Era Hindia Belanda, Nyaris Semua Kabupaten di Jawa Punya Rel KA
Pulau Jawa menjadi wilayah pertama dan paling maju dalam pembangunan jalur kereta api di Indonesia. Bahkan jaringan relnya terbilang paling maju di Asia dan belahan bumi selatan di masanya.
Jauh sebelum kemerdekaan, rel-rel besi telah membentang dari barat hingga timur pulau ini, menghubungkan kota-kota penting pada masa Hindia Belanda.
Pembangunan besar-besaran tersebut bukan tanpa alasan. Bagi pemerintah kolonial, jaringan kereta api merupakan tulang punggung ekonomi, terutama mengangkut hasil perkebunan.
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengungkapkan pemerintah Hindia Belanda sudah membangun jaringan jalan rel hampir ke seluruh kota dan kabupaten di Pulau Jawa, kecuali Kota Salatiga di Jawa Tengah yang tidak memiliki jalan rel.
Namun dalam perkembangannya setelah Kemerdekaan Indonesia, jalan rel sejumlah kota/kabupaten tidak dioperasikan lagi alias kini berstatus rel non-aktif.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (2025), perkeretaapian di Pulau Jawa memiliki jalur aktif sepanjang 4.921 km dengan jumlah 473 unit stasiun.
Rincian panjang rel nonaktif di Pulau Jawa sepanjang 1.610 km yang tersebar di Provinsi Jawa Tengah 585 km, Provinsi Jawa Timur (615 km), Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten (410 km).
"Reaktivasi (pengaktifan kembali) jalan rel diperlukan untuk menghidupkan kembali potensi ekonomi dan mobilitas di wilayah yang sebelumnya dilayani oleh jalur kereta api nonaktif," jelas Djoko dalam keterangannya, Minggu (9/11/2025).
Sejarah kereta api di Jawa
Sejarah perkeretaapian di Hindia Belanda dimulai pada pertengahan abad ke-19. Jalur pertama dibangun oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), sebuah perusahaan swasta milik Belanda, pada 17 Juni 1864.
Pembangunan dimulai dari Semarang menuju Tanggung, di Jawa Tengah. Pembangunan tersebut diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van de Beele.
Jalur ini selesai dan resmi beroperasi pada 10 Agustus 1867. Saat itu, kereta api menjadi simbol kemajuan teknologi di tanah jajahan, memperlihatkan modernitas yang dibawa bangsa Eropa ke Nusantara.
Motif utama pembangunan jalur kereta api di Jawa sejatinya bukanlah demi kepentingan masyarakat pribumi, melainkan untuk kepentingan ekonomi Belanda.
Pada masa itu, pemerintah kolonial menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang menghasilkan komoditas ekspor seperti tebu, kopi, dan nila, yang dilanjut dengan maraknya perkebunan partikelir pasca-dihapusnya tanam paksa.
Kereta api mempermudah pengangkutan hasil perkebunan dari pedalaman menuju pelabuhan, terutama Semarang, Surabaya, dan Batavia (kini Jakarta). Hasil bumi kemudian dikirim ke Eropa untuk memenuhi kebutuhan industri di negeri Belanda.
Setelah keberhasilan jalur Semarang–Tanggung, pembangunan rel meluas secara masif ke berbagai wilayah Jawa. Pada dekade 1870-an hingga awal 1900-an, beberapa perusahaan swasta maupun milik negara (seperti Staatsspoorwegen atau SS) berlomba membangun jalur baru.
Rel dibentangkan dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor), kemudian diperpanjang ke Bandung dan Cirebon. Di bagian tengah pulau, jalur menghubungkan Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta.
Sementara di Jawa Timur, rel membentang dari Surabaya menuju Malang, Kediri, hingga Banyuwangi.
Pada awal abad ke-20, jaringan rel di Jawa telah menjangkau hampir seluruh kota penting dan menjadi salah satu sistem transportasi paling padat di Asia pada masanya.
Tag: #hindia #belanda #nyaris #semua #kabupaten #jawa #punya