalan tengah berimbang
Bagaimana cara menyeimbangkan urgensi dan kualitas? Solusinya terletak pada penguatan proses, bukan hanya pada pelonggaran syarat.
Pertama, penguatan screening kompetensi. Jika pelonggaran kualifikasi tetap dilakukan (misalnya, untuk mengatasi defisit di daerah 3T), BGN harus memperketat tahapan seleksi teknis.
Wajib ada uji kompetensi mendalam (bukan sekadar formalitas ijazah) yang menjamin basic knowledge nutrisi.
Kedua, pelatihan transisi dan mentorship. Setiap lulusan non-gizi atau fresh graduate yang direkrut harus terikat pada kontrak pelatihan transisi intensif yang disupervisi oleh organisasi profesi.
Penempatan mereka di lapangan wajib disertai pendampingan (mentoring) dari ahli gizi senior.
Ketiga, transparansi dan mitigasi risiko. BGN harus transparan menjelaskan kepada publik dan profesional gizi, data defisit SDM yang ada dan langkah mitigasi (pengawasan dan pelatihan) yang akan dilakukan untuk menjaga kualitas.
Polemik SE BGN No. 6/2025 adalah cermin tantangan klasik HRP di sektor publik: kecepatan sering kali menjadi musuh profesionalisme.
Jika Program MBG ingin sukses dan berkelanjutan, prinsip Person-Job Fit tidak boleh dikompromikan.
Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kursi SDM diisi bukan hanya oleh orang yang tersedia, tetapi oleh orang yang tepat, terlatih, dan kompeten.
Hanya dengan begitu, tujuan mulia program gizi dapat tercapai dengan kualitas terbaik.
Tag: #kebutuhan #cepat #untuk #kompetensi #profesional #ahli #gizi