Hilirisasi Sektor Hijau dan Biru Berbasis Komunitas Warga
Pembangunan Sabo Dam, Ternate, Maluku Utara. Bukan di Jawa, Ini Provinsi dengan Pertumbuhan Ekonomi Paling Tinggi di Indonesia (Dok. Kementerian PU)
13:04
31 Oktober 2025

Hilirisasi Sektor Hijau dan Biru Berbasis Komunitas Warga

INDONESIA dibuat gempar dengan Maluku Utara belakangan ini dalam banyak hal. Misalnya, angka pertumbuhan ekonomi (triwulan II) 2025 yang fantastis.

Bukan main-main, berdasarkan data BPS, Maluku Utara adalah provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi se-Indonesia—skornya mencapai 32,09 persen.

Pertanyaannya, apakah angka (kuantitatif) yang tinggi ini linier dengan kualitas hidup masyarakat Maluku Utara yang mayoritas adalah petani/pekebun dan nelayan?

Pertumbuhan tinggi bukan untuk warga

Jika dicermati kritis, ini bukan kabar yang sepenuhnya baik. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi tinggi bukan karena ekonomi hijau dan ekonomi biru. Bukan pula mayoritas masyarakat yang menikmati manisnya.

Sektor penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar—yang merupakan indikator pertumbuhan ekonomi—adalah pertambangan (60,57 persen) dan industri pengolahannya (57,51 persen).

Sektor-sektor ini sejak lama ada di Maluku Utara dan memang sebagai pendongkrak angka pertumbuhan ekonomi.

Berkarakteristik investasi besar dan teknologi canggih, bisa dinalar dengan mudah siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini.

Masyarakat lebih terbeban atas kerusakan ekologis yang sedang berlangsung dan akan terus berlangsung sampai di masa mendatang (baca lengkapnya: Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat, Kompas.id, 07/11/2023).

Pertumbuhan ekonomi tidak bisa sebatas mengandalkan sektor pertambangan dan industri pengolahannya.

Ekonomi sehat harus bertumpu pada sumber daya alam berkelanjutan. Pun, tak cukup sekadar mengejar tumbuh tinggi, ekonomi harus fokus pada pertumbuhan merata, tidak timpang.

Untuk menuju pada target itu, pertumbuhan ekonomi harus menyentuh aspek mayoritas masyarakat kita.

Bangun Maluku Utara berarti bangun petani/pekebun dan nelayannya. Dari total sekitar 1,3 juta penduduk Maluku Utara, petani mencapai 153.790 orang (Kompas.id, 2023) dan nelayan mencapai 42.908 orang (2024).

Sayangnya, PDRB sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan jalan di tempat. Kontribusinya cukup di angka 2,58 persen. Pertanda selama ini sektor ekonomi hijau dan ekonomi biru belum disentuh dan dimanfaatkan optimal.

Sejak dulu budaya masyarakat kita adalah berkebun dan melaut. Maluku Utara diberi potensi melimpah atas sumber daya alam berkelanjutan ini.

Tanah Maluku Utara kaya akan kelapa, pala, cengkih. Pada 2023, jumlah produksi kelapa mencapai 200.086 ton, pala 8.338 ton, dan cengkih 4.656 ton (BPS Maluku Utara).

Ditambah, wilayah perairan Maluku Utara masuk dalam tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yakni 715, 716, dan 717. Potensi penghasilannya luar biasa: mencapai 1.714.158 ton (Mongabay.co.id, 2023).

Emas hijau dan emas biru ini hanya akan bernilai di tangan pemerintah yang memahami pentingnya sumber daya alam berkelanjutan.

Pun memiliki nilai bahwa warga adalah subjek yang harus berdaya atas sumber daya alam berkelanjutan di sekitarnya.

Karakteristiknya bukan investasi high return, melainkan investasi pemberdayaan yang justru tak ternilai harganya.

Tak cukup sebatas hilirisasi

Sejak 2018, saya bergumul mencurahkan ide untuk pengembangan masyarakat Maluku Utara ke depan. Hingga detik ini, satu nilai yang saya pegang teguh: hilirisasi sektor pertanian/perkebunan dan perikanan di Maluku Utara berbasis komunitas warga (koperasi, UMKM, IKM).

Nilai ini yang saya bawa dan gaungkan ke Pemerintah Pusat melalui kementerian-kementerian terkait, juga tulisan-tulisan artikel di berbagai media.

Harapan selalu ada. Presiden Prabowo Subianto melalui pidato kenegaraan perdananya di Sidang MPR Tahunan MPR 2025 (15/08/2025) memiliki semangat yang sama.

Mendorong hilirisasi puluhan komoditas nonmigas yang kemudian diterjemahkan oleh para menterinya.

Sebagai pijakan pertama, adalah kabar gembira jika ide ini sudah termanifestasi. Namun, belum cukup.

Prinsipnya jelas. Masyarakat harus merdeka dengan sumber daya alam berkelanjutan di sekitarnya. Merdeka berarti mampu mengolah hingga mendapat manfaat atasnya.

Untuk mencapai pemberdayaan warga, hilirisasi mesti berbasis komunitas warga. Bukan investasi/industri besar. Dengan begini, ekonomi akan tumbuh dan terdistribusi merata.

Jika mengandalkan investasi/industri besar, kita hanya akan jatuh di lubang yang sama seperti yang terjadi pada sektor pertambangan dan industri pengolahannya.

Warga jadi penonton. Paling banter, menjadi pekerja di industri lalu teralienasi dari kehidupan budaya, sosial, dan ekonominya.

Pemerintah daerah perlu sambut dan sinergi

Ekonomi akan tumbuh jika ada kehendak untuk menggenjotnya. Selama ini ekonomi hijau dan ekonomi biru belum dilirik padahal potensial dan bisa.

Pertanian/perkebunan dan perikanan adalah masa depan yang layak dan diampu mayoritas masyarakat Maluku Utara.

Pemerintah Pusat sudah memberi kucuran dana. Pemerintah daerah (Pemda) perlu sambut transfer semangat dari Pemerintah Pusat tersebut.

Maluku Utara bisa berguru pada Filipina yang sukses dengan hilirisasi pertanian/perkebunan berbasis komunitas warga, pun pada Vietnam yang sukses untuk hilirisasi perikanannya.

Pemda bergegas menyusun program kreatif yang seirama dan searah. Spirit utamanya adalah pemberdayaan pada warga, penguatan warga untuk mengakses sumber ekonomi. Bergeliatlah dengan ekonomi hijau dan biru berbasis komunitas warga.

Kekuatan ekonomi negara dan Maluku Utara harus bertumpu pada ekonomi rakyat. Pertumbuhan ekonomi tak cukup hanya tinggi secara angka, harus juga tumbuh merata (tidak timpang) dan tinggi secara kualitas.

Mayoritas masyarakat—petani/pekebun dan nelayan—harus menikmatinya, bukan hanya segelintir orang. Itulah tujuan kita menjadi negara yang merdeka.

Tag:  #hilirisasi #sektor #hijau #biru #berbasis #komunitas #warga

KOMENTAR