Ekonomi Awal Pekan: BI Rate Bertentangan Konsensus Pasar, Insentif Jumbo Pacu Kredit
-
BI tahan suku bunga 4,75% di Oktober 2025.
-
Keputusan karena transmisi bunga bank sangat lambat.
-
Potensi pangkas 25 bps ada jika PDB dan stimulus baik.
Kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) kembali menjadi sorotan tajam pasar. Keputusan bank sentral untuk mempertahankan suku bunga kebijakan (BI-Rate) tetap di level 4,75% pada Oktober 2025 menjadi kejutan yang menarik.
Menurut analisis dari BNI Sekuritas, langkah ini sejalan dengan ekspektasi internal mereka, namun di luar dugaan konsensus pasar yang memproyeksikan adanya penurunan.
Penahanan suku bunga ini mengakhiri tren tiga kali pemotongan beruntun yang totalnya mencapai 125 basis poin (bps) yang telah dilakukan BI pada awal tahun.
Keputusan untuk mengambil jeda ini didasarkan pada kekhawatiran serius BI mengenai efektivitas transmisi kebijakan moneter yang telah dilakukan.
Meskipun telah terjadi pelonggaran moneter yang substansial, dampaknya ke sektor perbankan tergolong lambat atau "lengket" (stickiness).
Data menunjukkan, suku bunga deposito satu bulan dan suku bunga kredit dari awal tahun (YTD) baru turun masing-masing sekitar 29 bps dan 15 bps. Penurunan yang minim ini jelas tidak sebanding dengan total pemotongan suku bunga acuan.
Suku bunga kredit dan deposito yang enggan turun ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya porsi simpanan dengan suku bunga khusus (special-rate deposits), yang mencakup sekitar 26% dari total dana pihak ketiga.
Selain itu, BNI Sekuritas menyoroti fokus berkelanjutan BI pada stabilitas nilai tukar rupiah. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat cadangan devisa Indonesia telah terkikis sebesar AS$3,9 miliar selama tiga bulan terakhir, di tengah ketidakpastian pasar valuta asing global. Upaya menjaga Rupiah tetap menjadi prioritas strategis Bank Indonesia.
Di tengah tarik ulur kebijakan ini, pertumbuhan kredit di sektor perbankan masih berada di bawah target. Pada September, pertumbuhan kredit tercatat hanya 7,7% secara tahunan (YoY), angka yang masih di bawah rentang target BI yaitu 8–11%.
Fenomena ini terjadi meskipun suku bunga berbasis pasar—seperti suku bunga pasar uang antar bank (INDONIA), SRBI, dan yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun—telah menunjukkan penurunan tajam. Artinya, sinyal dari pasar uang belum sepenuhnya tersalurkan ke sektor kredit riil.
Untuk mengatasi permasalahan transmisi yang lambat dan mendukung ekspansi kredit di tengah perlambatan ekonomi, Bank Indonesia tidak tinggal diam.
Bank sentral mengumumkan perluasan insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang akan berlaku efektif mulai Desember 2025.
Insentif ini ditingkatkan secara signifikan, antara lain dengan menaikkan diskon Rasio Kewajiban Minimum (RRR atau GWM) menjadi 550 bps.
Lebih lanjut, kebijakan baru ini secara eksplisit akan menghubungkan elastisitas suku bunga pinjaman baru dengan BI-Rate, memaksa perbankan untuk lebih responsif terhadap perubahan suku bunga acuan.
Selain itu, insentif sektoral juga diperluas untuk mencakup sektor-sektor strategis seperti transportasi, pariwisata, pendidikan, dan kesehatan, yang diharapkan dapat memicu pertumbuhan di area-area vital tersebut.
Meskipun BI saat ini menahan diri, BNI Sekuritas tetap berpegang pada pandangan mereka bahwa masih ada potensi bagi Bank Indonesia untuk melakukan satu kali pemangkasan suku bunga lagi, yakni sebesar 25 bps, membawa BI-Rate ke level 4,50% sebelum akhir tahun.
Proyeksi ini bersifat bersyarat, sangat bergantung pada capaian produk domestik bruto (PDB) di kuartal berikutnya dan sejauh mana efektivitas stimulus fiskal yang tengah berjalan mampu mendorong roda perekonomian.
Tag: #ekonomi #awal #pekan #rate #bertentangan #konsensus #pasar #insentif #jumbo #pacu #kredit