Pemerintah Siapkan Redenominasi Rupiah, Namun Ekonom Peringatkan Berbagai Risiko
Ilustrasi uang rupiah. (Pixabay)
23:54
8 November 2025

Pemerintah Siapkan Redenominasi Rupiah, Namun Ekonom Peringatkan Berbagai Risiko

Pemerintah berencana merampingkan nominal rupiah melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) yang ditargetkan rampung pada 2027. 

Namun, rencana ambisius ini dinilai oleh ekonom belum realistis dan berisiko menimbulkan dampak ekonomi jika dilakukan tanpa persiapan panjang dan sosialisasi masif.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029, yang memuat empat RUU prioritas. Salah satunya adalah RUU Redenominasi yang disebut sebagai RUU luncuran dan diharapkan selesai pada 2027.

Pemerintah menjelaskan, redenominasi bertujuan menyederhanakan angka nominal rupiah tanpa mengubah daya beli masyarakat. Contohnya, Rp 1.000 akan menjadi Rp 1, tetapi nilai barang tetap sama. 

Langkah ini disebut dapat meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kepercayaan terhadap rupiah, serta memperbaiki citra ekonomi nasional di mata dunia.

Namun, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pemerintah harus sangat berhati-hati. Ia mengingatkan, sejarah mencatat banyak negara yang gagal mengelola redenominasi, hingga menimbulkan hiperinflasi dan penurunan daya beli masyarakat.

Redenominasi rupiah harus dilakukan ekstra hati-hati. Banyak negara mencoba dan berujung hiperinflasi,” ujar Bhima ihubungi JawaPos.com, Sabtu (8/11).

Bhima mencontohkan sejumlah kasus. Brasil pernah melakukan redenominasi pada 1986, 1989, dan 1993, namun gagal menekan inflasi karena lemahnya sosialisasi dan sistem keuangan. Inflasi justru melonjak 48 persen per bulan pada Juni 1994.

Contoh lain, Ghana pada 2007 mengalami kenaikan inflasi 5 persen pada tahun berikutnya, sementara Zimbabwe mengalami kegagalan berulang akibat fondasi ekonomi yang rapuh.

“Jangan sampai kita seperti Zimbabwe,” tegas Bhima.

Menurut Bhima, waktu persiapan dua hingga tiga tahun terlalu singkat. Idealnya, redenominasi dilakukan setelah delapan hingga sepuluh tahun masa transisi, dengan kesiapan ekonomi, sistem pembayaran, dan literasi publik yang matang.

Ia juga menyoroti risiko pembulatan harga ke atas yang bisa memicu inflasi mikro di level ritel.

“Sebagai contoh, barang seharga Rp 9.000 tidak akan jadi Rp 9, tapi jadi Rp 10. Penjual cenderung membulatkan ke nominal paling atas. Inflasi yang terlalu tinggi akibat redenominasi bisa melemahkan daya beli masyarakat,” jelasnya.

Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bhima menilai, dengan struktur ekonomi saat ini, pertumbuhan delapan persen belum bisa dicapai hanya dengan redenominasi, apalagi jika kebijakan tersebut justru menekan konsumsi masyarakat.

Selain aspek ekonomi, Bhima menilai sosialisasi menjadi kunci utama keberhasilan redenominasi. Ia menyoroti fakta bahwa lebih dari 90 persen transaksi di Indonesia masih menggunakan uang tunai, meski transaksi digital seperti QRIS terus meningkat.

“Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi, terutama di sektor ritel yang memiliki ribuan jenis barang. Semua harga dan pembukuan harus disesuaikan, itu bukan pekerjaan ringan,” tandasnya.

Dengan berbagai tantangan tersebut, banyak pihak menilai rencana pemerintah ini perlu dikaji ulang dari sisi kesiapan ekonomi, komunikasi publik, dan literasi keuangan nasional.

Redenominasi memang berpotensi memperkuat kredibilitas rupiah, tetapi jika dilakukan tergesa-gesa, bisa menimbulkan efek psikologis negatif di masyarakat dan pasar.

Pemerintah diharapkan tidak hanya menyiapkan regulasi, tetapi juga strategi komunikasi yang kuat dan rencana mitigasi inflasi sebelum kebijakan redenominasi benar-benar diterapkan. (*)

Editor: Dinarsa Kurniawan

Tag:  #pemerintah #siapkan #redenominasi #rupiah #namun #ekonom #peringatkan #berbagai #risiko

KOMENTAR